Fakta di Balik Hari Buku Nasional

1,029 kali dibaca

Setiap tanggal 17 Mei, Indonesia memperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas). Momentum bersejarah ini sekaligus merupakan hari ulang tahun Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI). Hari Buku Nasional mulai ditetapkan pada 2002, merujuk pada berdirinya Perpustakaan Nasional pada 17 Mei tahun 1980.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hari Buku Nasional yang bukan merupakan hari libur ini memang didasarkan pada Hari Perpustakaan Nasional. Gagasan Hari Buku Nasional pertama kali dicetuskan oleh Menteri Pendidikan Indonesia Abdul Malik Fadjar periode 2001-2004.

Advertisements

Gagasan penetapan Hari Buku Nasional ini juga didorong oleh elemen masyarakat pecinta buku. Sedangkan, Hari Perpustakaan Nasional dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Daoed Joesoef dalam Kabinet Pembangunan III periode 1978-1983 pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto. Hal ini berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0164/0/1980.

Peringatan Hari Buku Nasional merupakan upaya Pemerintah Indonesia untuk mendorong peningkatan minat baca dan tumbuhnya budaya literasi masyarakat serta menaikkan penjualan buku nasional yang saat itu masih berada dalam kategori rendah.

Hal ini juga dilatarbelakangi oleh kondisi bangsa Indonesia yang ketika itu (2002) masih lebih banyak mempertahankan tradisi lisan alih-alih menjawab tuntutan informasi dengan banyak membaca. Mendikbud menyadari bahwa upayanya itu bukanlah sesuatu yang mudah. Karena pada waktu itu masyarakat juga mulai terpapar media teknologi komunikasi seperti telepon pintar dan video. Hal ini membutuhkan kerja ekstra untuk mewujudkannya.

Oleh karena itu, pada 2016  Kemendikbud melakukan terobosan-terobosan baru, salah satunya kampanye Gerakan Literasi Nasional (GLN). GLN menaungi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang berperan untuk peningkatan minat baca siswa. Program ini dicanangkan dalam rangka menginisiasi Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 mengenai penumbuhan budi pekerti. Selain itu, ada juga Gerakan Indonesia Membaca (GIM) yang sebelumnya sudah dikampanyekan pada 2015.

Jauh sebelum itu, sebenarnya Indonesia sudah mempunyai perpustakaan keliling. Seperti diketahui bahwa perpustakaaan keliling di Indonesia sudah ada mulai awal abad ke-20 dan beroperasi sampai sekarang. Hal ini bertujuan untuk memeratakan layanan informasi dan bacaan kepada masyarakat sampai daerah terpencil yang belum mungkin terjangkau pendirian perpustakaan umum.

Selanjutnya, ada program Free Cargo Literacy (FCL) atau ongkos Kirim Buku Gratis sejak Januari 2019. Dalam program ini, Kemendikbudristek menyediakan ongkos bagi para donatur buku yang mengirimkan buku-bukunya setiap bulan pada 17. Buku-buku ini selanjutnya dikirim ke daerah-daerah terpencil melalui pihak pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Indonesia.

Belakangan, Perpusnas RI menyediakan layanan inovasi e-book. Detailnya bisa diunduh melalui aplikasi Ipusnas dan IOS (Indonesia One Search) di Playstore, AppStore, atau web ipusnas.id untuk pengguna smartphone maupun komputer. Digitalisasi produk buku ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan akses membaca kepada masyarakat.

Program-program tersebut diharapkan mampu meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia agar menjadi masyarakat yang literat, cerdas, kreatif, produktif, dan menghapus generasi miskin bacaan. Namun faktanya, kebanyakan masyarakat Indonesia masih terbilang sangat rendah dalam dunia literasi. Kalaupun ada artikel dan buku bagus, sebagian besar mereka hanya membaca judulnya, lalu men-share tanpa membaca isinya. Ketika ditanya apa isinya, mereka hanya menggeleng dan berucap “tidak tahu” sambil tersipu.

Mengutip dari laman Kementerian Dalam Negeri (2021), Indonesia ada di posisi ke-62 dari 70 negara, atau berada di 10 negara terbawah untuk masalah tingkat literasi. Survei tersebut pernah dilakukan oleh Program for International Student Assesment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019.

Sebelumnya, pada 2011 UNESCO mencatat hanya 1 dari 1000 orang di Indonesia gemar membaca, atau hanya 0,001 persen. Oleh karena itu, UNESCO menempatkan Indonesia sebagai negara terendah kedua untuk tingkat minat baca.

Sebuah riset Central Conecticut State University pada 2016  yang bertajuk World’s Most Literate Nation Ranked mencatat Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara untuk masalah minat baca. Posisi ini ada di bawah Thailand dan di atas Bostwana.

Pada 2018, lembaga riset digital marketing E-marketer menempatkan Indonesia sebagai peringkat kelima di dunia setelah Cina, India, dan Amerika dalam penggunaan smartphone. Menurut riset ini, 60 juta masyarakat Indonesia lebih menyukai menatap layar gadget daripada membaca buku. Sebelumnya, data Wearesocial per Januari 2017 mengungkap fakta bahwa masyarakat Indonesia menatap layar gadget lebih dari 9 jam per hari.

Dikutip dari laman Kominfo, lembaga riset independen Semiocast di Paris menyatakan bahwa masyarakat Indonesia yang lebih suka “berkicau” di media sosial daripada membaca buku melebihi Tokyo dan New York. Lebih miris lagi, World Development Report Bank pada 2019 menempatkan Indonesia pada posisi yang mengkhawatirkan dalam membaca.

Di era digital saat ini, kemudahan mengakses bacaan mestinya bukan alasan bagi generasi muda untuk menghidupkan budaya literasi. Dari pada membaca status-status galau dan komen sana-sani yang tidak bermanfaat di media sosial, lebih baik membaca buku, baik cetak maupun digital. Banyak membaca dapat menciptakan suatu masyarakat yang literat. Sebagaimana diungkapkan Vismalia S Damaianti dalam bukunya Literasi membaca, Hasrat memahami Makna Kehidupan (2021); bahwa masyarakat yang literat adalah mereka yang pandai membaca dan mampu mengimplementasikan kemampuannya dalam kehidupan sehari-hari.

Keengganan sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih malas membaca buku menjadikan mereka kurang terampil mengasosiasi bahasa, enggan berpikir filosofis, tidak menguasai konsep logika, bermental kropos, suka mengambil jalan pintas dan tidak menghargai suatu proses. Selain itu, mereka juga kurang mampu berkomunikasi yang baik dengan orang lain, individualistik, egois, dan rendahnya kemampuan menemukan solusi dalam permasalahan hidupnya. Termasuk juga rendahnya peluang untuk bisa menulis. Generasi muda jangan berharap bisa menulis (tulisan yang berkualitas) jika malas membaca.

Mungkin mereka perlu diingatkan kembali bahwa membaca buku dapat memperluas wawasan dan pengetahuan. Seperti pepatah “Buku merupakan jendela dunia”. Wakil Presiden era Presiden Soekarno, Bapak Muhammad Hatta menyatakan “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Al-Quran juga menganjurkan membaca. Sebagaimana lafaz pertama pada ayat 1 surat al-Alaq, iqra’ (bacalah).

Yang juga tidak kalah penting dari membaca bahwa ia sangat erat kaitannya dengan kemajuan suatu bangsa dan negara. Oleh karena itu, para pemuda Indonesia diharapkan dapat menghidupkan kembali tradisi membaca buku agar menjadi generasi literat yang unggul, kritis, berbudi pekerti, dan bisa berperan aktif dalam kancah pergaulan global  di berbagai bidang.

(Peringatan Harbuknas ke-20/Hari Jadi Perpusnas RI ke-42: 17 Mei 2022). Selamat membaca…!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan