Fenomena Komodifikasi Agama di Bulan Ramadan

1,864 kali dibaca

Bulan suci Ramadan telah tiba. Masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia pun bersuka cita untuk menyambutnya. Selain ditandai dengan terlihatnya hilal yang kemudian diputuskan melalui sidang isbat oleh Kementerian Agama, datangnya bulan Ramadan juga ditandai dengan telah malang melintangnya iklan berbagai produk dengan embel-embel bulan suci Ramadan.

Di era digital ini, iklan-iklan bisa disaksikan dari berbagai platform media. Ramadan yang sesungguhnya bulan suci pun, kemudian seakan-akan dijadikan alat sebagai pelaris untuk mengais pundi-pundi rupiah. Meski dapat menjadi sarana dakwah untuk mengenalkan nilai islami, tapi kecenderungan iklan dengan embel-embel bulan suci Ramadan bukankah malah akan bisa menodai kesuciannya.

Advertisements

Dari fenomena ini terlihat, lagi-lagi agama dijadikan sebagai alat untuk mengais pundi-pundi rupiah. Selain sering dipolitisasi, agama sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai alat komoditi atau dagangan.

Fenomena ini dalam Sosiologi agama kontemporer dikenal istilah komodifikasi agama. Yaitu, suatu proses multidimensi atau multiwajah yang menjadikan agama, ajaran agama, tradisi keagamaan, maupun simbol-simbol agama menjadi semacam barang habis pakai yang bernilai ekonomis. Komodifikasi agama juga sering disebut sebagai komersiliasi agama.

Biasanya, mereka akan menjadikan ayat Al-Quran dan Hadis nabi yang berhubungan dengan produk-produk itu agar menjadi komoditas yang bernilai ekonomi. Atau bahkan berbagai produk-produk yang mereka tawarkan sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan teks-teks agama, tapi dihubung-hubungkan dengan ayat-ayat pernikahan yang hanya untuk meningkatkan omzet perdagangan.

Doktrin normatif agama memang sangat ampuh untuk menghipnotis umat beragama awam. Peluang seperti itu pun tidak disia-siakan oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Agama hanya dipahami secara literal, tanpa menghiraukan substansi yang ada didalamnya. Agama hanya dijadikan bumbu penyedap rasa untuk menambah cita rasa urusan keduniawian. Yang pada akhirnya hanya akan menghilangkan tujuan utama dan kesakralan dari ajaran agama itu sendiri.

Penyebab dan Solusinya

Maraknya komodifikasi agama seharusnya membuat kita lebih berhati-hati dalam memilih dan menggunakan berbagai produk yang mengatasnamakan agama. Karena dampak terparahnya bisa jadi hal-hal seperti itu hanya sebagai upaya penipuan semata.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dari komodifikasi agama. Di antaranya, melalui hubungan interaktif dan berulang-ulang antara agama dan pasar. Dan dalam prosesnya, komodifikasi agama melibatkan baik kekuatan-kekuatan pasar maupun partisipasi aktif kaum agamawan dan lembaga-lembaga keagamaan dalam dunia pasar dan budaya konsumsi. Ini bisa dibuktikan dengan diiklankannya beberapa produk oleh ustaz-ustaz tertentu.

Selain itu pola keberagamaan masyarakat kita juga dapat memicu adanya komodifikasi agama. Masyarakat kita cenderung menganggap bahwa teks-teks suci keagamaan dan kaum agamawan merupakan solusi untuk semua permasalahan yang ada di kehidupannya. Sehingga pelarian mereka akan menuju kepada teks-teks agama yang dianggap sebagai sesuatu yang “solutif” tadi. Dan pada situasi seperti inilah pihak-pihak berkepentingan akan mengambil sebuah peluang dan akan mengonversikannya menjadi keuntungan yang sebesar-besarnya.

Maka dari itu, perlu perhatian yang sangat mendalam terhadap permasalahan komodifikasi agama ini, agar agama bisa kembali kepada nilai-nilai luhur yang menjadi substansinya. Dalam hal ini, kerja sama dari berbagai kalangan sangat dibutuhkan untuk memperoleh solusi dan titik terang.

Pertama, secara struktural pemerintahan, dalam hal ini Kementerian Agama, harus lebih proaktif dalam mengontrol dan menjalankan tupoksinya. Perlu dilakukan edukasi sehingga mindset masyarakat kita akan lebih tertata.

Kedua, secara kultural, kaum elite agama, dalam hal ini para ulama, dai, ustaz yang memiliki kualitas dan berkompeten juga harus terlibat aktif serta kreatif dalam memanfaatkan media untuk berdakwah. Sehingga ruang-ruang kosong dalam berbagai media akan terisi oleh para ahli agama.

Atau, paling tidak, para pelaku usaha atau pasar ekonomi dapat memperoleh pengawasan dari para ahli agama, sehingga tidak diserahkan begitu saja kepada kelompok berkepentingan. Keterlibatan elite agama menjadi hal yang sangat penting, supaya umat tidak terjebak menggunakan agama yang telah terkomodifikasi tersebut sebagai acuan dalam beribadah dan bermuamalah. Wallahua’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan