Gadis Penembus Hujan

1,194 kali dibaca

Aku mulai memikirkan cara untuk memecah kesunyian saat berada di rumah, ketika sedang diguyur hujan berjam-jam.

Aku mulai mencari cara untuk tidak kedinginan, dengan menyeduh kopi hitam campur sedikit gula. Cara itu membuatku sedikit lebih baik. Namun, hal itu tidak bisa menghindarkanku dari kebosanan. Aku sudah bosan dengan rak-rak buku yang isinya sudah aku baca berulang-ulang kali. Betapa membosankannya harus melihat tiang-tiang penyangga ruangan. Aku juga sudah bosan menatap kaca jendela melihat hujan.

Advertisements

Meskipun begitu, aku tetap melihat hujan di balik jendela kaca. Sampai kemudian aku melihat sesosok gadis yang sedang diguyur hujan di balik kabut-kabut tipis dan pepohonan yang rindang. Setiap hujan gadis itu akan menampakkan diri. Ketika hujan telah reda, ia menghilang di balik kabut-kabut tipis itu.

Aku tidak tahu, gadis itu berasal dari mana. Siapa namanya. Kemunculannya hanya ketika ada hujan turun. Aku mendengar cerita dari orang-orang, bahwa gadis yang aku lihat ketika hujan itu sebenarnya adalah arwah gadis yang malang nasibnya.

Dari cerita orang, dulu ada seorang gadis yang terpaksa harus menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Kemudian, gadis itu kabur dari rumah dan menemui kekasihnya. Gadis itu sudah ditunangkan oleh pria kaya raya tuan tanah dari desa seberang. Namun, gadis itu menolak karena dia tidak mencintainya. Alhasil, gadis itu menemui kekasihnya dan mengajaknya kawin lari. Namun, sialnya, kekasihnya menolaknya karena belum siap. Kekasihnya malah menganjurkan gadis itu untuk menikah dengan pria pilihan orang tuanya.

“Kau adalah kepunyaan orang tuamu. Kau bisa hidup dengan layak, jika menikah dengan tuan tanah itu,” ucap kekasihnya.

Gadis itu diusir oleh kekasihnya. Lalu ia pergi dengan perasaan hancur. Sebenarnya kekasihnya tidak benar-benar mencintainya. Ia sudah tertambat dengan gadis lain yang lebih cantik dan lebih kaya darinya. Gadis itu hancur sehancur-hancurnya. Ia menyusuri jalan dan memilih menembus hujan di bawah petir yang menggelegar. Lebih dari itu, ia tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat. Terus berjalan. Tiba-tiba berhenti di sebuah jembatan di atas sungai yang mengalir deras. Ia memilih jalan ini, karena menurutnya tidak ada jalan lain ketika seorang perempuan telah terbuang. Ia memanjat sebuah pagar jembatan, kemudian menjerit sekeras-kerasnya, seraya terjun dari jembatan itu.

Memang benar, hujan dan patah hati adalah perpaduan yang menyakitkan tiada tara.

***

Hujan mengguyur dari pagi sampai sore hari. Aku melihat, pohon-pohon, pagar rumah, bunga-bunga di halaman rumah basah kuyup. Hari mulai gelap. Mendung masih menggumpal menggantung di langit. Sementara itu, suara selokan rumah masih mengalir deras. Atap-atap seperti diketuk. Suara saluran air pun masih bergemuruh. Hujan masih turun dengan ritme sedang.

Ibu muncul dari arah dapur. Ia membawa kudapan hangat yang ditaruh di meja belajarku, memandangiku dengan penuh perasaan, sambil merapikan tempat tidurku yang agak berantakan. Matanya menatapku dengan penuh kasih sayang. Ia melihat mataku menatap ke luar jendela. Tempias air hujan yang menempel di kaca membuat pandanganku sedikit kabur.

Tiba-tiba gadis penembus hujan itu muncul kembali. Wajahnya pucat. Rambutnya hitam sepundak. Gadis itu menatapku dengan tatapan menyedihkan. Seketika, aku mulai digelayuti perasaan gentar saat matanya menatapku.

Semakin lama aku menatapnya, aku melihat bola matanya berubah menjadi merah kebiru-biruan, mengalir darah dari kedua bola matanya. Darah itu terus mengalir bersama air hujan. Semakin lama ia semakin menyeramkan. Wajahnya hancur dipenuhi belatung dan nanah. Aku pun tak kuasa menahan itu semua. Aku menjerit sejadi-jadinya. Ibuku yang berada di belakangku sontak kaget dengan tingkah lakuku.

Melihat aku seperti itu, ibu mendekapku, lalu melihat di sekitar area luar jendela. Pandangannya mencari sumber keanehan itu, akan tetapi, ia tidak menemukan hal-hal yang aneh. Tubuhku masih gemetar. Dada ini berdebar tak beraturan. Sebelumnya, gadis itu adalah gadis cantik dengan wajah sedikit pucat, kali ini aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Ia begitu menakutkan. Aku bertanya-tanya, apakah wujud dari gadis itu memang seperti itu.

“Ada apa. Katakan apa yang terjadi?” tanya ibu bernada cemas. Aku masih gemetar. Aku mencoba mengatur diri dan mengatakan apa yang aku lihat. Aku berharap ibu percaya dengan ceritaku.

“Aku melihat gadis itu menjadi sosok menakutkan,” jawabku.

“Gadis yang mana?” tanya ibu dengan perasaan bingung.

“Gadis penembus hujan,” jawabku.

“Sudahlah, kau terlalu suka berkhayal. Lebih baik kaucuci tangan dan segera menyantap makanan yang ibu sajikan.” Lalu, ibu keluar dari kamarku.

Aku mulai bertanya-tanya tentang gadis itu. Apa benar, jika hari mulai gelap, gadis itu akan berubah wujud menjadi sosok yang menyeramkan. Apa benar, ia adalah arwah gadis yang mati karena cinta itu? Pikiranku mulai disesaki oleh berbagai khayalan yang membuatku gelisah. Cemas.

Hal itu membuatku semakin penasaran akan gadis itu. Aku lebih suka menyebutnya sebagai gadis cantik berwajah pucat penembus hujan.

Keesokan harinya, di hari Minggu, ketika aku akan berangkat ke gereja, tiba-tiba angin berembus kencang. Hawa dingin menyusup. Terlihat langit dipenuhi mendung. Aku mengeluarkan sepedaku dan menutup gerbang rumah. Untuk sampai di gereja, aku butuh waktu 10 menit.

Aku mengayuh sepeda pelan. Mendung di pagi hari membuatku ingin berlama-lama di tempat tidur. Menurutku tidak ada yang lebih nyaman kecuali merebahkan tubuh di atas ranjang saat mendung di pagi hari, kemudian hujan turun rintik-rintik. Jalan masih menutupi kabut. Sekawan burung bangau sibuk mencari makan di area persawahan.

Aku mengayuh sepeda menempuh jalan beraspal, melewati hutan. Aku melihat sekawan monyet bergelantungan di pohon. Ada pula monyet bergelantungan dari pohon ke pohon yang lain. Suara burung gagak terdengar mengiris hati. Selain itu, aku juga mendengar kicauan burung kenari.

Gerimis turun. Aku menggenjot sepeda agar secepat mungkin sampai ke gereja sebelum kuyup. Tiba-tiba, gadis cantik itu muncul di pinggir jalan, tepat beberapa meter di hadapanku. Aku kaget bukan main, sampai-sampai aku mengerem mendadak.

Ia tersenyum padaku. Aku melihat bukan gadis menyeramkan seperti yang aku lihat kemarin, tetapi gadis cantik dengan lesung pipit, tersenyum mengagumkan, penuh keanggunan. Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya. Aku berjanji tak akan lari, jika gadis itu mengubah wajahnya menjadi menyeramkan. Aku sudah tak peduli. Bagiku, yang terpenting adalah menuntaskan rasa penasaranku terhadap gadis itu.

Hujan pun turun dengan ritme melukis rindu. Aku dan gadis cantik itu saling tatap. Matanya seperti penuh anggur yang bisa memabukkan. Aku bisa melihat langsung wajahnya yang begitu rupawan. Sebelumnya, aku hanya melihatnya dari balik jendela kaca saat hujan turun dengan jarak beberapa meter, sehingga wajahnya tak terlalu jelas oleh pandangan mataku. Namun kali ini, aku bisa melihat wajahnya secara jelas karena berdekatan dengannya. Aroma tubuhnya begitu harum.

Aku mulai terbius oleh kecantikannya. Aku mendekat dan aku diajak untuk memasuki hutan. Aku terus mengikutinya, sampai kemudian, aku melihat air terjun. Airnya begitu jernih. Sejuk. Aku juga menemukan sebuah taman dan kebun anggur. Terdapat bangunan indah layaknya vila megah di tengah hutan.

“Apakah kau suka tempat ini?” tanya gadis itu.

“Tentu saja,” jawabku singkat sambil mengagumi tempat itu.

“Di sini tidak ada lagi kesedihan. Di sini hanya ada kenikmatan,” ucapnya.

“Kau mirip sekali dengan kekasihku. Tinggallah bersamaku di sini. Kau akan mendapat segala kenikmatan dunia,” sambungnya. Tawaran itu seperti mimpi.

“Benarkah itu?” tanyaku memastikan.

“Aku tidak pernah main-main,” ucapnya.

Gadis itu menatapku. Seringainya tajam. Dia menatapku seperti seekor hewan buruan yang siap diterkam. Di balik tangannya, ada sebuah pisau tajam berukuran sedang siap dihunuskan. Suasana yang sebelumnya sejuk berupa menjadi pengap. Dadaku berdebar tak karuan. Matanya penuh kebencian.

“Jangan katakan kau akan membunuhku. Katamu aku mirip dengan kekasihmu, mengapa kau bertindak kejam seperti serigala betina?” tanyaku gugup.

“Aku adalah penyebab kematianmu. Maka kau harus kubunuh.”

Aku berusaha menyelamatkan diri darinya, dengan berlari sekuat-kuatnya. Berlari menuju ke tepi hutan untuk terbebas dari kejarannya. Sampai kemudian, aku melihat ibu sedang mencariku dan kami pulang.

ilustrasi: 1stdibs

Multi-Page

Tinggalkan Balasan