Di Mata Kaki, Bukan di Dahi

4,643 kali dibaca

Akhir-akhir ini saya agak sering terlihat seperti orang gila. Suka senyum-senyum sendiri. Senyum kecut lagi. Itu terjadi ketika saya, misalnya, bertemu atau berpapasan dengan orang yang ada tanda hitam di dahinya.

Itu tanda ahli ibadah, kata seorang teman.

Advertisements

Ah, yang boneng

Hal itu juga mengingatakan akan mata kaki saya. Entah kapan persisnya, tanpa terasa, dalam beberapa tahun terakhir kapalan (callous) di mata kaki saya sudah hilang. Kembali halus dan mulus.

Kapalan di mata kaki itu saya peroleh ketika saya mondok dulu. Dulu sekali. Seperti pernah saya ceritakan, pesantren tempat saya mondok itu adalah pengamal tarekat Syekh Abdul Qadir Jaelani. Karena itu, selain ngaji-ngaji kitab, santri diwajibkan mengikuti wirid dan dzikir-dzikir rutin sesuai ajaran dan tutunan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Rutin mengikuti wirid dan dzikir-dzikir itulah yang membuat mata kaki saya kapalan.

Kok bisa?

Bisa.

Bayangkan, dalam sehari alias 24 jam, setidaknya kami, para santri, dua kali mengikuti wirid-dzikir khusus itu. Biasanya siang sehabis salat dzuhur dan tengah malam sehabis salat tahajud. Yang siang hari relatif ringan karena yang diamalkan wirid-dzikir “versi pendek”. Paling, kurang dari satu jam sudah kelar. Nah, yang berat adalah dzikir malamnya. Selain dibebani mata yang suka terkantuk-kantuk, wirid-dzikirnya versi yang panjang, dan tawasulnya hingga ke negeri-negeri seberang. Dua jam selesai sudah terbilang cepat.

Ditambah dengan berbagai kegiatan ngaji-ngaji kitab, praktis posisi tubuh para santri saban hari lebih banyak duduk bersila jika dibandingkan dengan tiduran, berdiri, selonjoran, atau yang lainnya. Sebab, berbagai kegiatan tersebut hanya pas diikuti dengan cara duduk bersila, terutama untuk dzikirannya. Duduknya harus bersila dengan sempurna: badan tegak lurus, permukaan paha harus rata saat bersila. Semua beban itu kemudian bertumpu pada punggung kaki yang terbalik dan menempel di lantai. Maka, dalam posisi demikian, yang menjadi “korban” adalah mata kaki.

Setelah beberapa lama, karena terlalu sering dan terlalu lama duduk bersila, tentu saja lapisan kulit di sekitaran mata kaki saya mulai menebal dan semakin tebal, kemudian mengeras. Warnanya pun mulai ikut berubah menjadi gelap dan kemudian menghitam. Begitulah cerita mata kaki saya kapalan, seperti juga yang dialami teman-teman santri di pondok.

Belakangan, kapalan itu sudah menghilang dari mata kaki saya, ketika saya mulai sering bertemu atau berpapasan dengan orang-orang yang ada tanda hitam di dahinya. Untung saya bukan Ibnu Umar, putra Khalifah Umar bin Khattab, perawi hadits dan sahabat terdekat Rasul, yang marah ketika bertemu dengan seseorang yang jidatnya hitam. Ibnu Umar, yang selalu bersama Rasul, mengaku tak memiliki tanda seperti itu, termasuk para sahabat, untuk menunjukkan diri sebagai ahli ibadah. Ibnu Umar justru mengecam tindakan menghitamkan dahi sebagai merusak wajah dan penampilan.

Jika Ibnu Umar marah, saya hanya bisa senyum-senyum sendiri seperti orang gila ketika bertemu mereka.

Yang saya ingat dari kiai-kiai pondok tentang ini begini: ahli ibadah, ahli dzikir, atau ahli sujud memang memiliki tanda di wajahnya. Biasanya, wajah mereka bersinar, berseri-seri; aura wajahnya teduh dan damai, terlihat selalu tersenyum. Bukan jidat hitam dengan wajah angker. Sebab, sujud dengan benar tak akan merusak keindahan dahi. Karena bukan dahi yang menjadi penopang badan saat sujud, melainkan telapak tangan.

Dan di pondok saya dulu, tandanya kapalan di mata kaki, bukan hitam di dahi…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan