Guru Sekumpul, Perhiasan Ahli Ibadah

7,719 kali dibaca

Minggu 1 Maret lalu, jalanan Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mendadak lengang. Rumah-rumah makan, toko-toko kelontong atau kios-kios di pasar, bahkan pasar swalayan banyak yang tutup. Karyawan mereka diliburkan. Tak banyak warga yang terlihat melakukan aktivitas baik di pusat-pusat perdagangan maupun di jalan-jalan.

Rupanya, hampir semua warga kota ingin memberi hormat dan juga mengikuti acara haul ke-15 KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau yang lebih popular dengan sebutan Abah Guru Sekumpul. Terhitung sudah 15 tahun Abah Guru Sekumpul ini berpulang, namun sosoknya terasa masih berada di tengah-tengah warga Banjarmasin khususnya, bahkan oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Puluhan ribu orang dari berbagai penjuru Tanah Air datang berduyun-duyun untuk mengikuti haul Abah Guru Sekumpul. Menghormat dan ngalap berkah pada tokoh yang meninggal pada 10 Agustus 2005.

Advertisements

Ia diingat sebagai orang yang sangat alim, bersuara merdu, dan juga berparas rupawan. Ia menguasai berbagai bidang ilmu agama dan telah menelurkan banyak kitab berbahasa Arab. Ia pengajar dan pendidik par excelence bagi santri dan jemaahnya. Ia dikenang sebagai sosok yang murah hati dan memiliki banyak karomah. Banyak orang menyebut, ia memiliki banyak tanda kewalian.

Tentang Mimpi Cucu Nabi

Abah Guru Sekumpul dilahirkan di Tunggul Irang, Martapura, Kalimantan Selatan pada 11 Februari 1942. Dari silsilah keluarga, ia adalah keturunan ke-8 dari ulama besar Kalimantan, Syaikh Maulana Muhammad bin Arsyad al-Banjari, Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) Kesultanan Banjar pada abad ke-17. Syaikh al-Banjari adalah pengarang Sabil al-Muhtadin, kitab fikih mazhab Syafi’i berbahasa Melayu.

Sesungguhnya, nama kecil Abah Guru Sekumpul adalah Ahmad Qusyairi. Setelah lahir, keluarganya pindah ke Kampung Keraton, Martapura. Qusyairi kecil ini dibesarkan di lingkungan keluarga yang secara ekonomi tergolong miskin. Namun, keluarganya selalu berusaha keras untuk memberikan perlindungan dan pendidikan yang maksimal. Qusyairi kecil ini selalu didampingi oleh ayahnya, Abdul Ghani, dan neneknya, Salbiyah, untuk belajar al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.

Sedari bayi, Abah Guru Sekumpul memang sudah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan. Ia tidak berkesempatan menyusu kepada ibu kandungnya. Kabarnya, ia hanya mengisap air liur dari Al-Arif Billah H Abdurrahman atau Haji Adu selama empat puluh hari.

Saat beranjak remaja pun, Abah Guru Sekumpul tergolong istimewa. Biasanya, ketika memasuki fase akil baligh, anak-anak seusianya mengalami mimpi basah (ihtilam). Kabarnya, Abah Guru Sekumpul tidak pernah mengalaminya. Pada fase itu, ia justru bermimpi bertemu dengan dua cucu Nabi, yaitu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain. Dalam mimpi itu, disebutkan bahwa kedua cucu Rasul itu masing-masing membawakan pakaian dan mengenakannya kepada Abah Guru Sekumpul dilengkapi dengan surban. Dalam mimpi itulah Abah Guru Sekumpul diberi gelar “Zainal Abidin”, yang berarti “Perhiasan Para Ahli Ibadah”.

Banyak Guru, Banyak Ilmu

Sejak belia, Abah Guru Sekumpul sudah diajarkan diajarkan al-Quran dan dikenalkan dengan berbagai ilmu keagamaan lainnya. Masa belajarnya dihabiskan di di Pesantren Darussalam, Martapura, mulai dari Ibtidaiyah hingga Aliyah. Ia masuk Madrasah Ibtidaiyah pada 1949, saat usianya mencapai 7 tahun. Lalu diteruskan ke jenjang berikutnya, Madrasah Tsanawiyah hingga  Madrasah Aliyah. Semasa di Pesantren Darussalam Martapura inilah diganti menjadi Muhammad Zaini.

Sebagai santri, Muhammad Zaini dikenal memiliki kecerdasan luar biasa. Bahkan, pada usia tujuh tahun sudah hafal al-Quran. Lalu, pada usia sembilan tahun sudah hafal Tafsir al-Jalalain, tafsir Alquran yang dikarang oleh dua ulama besar asal Mesir, Jalaluddin al-Mahalli dan al-Suyuthi.

Orang yang memiliki peran sangat penting dalam mengenalkan berbagai bidang bidang ilmu kepada Abah Guru Sekumpul adalah Syekh Seman Mulia, yang tak lain adalah pamannya sendiri. Syekh Seman inilah yang selalu mengantarkan Abah Guru Sekumpul belajar kepada berbagai ulama sesuai dengan bidang keahliannya. Misalnya, untuk mempelajari ilmu haduts dan tafsir al-Quran, maka Syekh Seman Mulia membawa Muhammad Zaini ke ahlinya, yaitu Syaikh Anang Sya’rani Arif.

Pamannya pula yang mengantarkan Abah Guru Sekumpul belajar kepada banyak ulama lain, seperti KH Husain Qadri, KH Salim Ma’ruf, dan Syaikh Salman Jalil untuk belajar ilmu falak dan faraidh. Di bidang ini, Abah Guru Sekumpul juga pernah berguru kepada Syaikh Syarwani Abdan Bangil (dikenal sebagai Guru Bangil) dan Abah Falak, Pagentongan, Bogor.

Abah Guru Sekumpul juga pernah berburu ilmu dan guru hingga ke Mekkah. Di Tanah Suci itu, misalnya, ia berguru kepada Guru Kasyful Anwar yang tidak lain adalah pamannya sendiri yang pernah mengajar di Masjidil Haram, Syaikh Sayyid Amin al-Kutbi, Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, Syaikh Hasan Masyath, Syaikh Ismail Yamani, dan lainnya. Ia juga berguru kepada Syaikh Amin al-Kutbi di bidang tarekat dan tasawuf.

Dari semua itu, sesungguhnya tetap pamannya guru yang paling banyak membagikan ilmunya. Dan, Abah Guru Sekumpul pun mengakuinya. Ia pernah berujar bahwa pamannya ini sebenarnya pakar hampir semua keilmuan. Namun, ketawaduan yang membuat pamannya lebih mendorong keponakannya belajar kepada ahli lain dan tidak ingin menonjolkan keilmuannya.

Dengan luasnya bidang keilmuan dikuasai, Abah Guru Sekumpul pun melahirkan berbagai karya monumental, di antaranya Risalah Mubarakah, Manakib Asy-Syekh Muhammad Samman Al-Madani, Ar-Risalat an-Nuraniyyah fi Syarh at-Tawassulat as-Sammaniyah, dan Nubzat min Manaqib al Imam al-Masyhur bil Ustadz al A’zham Muhammad bin Ali Ba’Alwi yang semuanya diterbitkan dalam bahasa Arab.

Menjadi Guru Sekumpul

Seperti halnya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang mulanya tinggal di keraton kemudian memilih pindah dan membuka perkampungan baru di Dalampagar, Abah Guru Sekumpul juga melakukan hal yang sama.

Mulanya, sepulang belajar di Makkah pada era 1970-an, ia mulai membuka pengajian di rumahnya di Kampung Keraton. Awalnya yang diajarkan adalah nahwu sharaf. Namun, seiring waktu dan jemaahnya semakin banyak dan beragam, materi pengajiannya diganti dengan pembacaan Simtudduror dan Maulid al-Barzanji. Semakin lama, berkembang menjadi pembacaan beraneka macam kitab.

Sekitar dua dekade kemudian, tempat pengajiannya dipindahkan ke Desa Sekumpul. Sebagai permulaan, di tempat baru dibangun Mushola Ar-Raudhah. Mushola inilah yang kemudian menjadi pusat penyebaran keilmuannya hingga ia memperoleh nama panggilan Abah Guru Sekumpul.

Selama hidupnya, pengajian di Mushola Ar-Raudhah seolah menjadi aliran air hikmah dan spiritual bagi masyarakat Banjar khususnya dan Kalimantan umumnya. Karena itu, ketika haulnya yang ke-15 dilaksanakan, semuanya menyambutnya dengan penuh khidmat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan