Jalan Politik Santri: Nderek Kiai atau Berbeda Pilihan?

594 kali dibaca

Semakin ke sini, lini media maupun dunia nyata semakin berisik dengan perbedaan pilihan politik. Hal itu membuat saya tertarik untuk mengulik. Hal yang membuat saya tergelitik adalah ketika ada orang yang memiliki kapasitas ilmu mumpuni, bisa membedakan mana yang baik dan benar dengan ilmunya, tapi sayangnya ketika momen pesta demokrasi ini malah sekadar “nderek dawuh kiai“.

Sebenarnya tidak masalah ketika pilihan politiknya sekadar nderek dawuh. Itu hak. Yang menjadi masalah adalah sikap politiknya yang hanya pasrah bongkoan, bahkan mendekati taklid buta, itu digaungkan ke masyarakat umum. Lebih-lebih dijadikan jargon kampanye; “Pilih ini karena nderek dawuhe Mbah Kiai“, misalnya. Cara itu bukannya sama saja ‘menjual” dawuh kiai demi kepentingan politisi? Padahal, kiai sendiri ketika ngaji mengajari santrinya untuk tidak hubbul jah/cinta pangkat. Eh, santrinya malah memolitisasi dawuh kiai.

Advertisements

Saya tegaskan, berpolitik dengan nderek dawuh atau sam’an wathoatana itu tidak berdosa. Namun sikap politik yang demikian itu baiknya bagi orang awam saja, yang memang tidak tahu menahu tentang calon pilihannya. Silakan kalau mau nderek dawuh kiai, malah dianjurkan. Tapi jika santri bertahun-tahun mondok atau bahkan sudah menjadi mahasiswa tingkatan S2, politiknya sekadar nderek dawuh itu benar-benar patut dipertanyakan.

Maksudnya, buat apa belajar, dapat ilmu sedemikian tinggi, tapi masalah mendasar mengenai bernegara saja tidak bisa memikirkan sendiri? Hanya pasrah sama kiai. Lalu anugerah Allah berupa akal sehat itu buat apa? Afala tatafakkaruuuun.

Okelah kalau semisal sebelum ke taraf ngikut kiai itu. Setidaknya melalui pemikiran matang dulu mempelajari untuk menelisik kelebihan dan kekurangan setiap calon. Bagi mahasiswa bisa dengan cara menganalisis SWOT-nya (Strength Weakness, Opportunity, Threats). Bagi santri bisa dengan cara menimbang maslahat dan mafsadat-nya. Itu baru oke, ilmunya berguna. Bukan sekadar taklid buta. Jika nanti ternyata hasil analisa itu sama dengan pilihan kiai, ya alhamdulillah.

Namun yang menjadi garis besar, kampanyenya itu mbok ya jangan memakai diksi “nderek kiai” atau “manut kiai”. Bagaimana nasib negara ini kalau warganya yang ber-ilmu saja malas berpikir, maksudnya cara kampanyenya jangan doktriner. Minimal membahas program-program dan gagasan yang ditawarkan oleh setiap calon. Bukannya malah “menjual” dawuh kiai, sedikit-dikit nderek kai. Model seperti ini juga tidak kreatif. Not enter. Ndak masuk. Pemilu itu merupakan majelis demokrasi, bukan Majelis taklid belaka.

Lalu gimana kalau beda pilihan sama kiai, atau tidak nderek kiai? Ikhtilaful ummat is rohmat, perbedaan adalah hal yang wajar. Boro-boro masalah politik, hal yang esensial semacam fikih saja Imam Syafi’i kerap berbeda dengan Imam Malik, sang gurunya. Karena itu, berbeda pilihan politik jangan dianggap tidak NU atau malah dianggap beda mazhab. Not make sense, tak masuk akal.

Saya kira guru yang benar-benar arif bijaksana akan membebaskan pilihan politik muridnya. Toh di kursi DPR RI Senayan sana, sekarang lagi duduk seorang kiai dan santriñya dengan partai yang berbeda. Mereka baik-baik saja.

Catatan terpentingnya lagi, zaman sekarang beda dengan zaman Orde Baru. Di era Orde Baru dulu sangat dianjurkan untuk tunduk dengan pilihan kiai, karena memang lawannya berat. Pak Harto yang begitu nginjak-nginjak NU, kala itu kalau tidak nderek kiai bisa dipastikan memusuhi kiai. Kalau ada santri milih Golkar pada zaman itu, bisa “ghodzban syadiddd” sang kiai. Maka tak heran Kiai Mahrus sampai membuat pernyataan bahwa tujuh  keturunannya tak akan milih partai warna kuning itu. Karena saking parahnya Pak Harto wa akhowatuha.

Nah zaman sekarang beda, semua calon presiden, misalnya, terjamin akan mengakomodasi kepentingan umat Islam. Siapa pun yang jadi presiden, pesantren tetap jalan. Secara legal ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Secara politik, di balik tiga pasangan calon presiden/wakil presiden, ada orang pesantren semua. Kandidat 01 cawapresnya sendiri cucu Kiai Bisri Syansuri. Kandidat 02 sudah jelas didukung Habib Luthfi. Penasihat kandidat 03 itu Mbak Yeni, putri Gus Dur, Jadi aman dan sah-sah saja kan kalau beda politik sama kiai. Ga sampe kok keluar madzhab.

Maka, sebagai negara demokrasi, dengan sistem pemilu yang Luber dan Jurdil, setiap individu warga negara bebas memilih calon pemimpinnya, tanpa ada intervensi dari mana pun, bahkan dari kiainya sendiri. Kalau benar-benar tidak bisa berpikir sendiri untuk menentukan pilihan, baru boleh nderek kiai. Kalau masih bisa memikirkannya sendiri, ya kampanyenya jangan nderek kiai. Cari jargon yang agak keren sedikit.

Pastinya, siapa pun yang terpilih adalah yang terbaik, apalagi Indonesia dihuni umat Islam terbesar di dunia dan sudah diberi garansi oleh Nabi SAW. أمتي لا تجتمع على ضـلالة.”Umat Nabi tak akan bersepakat dalam kesesatan.”Sekian, wallohu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan