Hari Bumi, Manusia Harus “Membumi”

2,099 kali dibaca

Earth Day, 22 April 1970, Senator Gaylord Nelson AS menyuarakan isu lingkungan. Semakin booming dengan terbitan buku 1962 Silent Spring karya Rachel Carson. PBB kemudian mengamini dengan meresmikan 22 April sebagai “International Mother Earth Day“.

Kabar kini tentang Bumi:beragam informasi, berbagai situs, media sosial, dan media lain, yang menyoroti bahwa Bumi sedang bed rest, rehat sejenak, sebagai efek dari pandemi global Covid-19. Tingkat polusi yang turun, tingkat ketebalan atmosfer yang bertambah, penurunan emisi nitrogen dioksida, lapisan ozon meningkat 1-3 persen, dan penurunan kebisingan seismik. Planet bumi mengistirahatkan dirinya sejenak dan bernapas sedikit lega.

Advertisements

Sebelumnya, Islam telah mengonsep “Dahwul Ardh, 25 Zulkaidah sebagai hakikat penciptaan Bumi yang termaktub dalam surah An-Nazi’at: 30. Allah juga berfirman yang artinya, “Allah-lah yang menjadikan Bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap.” (QS Ghofir: 64).

Bumi berperan besar bagi kehidupan. Padi, pohon jati, kelengkeng, bunga mawar, lombok, tebu, dan berbagai tanaman lain yang menghasilkan, tentu saja akan dipuja karena yang dihasilkannya. Yang sering dilupakan adalah Bumi sebagai pijakan dan tempat menancapkan akar segala kehidupan. Pestisida dan insektisida tidak luput dibeli dengan mahal sebagai penyubur tanaman, mematikan rumput liar, pelebat daun, anti hama, dan lain sebagainya. Namun ini menjadikan Bumi ‘tersika’ dan dipaksa. Jarang dipuja, bahkan terkadang disalahkan. Padahal, Bumi terus dieksplorasi, ditanami-panen, ditanami lagi, dikontaminasi bermacam kimiawi.

Dikuras kesuburannya, Bumi tetap dalam kesabarannya. Dieksploitasi tanpa henti, tanah pun tetap hening dan geming. Ah, jika tanah bisa berbicara pada manusia, mungkin ia akan berkeluh: istirahatkan aku…

Bumi sebegitu ikhlas, tidak meninggi hanya diam menunggu, selayak meneladani Nabi Muhammad SAW sebagai uswah-nya. Sebagaimana nabi sebagai manusia “langit” yang tetap “membumi”, tidak memposisikan diri teratas meski terutus. Dengan tangannya sendiri ikut membantu membuat parit pada perang Khandak dengan ahli strategi Salman Al Farisi. Tidak bertepuk dan hanya menunjuk, selayak raja dunia dan yang lain adalah hamba. Bumi menurut tidak menuntut. Ikhlas…

Kultus agama tersebut dalam firman-Nya ‘waman ya’mal mitsqala khoirotin khoiroyyarah…’. Allah akan (pasti) membalas sedikit perbuatan baik atau jahat meski sekecil biji dzarrah. Ikhlas tentu akan “dibayar” oleh Allah (dan mungkin sekarang Allah SWT sedang membayar ikhlasnya tanah). Ibrah-nya kepada manusia, bahwa ikhlas menjadi puncak, klimaks dari segala hal, tidak dapat ditakar atau ditukar, tiada dapat diukur. Ikhlas tidak mungkin dinilai karena ikhlas adalah ikhlas itu sendiri. Maka, ikhlasnya tanah di Bumi, al-ardh, dengan fitrah manusia sebagai khalifahnya (QS Al-Baqarah:30), secara perspektif Islam berkorelasi dengan ikhlasnya Bumi, agar khalifah-khalifah di atasnya bisa membumi, berpijak di Bumi dengan langkah bijak untuk memanfaatkan Bumi.

Hari Bumi manusia harus ikhlas “membumi”, afala tatafakkaruun… selayak manusia yang bisa berpikir, berpikir lebih jauh, jernih, dan matang tentunya. Manusia perlu rehat sejenak, menutup mata sebentar, iktikaf, tumaninah, dan tafakur. Bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari tanah dan menjadikannya untuk memakmurkan manusia. Allah SWT melarang manusia merajalela di Bumi dengan berbuat fasad fil ardhi, fil bahri, dan fissamawat. “Membumi” untuk tidak berbuat kerusakan setelah diciptakan Allah SWT dengan baik. Keikhlasan untuk “membumi” dengan berbuat baik untuk kebaikan itu sendiri, memberi kemanfaatan dan menolak kemudharatan, kepada bumi-Nya dengan segala isinya. Selamat Hari Bumi!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan