Hari Santri, Perspektif Mbah Moen

393 kali dibaca

Kala itu, pasca-Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara merdeka,  Ir Soekarno (Bung Karno) masih terus diselimuti kekhawatiran. Mengingat, hingga saat itu belum ada satu pun negara di dunia yang mengakui eksistensi Indonesia sebagai negara merdeka. Karena itu, Bung Karno berinisiatif mengirim seorang pergi ke Pesantren Tebuireng untuk menemui dan sowan kepada Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.

Bung Karno bermaksud untuk menanyakan secara jelas terkait hukum membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan. Merespons hal itu, secara eksplisit Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa umat Islam harus bersatu untuk membela tanah air dan mengusir penjajah. “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)

Advertisements

Fatwa ini mewakili dari hasil akhir di balik terselenggaranya Rapat Besar Wakil-Wakil Daerah (Konsul 2) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. Hasil ini kemudian yang dikenal sebagai Resolusi Jihad. Bergemuruh dan membaranya tanah Jawa dan Madura kala itu juga tidak terlepas dari seruan jihad tersebut. Masyarakat sipil dan para santri bersatu di bawah komando Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari.

Terbukti di bulan selajutnya setelah lahirnya fatwa Resolusi Jihad, tepat di bawah awan mendung 10 November 1945 di Surabaya, terjadi perang besar-besaran dengan tentara Sekutu (Inggris) yang tak sedikit menewaskan para pejuang dan rakyat. Banyaknya pahlawan yang gugur, tidak menjadikan santri-santri waktu itu mundur, tetapi justru membuat semangat api santri semakin menyala hingga akhirnya Inggris takluk dan kalah. Surabaya yang kemudian dikenal sebagai Kota Pahlawan juga menjadi alasan kuat untuk mengenang keberhasilan menaklukkan Inggris di Surabaya itu sendiri.

Ditetapkannya 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri untuk mengenang jasa para santri dalam kesetiaannya memegang teguh fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia kala itu. Hingga hari ini, semua rakyat Indonesia bisa merasakan kenikmatan bangsa yang merdeka secara de facto dan de jure sekaligus.

Hari Santri Perspektif Mbah Moen

Ditetapkannya Hari Santri tentu membawa angin segar bagi santri di seluruh Indonesia. Melalui keputusan ini, eksistensi dan kontribusi santri sudah tidak bisa diragukan lagi. Karena itu, Hari Santri di tahun 2023 ini harus bisa dijadikan sebagai momentum spesial untuk menunjukkan eksistensi santri kembali sebagai sebuah entitas yang tidak bisa dilepaskan dari peradaban Indonesia. Mengingat, Oktober sebagai bulan lahirnya Hari Santri juga mempunyai relevansi tersendiri dengan Islam.

Salah satu ulama kharismatik yang menyampaikan relevansi Oktober (bulan dilahirkannya hari santri/resolusi jihad) dengan Islam adalah Almaghfurlah KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen. Dalam sebuah ceramahnya, Mbah Moen pernah menyampaikan bahwa santri harus bisa mengenang bangsa Indonesia yang mempunyai Hari Santri. Hari yang tidak bisa hanya diartikan sebagai hari biasa atau hari yang memiliki makna kecil, tetapi Hari Santri adalah hari yang memiliki makna yang begitu besar atau luas.

Menurut Mbah Moen, Hari Santri perlu dikenang sebab untuk memperingati fatwa ulama bahwa hukum menjunjung dan membela tanah air adalah fardhu ‘ain. Karena bagaimana pun, Oktober—sebagai bulan lahirnya Hari Santri/Resolusi Jihad— menurut Mbah Moen mempunyai nilai yang spesial bagi umat Islam. Mbah Moen sendiri mendefinisikan atau memposisikan bulan Oktober sebagai bulan peringatan yang sakral.

Bahkan, Mbah Moen juga mengaitkan bulan Oktober dengan sejarah awal perjuangan Nabi Muhammad SAW di waktu silam. Memang, dalam sejarahnya Nabi Muhammad memulai menancapkan tonggak perjuangannya di Madinah bertepatan pada bulan Oktober.

Kutipan Mbah Moen kurang lebih seperti ini, “Bulan Oktober merpakan bulan peringatan. Nabi memulai, mentancapkan tonggak perjuangan dimulai dari kota al-Madinatil Munawwaroh. Nabi hijrah adalah bertepatan bulan Oktober. Ini indahnya, ini bulan apa ini?,,,Oktober…Bulan untuk mencanangkan perjuangan, memperjuangkan tanah air hukum agama Islam wajib adalah bulan Oktober.” (Channel YouTube PP Al-Anwar Sarang Rembang)

Begitulah relevansi bulan Oktober sebagai bulan peringatan (Hari Santri dan Sumpah Pemuda) menurut perspektif Mbah Moen dalam konteks bangsa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa relevansi yang dijabarkan Mbah Moen tidak lain dan tidak bukan menjadi titik awal yang harus disyukuri; bahwa Indonesia benar-benar menjadi negara yang kebangkitannya dimulai dari anak-anak muda dan kaum santri.

Tepat di tanggal 22 Oktober 2023 ini, kita akan kembali mengenang dan memperingati Hari Santri Nasional sebagai hari yang tidak bisa diartikan sebagai hari biasa tanpa sejarah. Hari Santri adalah hari di mana santri mempertaruhkan raga dan nyawa dalam mempertahankan kemerdekaan, dan Oktober menjadi bulan dengan penuh sejarah di mana menjadi awal perjuangan Nabi Muhammad SAW, serta menjadi awal memperjuangkan tanah air hukumnya wajib. Selamat Mengenang, Jihad Santri Jayakan Negeri!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan