Hakikat Haji

751 kali dibaca

Setelah dua tahun gagal diberangkatkan karena berbagai alasan, termasuk pandemi, untuk tahun ini Kementerian Agama (Kemenag) boleh lega. Sebab agenda tahunan seperti pemberangkatan jemaah haji sudah bisa dilaksanakan. Dengan total keseluruhan 100.051 jemaah, yang terdiri atas 92.825 kuota haji reguler dan 7.226 jemaah kuota haji khusus (Jawa Pos, 13/06/22), sebanyak 39.914 jemaah haji telah diberangkatkan ke tanah suci. Sebagian jemaah sudah sampai dengan selamat.

Tetapi dalam pemantauannya, saya sedikit terkejut ketika ada sebuah berita tentang pelaksanaan ibadah haji di tanah suci. Dalam berita tersebut, Kemenag mengimbau para jemaah haji agar tidak memakai atribut politik selama berhaji dan tidak melakukan kegiatan politik dalam bentuk apa pun. Laporan ini ditulis secara langsung dari Mekkah oleh Naufal Widi AR (Jawa Pos/18/06/22).

Advertisements

Sampai di sini saya dihantui pertanyaan-pertanyaan besar di balik itu semua; apa hubungannya praktik haji dengan politik, sehingga Kemenag mengimbaunya secara tegas? Apakah dalam praktiknya, haji mempunyai kaitan erat dengan politik? Saya rasa tidak. Lalu, apakah memang dalam serangkaian ibadah haji ini terdapat embel-embel yang mengarah terhadap kepentingan politik? Bisa juga benar, bisa juga salah.

Saya tidak bisa menjawab secara pasti pertanyaan ketiga. Tetapi, saya akan berusaha menjawab dengan menampilkan kajian yang dilakukan seorang psikolog sosial, Gordon W Allport (1966), bahwa tidak selamanya orang yang kelihatan religius benar-benar memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Bahkan tidak jarang, agama hanya dijadikan alat legitimasi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.

Nah, yang perlu digarisbawahi dari pernyataan Allport adalah tentang bagaimana cara dan orientasi beragama, bukan pada entitas agama itu sendiri. Maka dari itu, Allport menampilkan dua bentuk orientasi religius (beragama), yaitu intrinsik dan ekstrinsik.

Untuk yang pertama (intrinsik), lebih tertuju pada objektivitas agama; tentang nilai yang terkandung di dalamnya, tujuan murni karena agama, lahir berdasarkan nilai-nilai agama dan tidak mengharapkan apa-apa selain menikmati agama yang dianutnya. Dalam bahasa yang mudah, intrinsik dari agama, oleh agama, dan untuk agama semata.

Tetapi berbeda dengan model yang kedua, yakni lebih tertuju pada kualitas persona dari agama itu sendiri, memiliki tujuan yang terpisah dari spirit agamanya, tidak semata lahir dari nilai substansial yang terkandung dalam agama, beragama karena ada unsur kepentingan yang parsial demi mewujudkan kepentingan dan tujuan kelompok tertentu.

Besar kemungkinan dari imbauan yang dikeluarkan, Kemenag telah memprediksi atau memang telah merasakan atmosfer bau-bau politik, meskipun dalam pelaksanaan haji sekalipun. Sampai di sini, stigma buruk bahwa Islam hanyalah ibadah ritual sedikit mendapat afirmasi. Sungguh dilematis jika demikian faktanya.

Padahal di luar itu, urgensi haji terletak dalam makna substantif yang terkandung di dalamnya, yaitu kesadaran diri (self consciousness). Bagaimana kemudian para jemaah haji dituntut bisa menemukan hakikat nilai yang terkandung dalam ritual haji. Kesadaran diri inilah yang nantinya bertumpu pada penguatan sistem totalitas dan ketundukan dalam menghamba kepada Allah SWT, dengan disertai hasrat profetik dalam mendayagunakan seluruh aspek spiritual yang ada. Tanpa aspek tersebut, haji tidak ada bedanya dengan kunjungan-kunjungan pariwisata.

Ulama-ulama sufi sering menyebut haji sebagai konsistensi maksud dan niat, dengan disertai semangat religius yang tinggi untuk memenuhi panggilan-Nya. Dengan kesadaran spiritual yang telah membatin pula, akan berpengaruh besar terhadap kualitas hidup seseorang. Pada titik ini, hakikat haji mengajarkan kita bertindak sejalur dan lurus dengan kehendak nurani. Dengan kata lain, tidak ada embel-embel selain hanya untuk memenuhi panggilan-Nya semata.

Dan saya lebih setuju, bahwa dikatakan orang yang beragama bukan semata dilihat dari perbuatan baik dan buruknya. Melainkan ditinjau dari sejauh mana ia memandang hidup serta memegang prinsip. Artinya, harus ada semacam jarak pemisah antara ritual agama dengan praktik politik.

Oleh karena itu, totalitas dalam melaksanakan haji penting dijalani. Sebab, seperti yang telah banyak orang katakan, haji bisa menjadi “tolok ukur” tentang kehidupan seseorang di masa selanjutnya. Harapannya, para jemaah haji dari latar belakang mana pun, termasuk juga politisi sekalipun, harus mencoba meluruskan niatnya, tanpa sedikit pun embel-embel yang menungganginya selain karena Allah semata. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan