Istri Ketiga

656 kali dibaca

Hampir dua hari kau tampak murung. Tak ada cercah harapan yang bisa mengganti mendung di pikiranmu setelah dua hari lalu kau memutus pertalian sakral dengan istrimu. Sebenarnya, kau tidak mau melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh kayakinan di agamamu. Tetapi apalah daya, ketersiksaan yang kerap menjambangimu ketika lelap di ranjang anyar setiap malam setelah menikah, tak bisa kau tahan lagi. Maka, menalak istrimu yang baru kau sunting setengah bulan lalu harus kau ambil cepat-cepat.

Kehadiran istrimu yang pertama, sungguh di luar dugaan. Benar-benar jauh dari yang kau perkirakan. Kau tidak menyangka, bahwa istrimu yang pertama bakal membawa sial saat di atas ranjang pengantin. Bagaimana tidak, setiap kali terlelap, selalu istrimu mendengkur keras. Awal-awal, kau mencoba biasa, tetapi setelah tiga malam berturut-turut, kau mulai menceramahi istrimu.

Advertisements

“Coba kalau tidur jangan mendengkur,” pintamu tegas pada istrimu di amper rumah saat pagi tiba.

“Siapa yang mendengkur? Perasaan, aku tidak pernah mendengkur saat tidur,” istrimu mengelak.

Kau tahu betul, kalau yang diutarakan istrimu itu sedikitpun tidak benar. Tapi, kau tahu sendiri bahwa istrimu selalu mendengkur keras saat tidur. Dan kupingmu selalu terusik hingga membuatmu tak lelap.

“Perempuan kalau tidur mendengkur itu tidak wajar, tahu ‘kan?”

“Siapa yang mendengkur?”

“Kamu.”

“Aku? Mana mungkin aku mendengkur,” sambung istrimu mengelak lagi.

“Awas, kalau nanti malam masih mendengkur, kucerai kau!” ancammu dengan telunjuk mengarah pada wajah istrimu.

Kau sungguh tidak biasa tidur bersama orang yang mendengkur. Semenjak kecil, kau memang diajari untuk tidak mendengkur ketika tidur. Dan sampai sekarang, kau tak pernah mendengkur di waktu tidur. Terlebih ibumu yang paling tidak suka kalau tidur dengan orang yang mendengkur.

Akan tetapi, pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya tidak menyertaimu. Nasibmu tidak seberuntung ibumu. Suami ibumu, atau juga ayahmu, tidak mendengkur ketika tidur. Itu sebab mengapa tidurmu selalu nyenyak sampai pagi tiba. Hingga akhirnya—singkat cerita—ketenangan di waktu tidur musnah saat kau mempersunting perempuan desa tetangga, yang sudah kau cerai beberapa hari lalu.

Setelah perceraian itu, tidurmu kembali nyenyak, hanya kau sendiri, tidak ditemani siapa-siapa, kecuali bantal dan selimut. Hampir sepekan, kau merasa nyaman hidup sendiri, sampai di ujung tanduk waktu, kesepian mulai mengoyak ragamu. Ketika tidur, kau merasa tenang, hanya, kesepian terlalu menguasai ketenanganmu. Hingga sepi tak bisa kau tolak lagi. Dan berpikir keras untuk menikah lagi terpatri sangat di batok kepalamu.

Satu pekan lebih dua hari, kau mulai berencana untuk menikah lagi. Pagi-pagi sangat, kau sudah berada di rumah temanmu yang kau anggap banyak kenal dengan perempuan anak satu, yang janda tentunya.

Kau sengaja berangkat agak pagi, karena siapa tahu Gunung Himalaya di depan mata, melihat janda anak satu lari-lari kecil. Untuk hal itu, kau tidak begitu berharap sangat, hanya saja, bila bertemu, rugi kalau tidak menikmati tubuh sintalnya. Membayangkan saja, kau sudah tidak tahan untuk melihat segera.

“Nanti ada janda lewat depan rumah, dan namanya Rosali,” temanmu berujar setelah selesai mempersilakan kopi untuk diminum.

Pikiranmu berkelana jauh ke antah berantah, sesuatu yang jorok mulai terbesit dalam batok kepalamu. Jantungmu berdegub cepat setelah temanmu mununjuk perempuan sintal keluar dari rumahnya.

“Itu yang namanya Rosali.” Kau menoleh cepat takut terlambat dan keburu melihat.

Rosali memakai kaus biru muda ketat. Lekukan pinggul dan pinggangnya bergitu terukir jelas dan terekam sangat di retinamu. Sedikitpun kau tidak berkedip saat Rosali nyaris lurus dengan pintu rumah temanmu.

“Kok sendiri?” tanya temanmu setelah Rosali melirik manja.

“Iya, Mas, yang lain sudah ada di alun-alun semua.” bergitu lembut suara Rosali yang diriingi senyum manis.

Kau tak ketinggalan memasang senyum, dan memastikan Rosali melihat senyummu. Lirikanmu sedikitpun tidak teralihkan pada tubuh sintal Rosali saat tubuhnya nyaris hilang di pertigaan selatan rumah temanmu.

“Bagaimana?”

“Bisa negosiasi sekarang?”

“Ha-ha-ha… kau sudah sungguh ngebet nikah lagi, ya.” Kau tertawa mendengar celoteh temanmu, pun demikian temanmu.

“Kalau bisa negosiasi sekarang, jangan banyak buang waktu.” begitu mantap kau meyakinkan dirimu untuk segera menjalin hubungan dengan Rosali.

***

Wajahmu kembali cerah setelah mendung kau usir dengan kedatangan Rosali. Dua hari lalu kau sudah meminangnya. Tidak banyak yang tahu memang, di samping menjaga uang tidak ke mana, kau juga memastikan tidak ada cibiran tetangga berhamburan di udara.

Di samping Rosali, malam pertama kau tidur, tidak ada suara-suara bising apapun. Lelap malammu begitu sepi, hingga sampai pagi ketenangan masih kau kantungi. Rosali, seperti yang kau pikiran beberapa hari kemarin; tidak mendengkur ketika tidur.

Ketenangan yang kau rasakan itu pecah ketika memasuki malam kelima. Tidak sama persis seperti istrimu yang pertama memang. Hanya, kau cukup tersiksa juga dengan tingkah laku Rosali di sepertiga malam, yang tiada henti mengingau sambil sesekali disertai gerakan kaki atau tangan yang mengarah ke segala arah. Di malam itu pula, bibirmu pecah akibat entakan tangan Rosali terlalu keras mendarat. Kau menahan geram kesakitan. Untungnya, kau tidak sampai berteriak. Tak lama kemudian, tendangan kaki Rosali agak sedikit keras mengenai pinggulmu, dan kau terjerembab ke dasar lantai pualam.

Ke esokan paginya, kau bertanya pelan kepada Rosali perihal tingkahnya malam tadi. Di ruang tamu, menjadi tempat yang paling mungkin mengutarakan keresahanmu.

“Perempuan tidak baik kalau tidur mengingau,” kau berujar sambil melonggarkan bibirmu yang pacah.

“Maksudmu? Kau menunduh tidurku mengingau?” tatapannya begitu sinis dengan menyipit-nyipitkan kantung mata.

“Bibirku pecah sebab tanganmu, dan aku terjerembab akibat kakimu. Apa memang begitu cara tidurmu hampir menyerupai orang kerasukan.”

“Eleh alasan, kau ingin memojokkanku kan?”

“Maksudmu?”

“Buktinya, bibirmu pecah karena tanganku, kau jatuh dari ranjang karena kakiku. Padahal aku tidak melakukan apa-apa.” Kau tidak mampu meladeni Rosali. Ia lebih bebal dari istrimu yang pertama, dan pikiranmu mulai berencana untuk meninggalkannya.

Untuk menalak Rosali, kau masih harus berpikir berkali-kali. Sebab, selama lima malam, sedikitpun kau masih belum menikmati tubuh sintal Rosali. Rugi sekali jika tidak kau nikmati terlebih dahulu. Tetapi, kau takut bibir pecah dan jatuh dari ranjang kembali terjadi dan sakitmu tidak kunjung terobati.

Karena itu, segera kau putuskan untuk mengembalikan Rosali ke rumahnya sendiri. Teringat istrimu yang pertama, tidak ada kesempatan kedua bagi istri yang tidak sesuai kehendak hati. Maka, di waktu pagi, saat matahari semakin meninggi, dengan lembut kau berujar pada Rosali agar kembali ke rumahnya. Dengan berat hati, Rosali menuruti walau dada perih dan mata pedih tak bisa kau tutupi.

***

Lagi-lagi, mendung berarak ke dadamu lagi setelah Rosali pergi meninggalkan rumahmu yang masih bau kasturi. Kau mulai merenung memikirkan nasib hati yang tiada penghuni lagi. Kamarmu sepi, rumahmu sepi, dapurmu sepi, dan kau kembali seorang diri di ranjang sunyi.

