Dinamika Tafsir Maqashidi

1,470 kali dibaca

Maqashid Syari’ah adalah cara berpikir dalam rangka penggalian hikmah dan hikmah filosofis dari hukum-hukum Islam dengan dasar illat sebagai bahasannya. Konsep maqashid adalah cita-cita yang ideal dalam ranah penafsiran al-Quran untuk memahami pesan-pesan-Nya. Utamanya dalam rangka menciptakan kebaikan manusia dan alam semesta dan sebagai jembatan untuk mengatasi kesenjangan antara teks dan konteks.

Maqashid al Syariah sendiri adalah hakikat dari makna dan hikmah yang terdapat dalam segala bentuk syariat. Karena, sebagaimana pernyataan Ibn Qayyum al Jauziyyah (w. 1350 H), syariat mempunyai tujuan keadilan, rahmat, dan hikmah dalam rangka ikhtiar mewujudkan kemaslahatan.

Advertisements

Sedangkan, dalam dimensi tafsir, konsep ini dinamakan dengan maqashidi yang menurut Wasfi Asyur adalah corak tafsir al-Quran yang visioner, baik universal maupun parsial, dengan maksud menciptakan kemaslahatan manusia. Sedikit berbeda, el Attrash dan Abdo Kholid mengartikan tafsir maqashidi dengan sebuah upaya pemaknaan lafaz-lafaz al-Quran dengan melihat tujuan yang ada di dalamnya.

Rekaman sejarah membuktikan bahwa konsep penafsiran dengan perspektif maqashidi sudah berlangsung setidaknya terlihat pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Umar lebih mengutamakan substansi teks, daripada mengikat diri dengan teks. Hal ini dibuktikan melalui fatwa-fatwanya yang mempertimbangkan aspek kemaslahatan bagi pihak-pihak yang terlibat.

Terdapat beberapa tokoh yang berkecimpung dalam lingkup kajian tafsir maqasidi dari masa ke masa. Imam al Ghazali (w. 1111 H) dinilai sebagai peletak dasar rumusan maqashid syari’ah, dengan komponen berupa prinsip-prinsip yang universal seperti hak hidup, agama, akal, keturunan dan hak milik.

Di samping itu, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa guru al Ghazali, yakni Imam al Juwaini (w. 1085 H), lah yang memulai perbincangan maqashid syariah. Ada pula Imam as Syatibi (w. 1388 H) yang mengelaborasi lebih lanjut mengenai konsep maqashidi dengan mengkorelasikan maqashid syariah dengan maslahah mursalah, yakni berbicara mengenai pemanfaatan akal dalam penggalian maqashid syariah.

Di masa pembaharuan Islam, muncul paradigma pemikiran Muhmmad Abduh (w. 1905 M) yang melakukan rekonstruksi pemikiran hukum Islam. Ia sedikit banyak dipengaruhi oleh as Syatibi dalam melihat konsep wahyu dengan realitas masyarakat. Rekonstruksi pemikirannya kemudian dilanjutkan oleh Rasyid Ridla (w. 1935 M) dengan melakukan pengembangan-pengembangan kompleks terhadap observasi wahyu dan realitas. Namun, keduanya tidak memberikan sumbangsih metodologi yang paten terhadap konsep ini. Abduh dan Ridla hanya memberikan pandangan penitngnya rekonstruksi pemahaman terhadap hukum Islam yang sering terjerembab pada kekakuan teks.

Selanjutnya, ada Ibn Ashur (w. 1973 M) yang berupaya untuk memberikan peran terhadap khazanah pemikiran maqashidi dengan menata ulang dan membuat konsep peran terhadap keberlangsungan konsep ini dalam al-Quran. Ia menawarkan pemikirannya setidaknya dalam dua karya besar, yakni tafsir at Tahrir wa at Tanwir dan Maqashid as Syariah al Islamiyah.

Dalam ranah maqashid syariah, menurutnya, dapat meningkatkan jaminan mutu nilai Islam dengan tantangan zaman. Ibn Ashur merumuskan bahwa tafsir maqashidi adalah ilmu untuk menggali makna dari al-Quran secara detail maupun secara ringkas. Pendekatan tafsirnya berdasar atas ijtihad linguistik yang menempatkan al- Quran sebagai tanda dan pertimbangan maksud syariat.

Proses pemaknaan al-Quran melalui kaca mata maqashidi dapat dirumuskan secara kronologis sebagai berikut. Pertama, identifikasi ayat. Yakni, pemilihan ayat dalam melakukan sinkronisasi dan sinergi penafsiran, untuk mendapatkan perasan nilai-nilai maslahat yang dikehendaki syariat. Kedua, identifikasi makna ayat. Langkah kedua ini merupakan proses memahami konteks ketika ayat turun dengan melakukan pembedahan makna pada “term kunci” di ayat yang dikaji. Diharapkan, dari proses ini akan diperoleh relasi antara teks dengan konteks.

Ketiga, eksplorasi maqashid syariah. Metode ketiga ini mengkolaborasikan hasil langkah sebelumnya dengan maqashid syariah. Hal ini dilakukan sebagai pengikat antara makna teks dengan situasi saat ini. Hasil proses ini akan diperoleh tujuan umum dan khusus dengan cara melakukan kajian induktif terhadap ayat-ayat yang setema. Keempat, menentukan simpulan. Yaitu, seorang peneliti melakukan upaya untuk membuat pernyataan konklusif yang merangkum serta memeras produk observasinya atas tafsir suatu ayat.

Alur-alur metodologi ini merupakan sebuah proses yang secara komperehensif menjawab pertanyaan-pertanyaan teknis yang menyangkut otentisitas maqashid syariah sebagai maksud hilir keberadaan hukum Islam. Dengan konsep inilah, diharapkan terkuak makna dan hikmah mendalam yang dimaksud oleh Allah sebagai syari’ (penentu hukum) kepada manusia demi kemaslahatan serta kesejahteraan bersama.

Walllahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan