Aku ingat semasa kecil bagaimana di desa terdapat pohon besar tinggi menjulang dengan hutan kecil di sekelilingnya. Meskipun tidak ada ritus khusus, namun warga menganggap sakral tempat tersebut. Bahkan, konon sebelum dibuka oleh seorang ulama dikatakan bahwa hutan tersebut jalma moro jalmo pati. Hingga saat ini, hutan kecil di pinggiran desa tersebut masih terjaga. Bukan tanpa alasan, 70 persen pasokan air desa kami berasal dari tempat tersebut.
Kesadaran terbentuk. Bukan karena setan, danyang, peri, atau lelembut lainnya, tapi kesadaran ini muncul karena secara naluriah mereka menganggap alam adalah hal yang suci. Semua manusia bergantung pada alam dan dari alam mereka dapat hidup. Kesadaran yang terbentuk ini melebihi sains modern. Kesadaran ini terbentuk turun-temurun sebagai cara menjaga ekosistem lingkungan.
Pembahasan ini tidak untuk menumpang-tindihkan antara ilmu pengetahuan (logos) dan legenda (myths). Namun menyelaraskan bagaimana keduanya dapat berdampingan. Kita mengingat tulisan Karen Amstrong dalam bukunya Sacred Nature. Melalui pendekatan historis Amstrong, kita akan tahu bagaimana tradisi manusia dalam berbagai macam agama dan kepercayaan memandang alam.
Amstrong dalam bukunya menggambarkan alam sebagai hal kudus. Jutaan kawasan ini tersebar di belahan dunia. Konservasi berbasis agama dan kepercayaan seringkali lebih efektif dalam menjaga kelestarian. Terciptanya keberlangsungan tempat ini merupakan bukti bagaimana agama dan kepercayaan mampu menjadi alat konservasi berbasis masyarakat. Karena semakin penting sebuah wilayah, maka semakin dikeramatkan dan semakin dijaga.
Lalu bagaimana kemudian Islam memandang hal ini. Mayoritas umat Islam cenderung menghindari takhayul-takhayul semacam ini. Namun, belum ada langkah konkret dalam menjaga keseimbangan ekologi. Hablum minal alam, hubungan dengan alam, seringkali dijadikan sebagai rapalan belaka. Praktik dari ajaran sampai pada lapisan lisan, bukan perbuatan. Banyak dari kita mungkin pandai berbicara tentang sains moderen dan Al-Qur’an berkaitan dengan ekologi. Kita menolak cara-cara kuno dan menganggapnya sebagai kemusyrikan.
Sampai saat ini, sejauh apa program ekopesantren-ekomajid dalam menghadapi isu iklim dewasa ini? Kita hanya selesai pada taraf diklat-diklat dan buku buku diktat. Bahkan mungkin hanya sedikit yang kemudian memberikan pemahaman yang mendalam terhadap isu iklim dewasa ini. Kita tertinggal jauh dari agama dan kepercayaan kepercayaan lain. Bahkan, meskipun pernah terjadi pengerusakan wilayah suci pagan oleh misionaris Kristen, namun pada beberapa gereja Kristen di Benua Eropa menciptakan hutan suci yang terjaga hingga saat ini.
Satu hal yang kemudian luput dari kita adalah budaya. Pendekatan kebudayaan dalam melestarikan alam tertinggal. Kita dapat membaca tulisan Fahrudin M Mangunjaya, Generasi Terakhir. Fahrudin menjelaskan bahwa pada 3 Oktober 2019 Organisasi Kerja Sama Islam (Organization of Islamics Cooperation/OIC) bersepakat mengadopsi dokumen “Strategi Aktivasi Faktor Budaya dan Agama dalam Menjaga Lingkungan untuk Mencapai Pembangunan Berkelanjutan”. Sejauh ini, faktor kebudayaan sering luput dari kacamata kita.
Sebagai seorang tradisionalis, penting kemudian kita merangkul kearifan lokal. Karena sama halnya logos dan mitos, agama dan kebudayaan dapat selaras sebagai katalisator menghadapi krisis iklim. Upaya mitigasi lingkungan dengan memadukan pemahaman keagamaan dan kearifan lokal masyarakat seharusnya mampu memperkecil risiko kerusakan lingkungan.
Maka melalui program eko-pesanteren, eko-masjid, dan lain sebagainya perlu kemudian untuk memahami kerangka berpikir masyarakat sebagai subjek aktif. Sehingga, dengan cara ini kita dapat memperkuat hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Kita harus menjembatani realitas masyarakat –sering kali penuh dengan keyakinan transendental-.
Maka penting kemudian untuk mengintegrasikan agama-budaya-ekologi –untuk mengembangkan solusi berkelanjutan. Solusi ini berkaitan dengan dampak paling besar yang dirasakan oleh masyarakat. Sehingga agama sebagai pisau analisa ekologi mampu memfasilitasi kebutuhan masyarakat dalam menghadapi krisis iklim. Penting bagi kita dalam menggalakkan ekologi di tingkat masyarakat dapat mengintegrasikan antara agama, mitos, dan kebudayaan sehingga dapat berjalan searah dalam menjaga bumi.
*Naskah Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri dengan judul sama.