Keinginan untuk tidak menikah lagi sedang kau bulatkan. Kau sungguh takut, saat memutuskan menikah lagi, kau tidak mujur seperti ibumu. Kau juga takut menjadi laki-laki yang menyandang kolektor bekas istri orang.

Tapi, sekali lagi, kau masih ngebet untuk menikah. Jika tidak begitu, kau akan kesulitan untuk beraktivitas dan mencari rezeki sebab segala kebutuhan rumah harus kau urus sendiri. Tentu, di kampungmu, hal seperti itu akan menjadi buah bibir sehari-hari. Jika telanjur demikian, sudah kau pastikan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mengurus diri sendiri. Keluar rumah, kau malu. Mau ke tetangga, kau ragu-ragu. Takut cibiran itu mengudara sepanjang waktu.

Setelah mendung tidak kunjung pindah dari pikiranmu yang berlimpah ruah dari berbagai masalah. Kau mencoba mengingat kembali niat yang hendak kau mantapkan untuk mempersunting bekas istri orang lagi. Lama kau berpikir keras, hingga pada kesimpulan, kau memutuskan untuk menikah untuk yang terakhir kali.

Kembali kau mendatangi rumah temanmu lagi. Di sana, kau banyak bercerita keluh kesah yang kau alami selama membangun rumah tangga. Di samping juga minta usul atau cara-cara menyeimbangkan keserasian kaluarga. Baru, setelah yang ingin kau utarakan selesai, kau mulai menentukan kriteria orang ketiga yang akan menemanimu di atas ranjang.

“Yang pasti, tidak mengingau, tidak mendengkur, tidak mengusik dan yang lainnya.” Temanmu terperanjat mendengar kalimatmu. Kau sengaja melakukan hal itu agar tidurmu nyaman.

Temanmu berpikir keras untuk menemukan perempuan yang sesuai dengan kriteriamu. Dan kau, berharap sangat temanmu menemukan apa yang kau harapkan.

“Ada, kalau tidak salah namanya Barizah, rumahnya di ujung perbatasan sana. Mau sekarang ke sana?” tawar temanmu sambil melihatmu yang mengangguk seketika.

Gegas kau ke motor yang terparkir di halaman. Menyalakannya sebentar sambil menunggu temanmu ganti pakaian.

Selama perjalanan, kau berharap Barizah sesuai kriteriamu. Pikiranmu tiada henti berangan-angan perihal wajah, senyum dan sintal tubuhnya. Gas semakin kau tarik kuat-kuat berharap tidak lemot diperjalanan.

Sesampainya di tujuan, kau melihat sekitar; sepi dari hiruk-pikuk orang-orang. Belum lagi, temanmu menunjukkan rumah Barizah yang hanya sendiri berdampingan dengan kuburan. Entah menit ke berapa, seorang perempuan keluar dari rumah itu. Tubuhnya biasa-biasa saja. Wajahnya tidak serona yang kau harapkan. Dan pinggulnya tidak terlalu ke belakang seperti yang kau angankan. Tapi, semua itu bukan soal pelik untuk kau putuskan.

***

Kembali kau berhasil mempersunting Barizah janda perbatasan itu. Perasaanmu teramat bahagia karena ketika Barizah tidur siang sedikitpun tidak bergerak. Apalagi mengingau dan mendengkur, sama sekali kupingmu tidak dengar.

Ketika hendak tidur malam, kau menyisipkan berbagai cerita hidupmu sewaktu masih kanak dan remaja. Dengan terang-terangan kau berkata, kalau keluargamu sedikitpun tidak pernah mendengkur, apalagi ibumu. Barizah tersenyum malu. Mungkin itu jawaban dari pertanyaanmu

“Sudah kita tidur saja.” Pintamu sambil menarik selimut di ujung kaki.

Lagi-lagi Barizah tersenyum, dan kau membalas senyumnya.

Malam pertama dengan Barizah, tidurmu sangat nyenyak. Tak ada dengkuran, tak ada igauan yang bekelindan di langit-langit kamar. Kau menoleh ke Barizah saat matahari menyusup dari jendela. Begitu lelap ia tidur. Tapi, kau harus cepat-cepat membangunkannya. Jika tidak, sarapan pagi tak akan terhidang. Kau menyentuh kulit istrimu. Dingin. Telunjukmu kau tempelkan pada hidungnya, tak ada embusan napas! Dan jari-jarimu pun menggigil.

Annuqayah Lubangsa, 1-16 Februari 2023.

ilustrasi: lukisan hendra gunawan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan