Jejak Pejuang

1,264 kali dibaca

Usiaku kala itu masih sembilan tahun. Sebagai anak laki-laki, aku oleh Emak selalu ditugaskan untuk mencari kayu bakar ke hutan. Pergi membawa bekal nasi ditaburi goreng terasi dan ikan peda, hanya sesekali ditambah sayur asam. Biasanya pulang setelah Ashar. Tapi pada suatu hari, aku tersesat, hingga sampai Maghrib masih berputar-putar di hutan.

Untung saja ada seorang tentara pejuang yang sembunyi di hutan menemukanku. Dia mengantarkanku ke pinggir hutan, tepat di jalan setapak menuju desa. Sebelum melepasku pergi, dia menitipkan sepucuk surat untuk Mbak Siti Ayuni. Aku mengenalnya. Dia anaknya Pak Dimarno, teman Bapak berjualan pisang.

Advertisements

“Ini rahasia, jangan sampai ada yang tahu!”

“Iya, baik!”

“Nanti kalau ke hutan lagi, jangan mencari Mas Arya. Kalau ada surat atau apa, taruh saja di balik semak-semak di dekat pohon paling tinggi, di tempat mas menemukan kamu tadi!”

Kemudian aku pergi pun menelusuri jalan setapak yang sudah mulai berselimut gelap. Ketakutan bertemu tentara Belanda atau kaki tangannya membuatku berjalan dengan setengah berlari. Aku takut mereka mengetahui kalau aku membawa surat dari seorang tentara pejuang yang berada di dalam hutan. Kalau tahu, mereka pasti menyerbu hutan itu. Juga menangkapku dan menyiksa Bapakku yang dianggap membiarkan anaknya menjadi pemberontak.

Untuk menghindari itu, aku langsung saja mendatangi rumah Pak Dimarno tanpa pulang terlebih dulu. Rumah Pak Dimarno ada di ujung desa yang menuju hutan. Setelah ada di halaman rumah Pak Dimarno, terlihat Mbak Siti Ayuni bergegas bergegas menghampiri.

“Kamu kenapa Le seperti dikejar hantu?”

Langsung aku berikan surat itu. “Ini dari Mas Arya, Tole bertemu di hutan waktu nyari kayu.”

Mbak Siti Ayuni langsung berbinar matanya. “Bagaimana dia?”

“Masih ganteng!”

“Maksudnya keadaannya Le, sehat apa nggak!”

“Ohh, sehat, dia yang menemukan Tole waktu tersesat!”

“Nanti besok kalau mau nyari kayu bakar ke sini dulu ya, Mbak mau kirim surat balasannya!”

Setelah mengiyakan, bergegas aku pamit. Ada rasa bangga sudah menyampaikan tugas dengan sukses. Aku merasa sudah ikut berjuang, meski hanya mengantarkan surat.

***

Di rumah, Emak langsung memelukku dan membelai rambutku. Aku ceritakan padanya kalau aku tersesat dan baru menemukan jalan saat Maghrib. Tapi Emak tak percaya. Dia tahu kalau aku menyembunyikan sesuatu, hingga akhirnya aku jujur padanya.

Mendengar ceritaku, Emak terlihat bangga. Malahan, besok aku disuruh membawa bekal yang banyak untuk para tentara pejuang itu.

“Pasti jumlah mereka banyak, sembunyi di hutan untuk menghimpun kekuatan, Emak yakin sebentar lagi Indonesia merdeka!”

Baru kala itu aku melihat Emak begitu bersemangat, hingga aku merasa bergetar dan mendidih darahku terpacu untuk ikut berjuang.

***

Hari-hari berikutnya, aku ke hutan tak sekadar mencari kayu. Terkadang membawa makanan atau surat yang nanti aku letakkan di balik semak-semak, yang nantinya diambil Mas Arya. Tapi terkadang Mas Arya menemuiku untuk menanyakan situasi di desa atau menitipkan surat. Hanya dia yang kutemukan di hutan ini, tak ada yang lain. Entah berapa jumlah tentara pejuang di hutan, aku tak pernah tahu.

Tapi hari naas itu akhirnya datang juga. Saat sedang berjalan sendirian, aku diadang Mas Badil dan kawan-kawannya. Mereka merampas bakul nasi dan menemukan sepucuk surat titipan Mbak Siti Ayuni. Mas Badil menamparku dengan keras dan menghardikku untuk segera balik ke rumah.

Setiba di rumah, Emak langsung merangkulku dan memintaku berdiam di kamar. Kemudian banyak orang berdatangan. Mereka kemudian ramai-ramai membuat bambu runcing. Salah seorang pemuda menanyakan lokasi di mana aku bisa bertemu dengan Mas Arya. Lalu pemuda itu mengajak orang-orang, termasuk Bapak, pergi ke hutan. Hanya beberapa orang yang diminta tetap tinggal menjagaku dan Emak.

Tak lama kemudian, setelah Bapak dan orang-orang kampung pergi ke hutan, mobil truk yang membawa tentara Belanda lewat, diikuti para kaki tangannya yang berlari sambil mengokang senjata. Mereka tak ada yang datang ke rumah. Semuanya menuju hutan. Emak memintaku membantu dengan doa, agar tentara pejuang, Bapak dan warga desa diberi kekuatan.

***

Setelah serdadu Belanda dan antek-anteknya pulang dari hutan, para penduduk desa banyak yang bergeas pergi ke hutan. Begitu juga aku dan Emak. Tapi Bapak tidak bisa diketemukan. Hinga larut menyergap, kami pun tetap tidak bisa menemukan. Terpaksa aku harus pulang tanpa Bapak.

Ketika pagi tiba, Bapak akhirnya bisa ditemukan, tapi sudah tak bernyawa, termasuk Mas Arya dan beberapa orang pejuang lainnya. Emak berusaha tegar. Air mata menetes tanpa terdengar isak tangisnya. Aku pun berusaha menahan tangis, meski menyayat tapi aku berusaha kuat. Peristiwa kematian seperti ini sudah sering terjadi.

Hari itu juga, Bapak, Mas Arya, dan pejuang lainnya dimakamkan di pinggiran hutan. Semua warga desa ikut menghadiri pemakaman itu, termasuk Mbak Ayuni, yang tak henti-hentinya meneteskan air mata, sebagaimana aku dan Emak yang tak kuat membendung air mata.

***

Sekarang setelah merdeka, makam itu sudah tidak lagi ada di pinggiran hutan. Hutannya sudah hilang, berubah menjadi kawasan pabrik dan desanya sudah berganti kawasan perumahan. Setiap menjelang lebaran, komplek makam itu ramai dikunjungi orang berziarah. Banyak orang berdagang dan banyak juga orang berseragam ormas. Orang berseragam inilah yang mengelola parkir, meminta uang keamanan pada pedagang, hingga meminta uang masuk area makam pada pengunjung untuk dana pemeliharaan, dalihnya. Aku yang sudah menua hanya bisa memberi tanpa bisa berkata apa-apa.

ilustrasi: lukisan s sudjojono.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan