Endhog-endhogan, Peringatan Maulid Nabi a la Banyuwangi

3,508 kali dibaca

Pada malam itu, 8 Desember 2018, semua warga desa Macanputih dan Kejoyo Banyuwangi, Jawa Timur beserta warga masyarakat yang menyaksikan (berjumlah ribuan orang) tumpah ruah beramai-ramai mengarak puluhan gunungan (piramid) berhias endhok (telur) dan ratusan jodhang berisi kembang endhog (telur ditusuk bilah bambu) keliling kampung. Dengan diiringi musik tradisional, seperti Barong, Kuntulan (rebana), Cenceng, Jaranan, Gandrung, Drumband, dan sebagainya arak-arakan itu benar-benar menggetarkan kampung. Suasana semakin meriah, arak-arakan itu juga diramaikan dengan puluhan Tapekong (semacam ondel-ondel di Jakarta) setinggi 2-7 meter yang dibuat khusus untuk acara itu berbentuk Kakbah, pohon khuldi, Raja Firaun, Leak Bali, Hantu, Tuyul, dan Raksasa.

Arak-arakan yang berangkat dari masjid itu setelah mengelilingi semua jalan desa dan lorong-lorong kampung akhirnya kembali ke masjid semula. Gunungan dan jodhang diletakkan di tengah serambi masjid, sementara tapekong-tapekong dijajar di luar masjid. Dengan menyesaki seluruh ruangan masjid bahkan meluber ke halaman, pekarangan, dan jalan-jalan sekitarnya, para warga melantunkan pembacaan kitab Barjanzi (karya Al-Busyairi) yang biasa disebut serakalan, berasal dari kata asroqol, yaitu kata pembuka syair dalam Berjanzi.

Advertisements

Suasana pembacaan sangat ramai, bahkan hiruk-pikuk karena pembacaan dilakukan secara kompetitif beradu lagu dan diselingi pantun. Warga berkelompok-kelompok menurut RT atau mushalla. Apabila satu kelompok memimpin pembacaan, maka yang lain mendengarkan sambil bersiap-siap mengambil alih pimpinan. Makanya, kadang-kadang tak terhindarkan terjadi saling lempar (menggunakan kue) dan saling ejek satu sama lain. Di puncak acara, yaitu saat melantunkan shalawat nabi sambil berdiri, ada petugas berkeliling memberikan minuman tradisional, mereka menyebutnya ”Bir” (air dicampur asam dan gula jawa) dan toyo arum (air ditabur irisan daun pandan dan aneka rupa bunga). ”Bir” untuk diminum agar kualitas kemerduan suara tetap terjaga, toyo arum diusap-usapkan di tenggorokan. Usai serakalan, warga bubaran menuju pulang sambil dibagi (kadang berebut) kembang endhog.

Kreativitas Lokal

Itulah puncak rangkaian peristiwa yang dikenal sebagai Endhog-endhogan, sebuah ritual dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang selalu diselenggarakan setiap akhir bulan Rabiulawal. Unik memang, tetapi begitulah cara orang Osing Macanputi dan Kejoyo mengagungkan dan menghormati Nabi panutannya dengan artikulasi lokal yang kreatif. Seusai ritual di masjid, perayaan dilanjutkan dengan bersenang-senang menikmati pertunjukan barbagai kesenian di tiga perempatan desa; dangdut, gambus, dan drama.

Ritual tersebut dipersiapkan beberapa hari sebelumnya. Para warga di kedua desa itu berhari-hari sibuk, selain membuat jajanan dan berbagai masakan, mereka membuat kembang endhog (bunga telur), yaitu telur rebus ditusuk dengan bilah bambu kering sepanjang dua hasta, di atasnya dihias bunga-bunga kertas. Bagi orang Macanputih dan Kejoyo, kembang telur melambangkan zaman jahiliyah dan kelahiran Nabi Muhammad; bilah bambu kering melambangkan jahiliyah, kelahiran Nabi dilambangkan dengan telur, dan kembang kertas melambangkan kehidupan yang lebih baik. Dalam perkembangannya sekarang, hiasan kembang endhog,tidak hanya berupa bunga kertas, tetapi bisa berupa barong, ular naga, kapal terbang, dan lain-lain, tergantung kreativitas warga.

Pada hari-hari itu, warga juga sibuk; ada yang lalu-lalang di jalanan mengantar makanan ke kerabat dekat dan lain kampung, ada orang-orang lain kampung yang berkunjung ke Macanputih dan Kejoyo, ada yang sibuk memasang spanduk, umbul-umbul, bendera-bendera kecil di sepanjang jalan desa, ada yang memnuat pentas/panggung kesenian, dan ada yang membuat tapekong-tapekong.

Di hari menjelang malam ritual dilaksanakan, semua warga membawa kembang endhog yang diletakkan di atas ancak (pelepah daun pisang dibentuk segi empat untuk wadah nasi dan jajanan) berduyun-duyun menuju masjid. Sampai di masjid, kembang endhog kemudian ditancap-tancapkan di pohon pisang yang telah dihias dengan kembang kertas indah, dan diletakkan berjajar di serambi masjid. Satu pohon pisang sedapat mungkin berisi kembang endhog dalam jumlah ganjil; 27, 33, atau 99 yang memiliki makna tertentu dalam tradisi keislaman. Selain di pohon pisang, kembang endhog biasa juga diletakkan di jodhang.

Munculnya Tapekong

Tidak ditemukan data yang menjelaskan sejak kapan ritual Endhog-endhogan lahir dan terbentuk di Banyuwangi. Beberapa orang tua yang ditemui menjelaskan secara lisan bahwa ritual ini telah ada sejak sebelum kemerdekaan, bahkan menurut cerita rakyat, Endhog-endhogan kala itu sudah semarak diselenggarakan oleh kebanyakan komunitas Osing, melebihi hari raya Idul Fitri. Sejumlah orang tua mengisahkan bahwa komunitas Osing mempersiapkannya dengan memasak sebanyak yang ia mampu. Kue basah, kue kering, sesembelihan ayam, mentok sampai sapi-kerbau. Bahkan di beberapa tempat, misalnya Desa Aliyan, Bolot, Kedawung, apabila sembelihannya hanya tiga ekor ayam, merasa malu membersihkan sembelihannya di sungai, karena akan diketahui oleh tetangganya.

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk menambah memeriahnya suasana, yang diarak tidak lagi hanya pohon pisang berhias telur, tapi ditambah boneka-boneka raksasa dan berbagai bentuk peraga lain yang dipanggul beramai-ramai oleh beberapa orang sambil digerak-gerakkan secara atraktif. Inilah yang disebut dengan tapekong. Ada juga yang menyebut ogo-ogo. Sebenarnya ada banyak desa yang menggunakan tapekong, tapi yang paling menonjol ada di dua desa itu, Macanputih dan Kejoyo.

Tapekong sebenarnya bukan hal yang baru dalam tradisi Osing dan Endhog-endhogan. Sejak tahun 1950-an di lingkunagn komunitas Osing dan ritual itu, tapekong sudah menjamur dan berkembang. Ritual Endhog-endhogan dipandang akan semakin meriah kalau dilengkapi dengan tapekong.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan