Ada ustadz yang bilang Nabi Muhammad sesat sebelum mendapat hidayah. Ada lagi yang bilang Nabi Muhammad gagal menciptakan rahmatan lil’alamin. Hampir di setiap kesempatan, mereka juga membandingkan Islam dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), al-Quran dengan Pancasila. Tapi, tidak pernah ada yang gaduh mempermasalahkan mereka. Tak ada yang menuduh mereka melecehkan Nabi. Tidak ada yang melaporkan ke polisi dengan tuduhan menista agama karena membanding agama dan al-Quran yang sakral dengan NKRI dan Pancasila yang profan.
Tapi, ketika ada yang membandingkan Nabi Muhammad dengan Soekarno, mereka langsung gaduh dan ribut dengan melontarkan berbagai tuduhan; menista agama, melecehkan dan merendahkan Nabi yang mulia karena dibandingkan dengan Seoekarno yang manusia biasa. Kemudian, mereka ramai-ramai melaporkan kasus tersebut ke polisi. Mereka juga menuduh tindakan tersebut memimbulkan keresahan dan digolongkan sebagai tindakan tidak menyenangkan.
Lha, mereka setiap hari bikin keresahan, bersikap tidak menyenangkan dengan menuduh orang lain kafir dan thoghut, menista Nabi dengan tuduhan Nabi sesat dan gagal. Namun, tak ada yang melaporkan dan meributkannya.
Semua kejadian ini membuktikan bahwa: Hukum hanya berlaku orang waras. Hukum tidak berlaku untuk orang gila dan yang terganggu akal/jiwanya (mabuk).
Dalam salah satu hadits disebutkan, hukum diangkat (tidak diberlakukan) terhadap tiga jenis manusia, yaitu anak kecil sampai dia dewasa (baligh), orang gila sampai dia sembuh, dan orang yang tidur sampai dia terbangun. Dari sini, para ulama fiqh (fuqoha) menetapkan bahwa orang yang dikenai hukum (mukallaf) adalah yang sudah dewasa (aqil baligh), waras (tidak gila), dan dalam keadaan sadar.
Rumusan ini juga sesuai dengan hukum positif yang memberlakukan hukum pada orang dewasa (di atas 17 tahuan), tidak terganggu jiwanya (sakit jiwa), dan melakukannya secara sadar. Meskipun, orang gila tidak dikenai hukum, bukan berarti mereka harus dibiarkan melakukan apa saja. Justru, mereka harus diawasi agar tindakannya tidak merusak tatanan. Mereka harus dibina dan didampingi agar bisa sembuh dan tumbuh secara baik.
Namun, kalau kegilaannya masih sebatas tertawa dan bicara sendiri (marsis), mengurung diri, tidak mau diajak berkomunikasi dan dialog, maka bisa diberlalukan prinsip yang waras “ngalah”. Namun, jika kegilaannya sudah merusak rumah, menghancurlan bangunan, mengamcam dan melukai orang lain, maka demi menyelamatkan orang lain dan menjaga rumah bersama, yang waras tidak boleh mengalah lagi.
Jika sakitnya sudah parah dan tidak bisa disembuhkan, mereka barus dilokalisasi atau dikarantina agar keberadaannya tidak mengganggu orang lain dan merusak tatanan sosial dengan berbuat keonaran. Ini merupakan tugas dan tangung jawab negara. Masyarakat bisa membantu untuk melaksanakan tugas tersebut, tapi tidak boleh melampaui kewenangan negara.
Ini artinya, penanganan terhadap orang gila tak bisa dilalukan dengan pendekatan hukum semata, tetapi perlu pendekatan kultural, social, dan psilologis. Dialog dan bimbingan lebih diperlukan daripada penjara. Selain karena faktor yuridis yang tidak dapat menjangkau orang gila, pendekatan hukum juga membuat suasana makin gaduh sehingga mengganggu penanganan aspek yang lain. Ekonomi bisa terbengkalai, stabilitas terganggu, kedamaian dan persaudaraan terabaikan karena larut dalam kegaduhan yang diciptakan orang gila yang bebas hukum.
Tak terbayangkan betapa rusaknya suatu negara jika orang gila dan orang-orang yang terganggu pikirannya ikut bermain politik dan berebut kekuasaan. Betapa hancurmya suatu negara jika dipimpin orang gila dan dikuasai gerombolan orang-orang yang tidak waras/terganggu akalnya. Sebab, orang-orang seperti ini tidak bisa dikenai hukum negara maupun agama. Di sinilah pentingnya bangsa ini melakukan karantina dan memberi pengawasilan secara ketat terhadap orang gila agar tidak banyak berulah yang mengganggu sesama warga bangsa dan mengahncurkan tatanan negara.