Jalen, Mata Air Pesantren di Ujung Timur Jawa

4,747 kali dibaca

Kini, namanya tak segegap gempita pondok-pondok pesantren besar yang bertebaran di Pulau Jawa, khususnya. Namun, pada abad ke-19 dulu, ia pernah menjadi padepokannya kiai-kiai besar yang kemudian mengembangkan pesantren tak hanya di Banyuwangi, tetapi juga di daerah lain, hingga ke Madura.

Sesuai dengan nama tempatnya, dulu ia disebut Pondok Pesantren Jalen. Terletak di Dusun Jalen, Desa Setail, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Walinya para wali, KH Syaikhona Kholil Bangkalan, disebut-sebut pernah nyantri di sini selama tiga tahun. Kiai Kholil kemudian menjadi gurunya banyak kiai besar, terutama KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). KH Mukhtar Syafaat, pendiri Pondok Pesantren Blokagung Banyuwangi, juga pernah mondok di Pesantren Jalen. Tercata juga, KH Abdul Manan dan KH Askandar, para perintis pesantren di Banyuwangi, juga pernah menjadi santri di Pondok Jalen ini.

Advertisements

Perintis Pondok Jalen adalah KH Abdul Basyar, yang sebelumnya dikenal sebagai seorang santri kelana asal Banten. Tak ada catatan yang pasti soal tanggal lahir KH Abdul Basyar. Sejarah mulai mencatat namanya ketika Basyar menjadi santri kelana, pindah satu pesantren ke pesantren lainnya untuk berguru. Pertama-tama, Basyar mondok Pesantren Ringin Agung, Kediri dan berguru kepada Kiai Nawawi. Dari sini, Basyar berpindah pondok. Kali ini ke Jepoko, Blitar dan berguru kepada Kiai Madunus.

Rupanya, Kiai Madunus jatuh hati kepada kecakapan dan kecerdasan santrinya ini. Karena itu, setelah beberapa menjadi santrinya, Kiai Madunus mengambilnya sebagai menantu. Basyar dinikahkan dengan putrinya. Rupanya, menjadi menantu tak menghalangi kebiasaan Basyar untuk berkelana. Setelah beberapa lama berumah tangga, Basyar pamit ingin melanjutkan pengembaraannya. Istrinya dibawa serta.

Selain ditemani istrinya, dalam pengembaraan yang tak tentu tujuannya ini Basyar diiringi oleh 7 orang temannya sesama santri —ada yang menyebut 60 orang santri. Pengembaraan Basyar terhenti di pinggir sebuah kali di daerah Banyuwangi. Saat itu, Dusun Jalen, Desa Setail, ini masih berupa hutan belantara. Karena merasa cocok di tempatnya, Basyar kemudian mengajak kawan-kawannya untuk babat alas, membuat permukiman di sini.

Semula, niat Basyar hanya bermukim, tak ada rencana untuk membangun pesantren. Ia, bersama kawan-kawan santrinya, membangun rumah-rumah sederhana dari bahan-bahan yang tersedia di hutan yang baru dibabat itu. Namun, lama-lama banyak warga yang datang untuk mengaji setelah tahu bahwa Basyar adalah seorang yang alim. Para santri yang berdatangan dari berbagai tempat ini kemudian membangun pondokan di sekitar rumah Basyar. Pondokannya berupa bilik-bilik angkring yang bahannya dari hutan sekitar.

Itulah awal mula berdirinya Pondok Jalen, yang terjadi sekitar tahun 1880 atau 1882. Seiring berjalannya waktu, nama Pondok Jalen mulai dikenal ke berbagai daerah, Basyar juga dikenal sebagai kiai yang alim, berilmu tinggi, dan memiliki karomah. Karena itu, santri pun berdatangan dari berbagai daerah. Misalnya, KH Mukhtar Syafaat dari Kediri, KH Kholil dari Bangkalan, Madura, serta Kiai Abdul Manan dan Kiai Askandar yang juga dari Kediri. Kelak, KH Mukhtar Syafaat mendirikan pesantren di Blokagung, KH Kholil mendirikan pesantren di Bangkalan, Kiai Abdul Manan dan Kiai Askandar mendirikan pesantren di daerah Sumberberas, Banyuwangi.

Kiai Abdul Manan ini kemudian dinikahkan dengan putri Basyar yang bernama Asminatun. Pasangan ini kemudian kemudian mempunyai seorang putri, yang akhirnya dijodohkan dengan Kiai Askandar. Dari sini, mata air kepesantrenan Pondok Jalen mengalir sampai jauh, hingga berbagai pelosok Nusantara.

Sepeninggal Kiai Basyar pada 1915, Kiai Abdul Manan yang kemudian dipercaya meneruskan kepemimpinan pesantren. Namun, selang beberapa tahun, pesantren tersebut diserahkan kepada adik iparnya yang ketiga, Kiai Mawardi. Sebagai satu-satunya anak lelaki, Kiai Mawardi merupakan pewaris utama dari pesantren tersebut. Kiai Manan sendiri memilih mendirikan pesantren baru di Sumberberas, Muncar.

Pada masa kepemimpinan Kiai Mawardi inilah, Pesantren Jalen berubah nama menjadi Pesantren Al-Ashriyah, namun tetap menerapkan sistem pendidikan bercorak pesantren salaf. Kitab yang dipelajari meliputi bidang fiqih, tauhid, nahwu, shorof, tafsir, dan hadits. Secara khusus, dalam perkembangannya pesantren ini lebih dikenal sebagai pesantren tasawuf. Hingga saat ini, Pondok  Jalen atau Pesantren Al-Ashriyah masih eksis. Santrinya memang tak sebanyak dulu, tapi warisan keilmuannya sudah turut menyemarakkan perkembangan pondok pesantren di Tanah Air.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan