Guru Gokil dan Murid Unyu di Era Digital

1,604 kali dibaca

Orang yang Berpengetahaun

Dengan Sendirinya akan Berbudi Luhur

Advertisements

Ustad Plato al Yunaniy

Lagi-lagi pendidikan menjadi tema menarik untuk disorot, dibicarakan, dan didiskusikan. Mulai persoalan efektivitas pendidikan di zaman now, seringnya berganti kurikulum, biaya yang kian mahal, serta tidak terjangkaunya pendidikan oleh semua kalangan hingga output pendidikan Islam yang sangat mengkhawatirkan.

Semua paham bahwa pendidikan hanya semata-mata mampu mengubah pola pikir parsial ke arah universal, memandang manusia dengan pandangan utuh-komprehensif bahkan dengan eksistensi pendidikan, mampu menciptakan tatanan sosial yang beradab, bermartabat, dan menekankan moralitas yang baik sesuai norma berlaku pada.

Ideal bukan? Iya. Sangat ideal ekspektasinya. Semua memahami bahwa esensi pendidikan tidak lain menciptakan manusia baik dan bermoral. Tetapi, amat sangat disayangkan, fakta demi fakta dari satu daerah dengan daerah lain semakin menambah problematika pendidikan secara universal. Misalnya, seorang guru ngaji mencabuli santriwatinya, pertengkaran satu sekolah dengan sekolah lain, penggunaan dana Bantuan Operasional sekolah (BOS) yang tidak tepat sasaran, bermain proyek atas nama institusi pendidikan, saling intrik-mengintrik sesama rekan guru, bahkan peserta didik lebih memprioritaskan akses teknologi di kelas dengan menegasikan tugas guru yang sedang mengajar.

Saya yakin, masih banyak persoalan pendidikan yang tidak tercium oleh stakeholder di regional masing masing. Tetapi, saya ingin mengatakan bahwa teori pendidikan yang dikupas di bangku akademis belum bisa menjawab dan saya pastikan gagal berdialog dengan realitas sosial. Miris bukan?

Lantas, pertanyaan dari tukang bakso kemudian, bagaimana peran guru-murid sehingga persoalan moral sangat serius serta menjadi pusat perhatian masyarakat kita? Lebih tinggi pendidikan seseorang kok semakin jarang ikut sosisalisasi dengan masyarakat? Bukankah semakin tinggi pendidikan semakin memiliki sensitifitas sosial tinggi? Kenapa dan kenapa harus demikian?

Terlepas dari maraknya persoalan demikian, hal sangat substansial yang disoroti secara massif adalah bagaimana tugas seorang guru dalam transfer of value kepada peserta didik sehingga menghasilkan real output seperti yang diharapkan. Khususnya, di zaman globalisasi sekarang ini di mana peran dan fungsi teknologi semakin marak dengan bermetamorfosis ke arah lifestyle sekarang.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa gudang informasi semakin mudah di dapat melalui teknologi. Begitu mudahnya akses teknologi untuk mencari informasi sehingga konsekuensi logisnya adalah terciptanya jurang terpisah antara guru-murid semakin nyata adanya. Dengan demikian, guru zaman sekarang harus mampu memberikan nilai kejujuran kepada anak didik, guru menjadi sumber informasi peserta didik, guru menjadi motivator peserta didik dalam memandang persoalan yang menjeratnya, guru mampu mengajak dialog teori pendidikan dan pengajaran kepada anak didik sehingga peserta didik paham tentang manfaatnya selama sekolah atau pada lembaga pendidikan baik dalam konteks pesantren maupun institusi pendidikan formal seperti sekolah, kampus, dan lembaga masyarakat.

Dengan demikian, sesederhana itukah fungsi guru? Tidak. Rauhani mengurai dalam bukunya Pendidikan Islam dalam Masyarakat Multikultural  bahwa proses penanaman nilai pendidikan memang tidak mudah. Peserta didik bukanlah penerima yang pasif belaka. Internalisasi atau penyerapan yang dilakukan bukan tanpa pertimbangan dari dalam dirinya. Ada proses dialog serta tawar-menawar di sana. Setelah itu baru melahirkan eksternalisasi, yakni perwujudan dalam tindakan. Jika perwujudan tindakan menjadi kesepakatan bersama, maka nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk atau disalurkan melalui lembaga di masyarakat. Nah, karena penanaman nilai tergolong sulit maka tugas berat terletak di pundak guru, sang pendidik.

Meskipun demikian, seorang guru yang baik idealnya tidak boleh berkata susah maupun sulit dalam menjalankan tugas mulianya. Ini penting karena akan berakibat pada alam bawa sadar seseorang atas tindakan maupun moral yang dilakukan seorang guru. Di sisi lain, alam bawah sadar ketika mengatakan susah maka secara otomatis semua anggota tubuh bahu membahu mewujudkan kesulitan yang dialami sedikit demi sedikit. Makanya, dalam pesantren, tidak boleh seorang guru mengatakan susah dan tidak bisa. Ini pantangan. Lagi-lagi, ini persoalan jiwa seorang guru yang akan menciptakan generasi yang berkualitas. Bukan generasi yang instan.

Dalam perjalanannya, guru dituntut memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan kepekaan sosial. Persoalan menjadi rumit karena di sinilah salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita. Menurut pengamatan dan penelitian Elizabeth Pisani (2003), banyak orang menjadi guru di Indonesia hanya karena ingin mendapatkan pekerjaan terutama PNS bukan karena ingin menjadi pendidik.

Akibatnya, jumlah guru di daftar gaji sering kali lebih banyak daripada jumlah guru di dalam kelas. Artinya, guru malas mengajar. Jika pengamatan Pisani ini benar, maka guru di Indonesia lebih banyak yang tidak profesional di bidangnya. Profesional adalah bekerja sesuai dengan tugas berdasarkan keahlian yang dimiliki dan digaji sesuai dengan kualitas pekerjaan.

Dalam hal ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa tidak semua guru di Indonesia mengalami disorientasi akademis. Tetapi, ada beberapa guru yang berstatus PNS dan tetap mendarmabaktikan dirinya sebagai guru yang inspiratif. Tetapi tidak banyak.

Sementara itu, zaman terus berubah. Kehidupan masyarakat terus berkembang. Implikasinya bagi sektor pendidikan jelas nyata. Dunia yang dialami seorang guru waktu muda sangat jauh berbeda dengan dunia yang dialami oleh murid-muridnya sekarang. Guru adalah “generasi mesin ketik”, sedangkan murid adalah “generasi elektronik”. Guru hanya mengenal telepon rumah, sedangkan murid mengenalnya dengan ponsel pintar dan internet.

Berkat teknologi komunikasi yang canggih itu, dunia seolah mengecil seperti desa. Karena itu, tugas pendidik seperti guru adalah berupaya semaksimal mungkin dan sekuat tenaga untuk bisa memanfaatkan teknologi sekaligus mencegah dan meminimalkan dampak-dampak negatifnya.  Sebagai akibat moralnya, seorang guru dituntut agar lebih kreatif dan tidak gagap teknologi sehingga jika fasilitasnya tersedia, maka dia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Makanya, tidak salah adigium yang berbunyi teknologi mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bagaimana dengan eksistensi teknologi manusia sangat diuntungkan dengan catatan mampu mengaktualisasikan dengan baik. Jika tidak, maka korban moral akan selalu jatuh, yaitu merebaknya immoralitas anak didik dengan gurunya. Sopan santun kian terkikis seiring berjalannya waktu dan kecerdasan akan semakin tereduksi dengan maraknya fenonema media sosial yang siap siap mengekspansi semua kalangan. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan