Jumat Berkah

376 kali dibaca

Wajah Soema tampak sekelabu langit Jakarta. Hingga sesiang itu, ia masih duduk termangu sambil merutuki dagangannya yang teronggok sepi. Padahal, di mulut gang itu, di pinggir jalan besar itu, begitu banyak orang lalu lalang. Namun, seakan tak ada yang menoleh pada aneka dagangan Soema.

Ketika azan zuhur berkumandang, dengan bibir terkatup ia mulai mengemasi dagangannya dan memasukkannya ke dalam kantung plastik besar, kemudian memanggulnya. Dengan langkah gontai, Soema berjalan pulang. Sesampai di rumah, ia meletakkan begitu saja dagangannya di atas meja, lalu duduk bersandar di kursi sambil menerawangi pintu rumahnya yang dibiarkan terbuka.

Advertisements

Soema terbangun dari lamunannya ketika kedua anaknya pulang dari jumatan. Wajah kedua anaknya berseri-seri. Yang membuat Soema heran, kedua anaknya tersebut masing-masing membawa sekotak makanan dan segelas minuman dingin.

“Dari mana kalian dapat makanan dan minuman itu?” tanya Soema.

“Dari masjid, Bunda,” jawab Yazid, anak bungsu Soema yang duduk di kelas 6 SD.

“Ya, Bunda. Katanya Jumat Berkah, jadi beberapa orang bersedekah di masjid pas jumatan. Jumat yang kemarin kami tidak kebagian. Kalah berebut,” sahut Yahya, anak sulungnya, yang duduk di kelas 2 SMP.

“Ya sudah, cepat dimakan,” kata Soema. “Tiap Jumat ada yang bersedekah seperti itu ya di masjid?” sambung Soema.

“Ya, Bunda. Namanya Jumat berkah.”

Sambil memandangi anak-anaknya mengunyah makanan, otak Soema mulai berputar. Tak lama kemudian ia membuka HP, lalu memposting ajakan di grup percakapan yang anggotanya adalah ibu-ibu wali murid dari sekolah yang sama dengan anak-anaknya.

Jumat Berkah: Ayo bersedekah di hari Jumat. Mulia dan berpahala.

Sependek itu kalimat yang diunggah Soema di grup percakapan ibu-ibu. Rupanya, ajakan Soema memperoleh sambutan dari anggota grup. Dan terjadilah percakapan seperti ini:

“Wah, ide yang mulia ini.”

“Iya, tapi bagaimana caranya.”

“Mungkin kita ngumpulin sedekah seikhlasnya saja.”

“Terus sedekah yang terkumpul akan diberikan dalam bentuk apa.”

“Lalu siapa yang akan mengumpulkan, lalu membagikannya.”

“Kepada siapa sedekah kita akan diberikan.”

“Iya-ya. Kan, kita ini memiliki kesibukan masing-masing.”

“Bagaimana kalau tugas itu diemban oleh pengusulnya.”

“Nah, itu bener.”

“Setuju!”

“Bagaimana, Bu Soema?”

“Kalau saya diberi amanat, bismilah. Kita mulai gerakan Jumat Berkah.”

“Alhamdulillah… akhirnya kita punya jalan sedekah.”

“Jalan ke surga ya.”

“Iya. Kapan dimulai.”

“Kapan diberikan.”

“Diberikan dalam bentuk apa.”

“Kepada siapa diberikan.”

Beberapa saat semua terdiam memandangi layar HP masing-masing karena terlihat status Soema sedang menulis.

“Kira-kira begini ya, ibu-ibu… sedekah seikhlasnya bisa ditransfer atau saya ambil uangnya. Pengumpulan terakhir hari Kamis pagi. Setelah itu, uang sedekah yang terkumpul, berapa pun jumlahnya, akan dibelikan makanan yang laik. Saya usul, makanan dari sedekah itu nanti kita bagikan kepada anak-anak jalanan yang kurang beruntung itu pada Jumat pagi. Namanya juga Jumat Berkah. Bagaimana ibu-ibu?

“Saya setuju.”

“Kenapa di jalanan, bukan di masjid saja.”

“Di masjid sudah banyak yang bersedekah. Di jalanan yang belum banyak sepertinya.”

“Iya juga ya.”

“Boleh, boleh. Saya setuju.”

“Setuju!”

“Setuju!”

closed!”

Sejak itu, Soema memiliki kesibukan baru: Koordinator Gerakan Jumat Berkah. Soema sebenarnya belum lama berdagang makanan. Baru sekitar tiga bulan terakhir. Sebelumnya, tulang punggung keluarga adalah suaminya, Harun. Namun karena kecerobohan, Harun terpaksa harus kehilangan pekerjaan sebagai buruh harian. Kini ia hanya bisa luntang-lantung. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Soema terpaksa harus pontang-panting cari utangan untuk modal dagang makanan. Selama tiga bulan terakhir, saban pagi Soema sibuk jualan nasi uduk dan kue-kue basah di mulut gang pinggir jalan besar itu. Dagangan Soema selalu sepi pembeli. Akibatnya, usaha dagangnya tak mendatangkan untung, justru malah memperbanyak utang. Itulah yang membuat wajah Soema yang dulu berseri kini selalu sekelabu langit Jakarta.

Sejak menjadi Koordinator Gerakan Jumat Berkah itu, Soema tak lagi membuat makanan untuk dijual di mulut gang. Ia sibuk mengumpulkan uang sedekah dari ibu-ibu anggota grup percakapan. Karena seikhlasnya, tiap orang bisa berbeda-beda jumlah sedekahnya. Ada yang Rp 20 ribu, Rp 25 ribu, atau Rp 50 ribu.

Di pekan pertama gerakan Jumat Berkah mulai bergulir, Soema berhasil mengumpulkan dana sedekah sebesar Rp 930 ribu. Sepanjang hari Kamis itu Soema super sibuk. Setelah selesai mengumpulkan uang sedekah, ia ke pasar untuk belanja bahan-bahan makanan seperti yang ia masak selama tiga bulan terakhir. Total barang belanjaannya seharga sekitar Rp 550 ribu. Menurut perhitungannya, setelah bahan-bahan tersebut diolah dan dimasak menjadi makanan yang siap dijual, harganya akan senilai sekitar Rp 930 ribu juga.

Sehabis dari pasar, sepanjang sore hingga malam hari, Soema sibuk di dapur membuat kue-kue basah seperti jajanan pasar dan nasi uduk. Semua urusan dapur tuntas menjelang tengah malam. Soemah pun tidur pulas malam itu.

Keesokan harinya, setelah anak-anaknya sudah bisa berangkat sekolah, Soema mulai keliling mengendarai sepeda motor. Ia memasang boks di bagian belakang sadel sepeda motornya. Di dalam boks itulah makanan yang akan dibagikan di jalanan disimpan.

Soema akan menghentikan sepeda motornya di persimpangan lampu merah atau di pinggir jalan saat bertemu dengan anak-anak jalanan, entah itu pengamen, pengemis, pengumpul barang-barang bekas, gelandangan, atau orang gila. Kepada mereka, Soema membagi-bagikan makanan yang dibawanya. Dan yang terpenting, mereka yang menerima sedekah makanan itu oleh Seoma selalu difoto dengan HP. Mereka diminta berpose dengan memegang makanan yang diterimanya. Foto-foto itu kemudian diunggah di grup percakapan ibu-ibu disertai catatan: Alhamdulillah, sedekah kita sudah diterima oleh mereka yang berhak.

“Alhamdulillah, gerakan Jumat Berkah kita sudah berjalan,” sahut salah satu anggota grup percakapan, lalu disambung yang lain.

“Wah, Bu Soema keren…”

“Semoga sedekah kita membawa berkah.”

“Semoga rezeki kita bertambah-tambah.”

“Semakin banyak sedekah, rezeki kita akan makin berlimpah.”

“Amin, ya Rab…”

Saat azan zuhur berkumandang tanda Jumatan dimulai, Soema sudah duduk manis di rumahnya. Wajahnya tak lagi sekelabu langit Jakarta. Hari itu ia telah mengantungi keuntungan Rp 380 ribu. Jumlah yang cukup untuk menghidupi keluarganya selama sepakan ke depan. Ia sudah mulai melamun, jika putaran-putaran berikutnya dana sedekah yang diputar semakin besar, akan ada sisa untuk membayar utang dan ditabung.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan