Jilbab dan Kontroversinya

1,465 kali dibaca

Tren jilbab sejak tahun 2000-an mulai dilirik oleh beberapa industri, karena jilbab bukan hanya dipakai kaum santri, tapi masyarakat umum juga mulai menggandrungi pemakaiannya. Jilbab juga menjadi industri fashion. Bahkan, kini jilbab juga merambah dunia keartisan dan masyarakat metropolitan. Padahal sebelumnya, perempuan yang memakai jilbab terutama santri, dianggap kolot serta kampungan dan terkesan terbelakang dari segi ilmu pengetahuan alam (sains), teknologi, dan intelektual.

Namun tidak demikian di era milenial seperti sekarang ini. Di Indonesia sendiri jilbab mengalami perkembangan yang sangat pesat mulai dari model, bahan, dan cara pemakaiannya. Jilbab juga dirangkaikan dengan cadar mulai ramai.

Advertisements

Beberapa industri fashion menyediakan stok jilbab yang cukup beragam dalam berbagai varian warna dan style. Para desainer pun berlomba-lomba untuk menciptakan mode jilbab terbaru dan menarik. Ada nama-nama beken seperti Dian Pelangi, Jenahara Nasution, Zaskia Sungkar, dan masih banyak lagi.

Istilah jilbab di Indonesia sendiri terkadang juga disebut kerudung, kadang juga disebut busana muslimah, dan saat ini lebih populer dengan hijab. Alwi Alatas mendefinisikan jilbab sebagai pakaian yang menutupi seluruh bagian tubuh kecuali wajah, telapak tangan. Jilah dimaknai sebagai pakaian yang menutupi aurat hingga pergelangan tangan dan telapak kaki hingga pergelangan kaki  (Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Revolusi jilbab, cet 1, Jakarta: Al-I’tison Cahaya Umat, 2001).

Masalah jilbab dan hukum memakaiannya seringkali menimbulkan kontroversi dan perdebatan di antara para ulama, bahkan yang bukan para ulama. Ada yang mengatakan bahwa jilbab hanyalah tradisi perempuan Arab dan tidak wajib untuk perempuan di luar Arab (Ajami). Ulama yang berpendapat demikian misalnya Muhammad Shahrur. Shahrur menganggap bahwa tradisi berjilbab hanya wajib untuk keluarga Nabi dan keturunannya saja. (Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terjemahan Nahwa Ushul Jadidah, Yohyakarta: EISAQ Press, 2004, hal 19).

Ada juga seorang aktivis tidak berjilbab bernama Ratna Batara Munti (aktivis LBH-API). Dalam bukunya “Benarkah Islam Mewajibkan Berjilbab?” yang diterbitkan PSI-UII Yogyakarta tahun 2011, dengan penuh keberanian, dia mengemukakan beberapa ayat Al-Quran. Salah satu ayat yang dia gunakan untuk menguatkan pendapatnya yaitu surat An-Nur ayat 31:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.

Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

Dari ayat tersebut, Ratna berpendapat bahwa ayat ini menegur kaum mukminah yang sebelumnya sudah memakai kerudung akan tetapi hanya diikatkan ke belakang leher. Dan ayat ini menurutnya untuk memperbaiki cara berkerudung orang Arab saat itu dengan menutupi bagian dada dan leher, dan tidak berlaku untuk seluruh kaum muslimah secara umum.

Sedangkan, ulama yang mengatakan memakai jilbab hukumnya wajib salah satunya ialah Husein Shahab. Menurutnya, jilbab adalah satu hukum yang tegas dan pasti yang seluruh wanita muslimah diwajibkan Allah untuk mengenakannya. Melanggar atau tidak mengakui berarti mengingkari salah satu hukum Islam yang esensial (Husein Shahab, Jilbab menurut Al-Quran dan As-Sunnah, Bandung: Mizan, 2002, hal 8).

Pendapat Husein Shahab tersebut sepertinya dikuatkan pula oleh pendapat cendikiawan muslim dan mufassir terkemuka di Indonesia, Prof M Quraish Shihab dalam bukunya (M Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Cet.1, Jakarta: Lentera Hati, 2004).  Di sini Quraish Shihab sangat luas sekali mengurai tentang kontroversi jilbab. Menurutnya, intinya perempuan muslim itu harus menutupi aurat, yakni seluruh anggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan dengan sopan dan terhormat, terutama saat keluar rumah.

Dalam sejarah Islam, pemakaian jilbab bermula dari ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, tepatnya pada tahun kelima Hijriah. Pada waktu itu perempuan dan bahkan istri-istri Nabi dan juga para budak perempuan saat keluar rumah selalu diganggu oleh kaum lelaki fasik. Namun mereka menyangkal setelah dikonfirmasi oleh Nabi (kitab Tarikh Islam).

Perempuan yang keluar malam pada waktu itu bukan tanpa alasan. Hal itu mereka lakukan untuk buang hajat yang tempatnya agak jauh dari rumahnya. Mereka pergi buang air besar tersebut pada malam hari karena merasa malu jika dilakukan pada siang hari.

Maka pada tahun kelima Hijriah tersebut turunlah surat  Al-Ahzab ayat 59:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang”.

Jika dikatakan bahwa jilbab hanya budaya Arab, seperti kata Shahrur dan Ratna, menurut penulis ini tidak kuat dan sepertinya terkesan ragu-ragu (skeptis). Karena, sejatinya ayat Al-Quran diturunkan bukan hanya untuk Nabi Muhammad SAW atau bangsa Arab saja. Semua ayat Al-Quran berlaku untuk semua kaum mukminin dan mukminat. Bukakah Allah menegaskan hal itu dalam suatu firman-Nya:

وَماَ اَرْسَلْناَكَ اِلِّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ

Artinya:

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’:107).

Perintah dan kewajiban memakai jilbab oleh Allah sudah pasti berimplikasi positif pada seluruh aspek kehidupan kaum perempuan mukmin, baik secara medis maupun psikologis. Secara medis, misalnya, perempuan berjilbab akan terjaga dari sengatan matahari langsung sehingga dampak negatif dari sinar ultra violet (UV), seperti kulit kepala menjadi kering, penuaan dini, dan bahkan kangker kulit dapat diminimalisasi.

Sedangkan, secara psikologis, sebagai perempuan, dan tentunya juga banyak sekali bergaul dengan perempuan muslim, penulis seringkali menemukan banyak dari mereka yang merasa lebih percaya diri saat memakai jilbab. Karena ia dapat menutupi berbagai macam kekurangan, seperti bentuk badan yang bulat atau bentuk muka yang tidak simetris. Hal itu bisa ditutupi dengan gaya berjilbab tertentu yang tetap syari (tidak transparan, lebar, dan menutupi leher sampai dada). Jilbab semacam itu sudah banyak dijual di pasar-pasar dan toko-toko on line (online shop).

Penulis juga seringkali menyaksikan dan mengobservasi sendiri bahwa laki-laki “nakal” (tentu tidak semuanya), sepertinya lebih tertarik untuk menggoda perempuan yang tidak berjilbab dari pada yang berjilbab. Misalnya contoh kecil dengan cara bersiul atau yang lainnya. Sedangkan, terhadap perempuan yang berjilbab, mereka cenderung bersikap sopan dan dapat menahan diri dari menggodanya. Maka perempuan yang memakai jilbab bisa jadi  merasa terjaga sekaligus  dapat mengekspresikan dirinya dalam lingkungan sosialnya.

Oleh karenanya, para muslimah pada khususnya, dan seluruh umat Islam pada umumnya, seharusnya menerima dengan sepenuh hati akan kewajiban memakai jilbab, tanpa mencari-cari alasan dan memelintir suatu ayat hanya karena suatu budaya. Karena posisi agama berada di atas budaya dan bahkan yang lainnya. Jika tidak setuju dengan kewaiban berjilbab, maka tidak usah memakainya, tanpa membela diri dengan mengatas namakan budaya atau agama. Wallahu a’lam bish-shawab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan