Delusi Pencuri

2,048 kali dibaca

“Min, cepat lari!” teriak lelaki yang sudah jauh di depan Rusmin.

Dengan napas yang masih memburu, keringat bercucuran, Rusmin dan Tegar menyelinap di sebuah rumah tua. Sementara di kejauhan sana, dua orang berseragam polisi dan beberapa warga sedang mencari dan mengejar mereka. Tampak sedikit sinar senter mendesak masuk ke dalam rumah tua itu. Para pengejar mulai mendekati rumah itu dan memeriksa sekitar. Beberapa cahaya kembali masuk melalui celah kayu rumah itu. Kali ini semakin terang.

Advertisements

“Hai, para perampok, keluar kalian!” seru salah satu polisi yang memburu Rusmin dan Tegar.
Tubuh Rusmin menggigil. Giginya gemeretakan. Dalam kondisi itu dia teringat kepada anak dan istrinya di rumah. Kakinya terasa kaku, tak bisa digerakkan, sedangkan tangannya memeluk kedua lulutnya. Dari celah kayu rumah itu tampak para warga memegang pentungan dan yang berseragam bersiap-siap dengan pistol di tangan.

“Gar, bagaimana ini kalau kita tertangkap?”

“Tenang saja, Min. Kamu kalau ketakutan begitu lucu banget, he-he-he.” Tegar terkekeh yang sukses membuat para pemburu mereka yakin akan keberadaan kedua lelaki di rumah tua itu.

“Rumah sudah kami kepung, tolong menyerahkan diri saja. Kalau tidak ….”

Belum sampai polisi itu menyelesaikan ucapannya, segerombolan warga yang ikut mengepung rumah itu mendobrak pintu rumah itu.

“Ayo, kita dobrak! Bakar saja nanti pencurinya!”

Pekikan salah satu warga itu menembus telinga Rusmin. Jantung lelaki berkumis tebal itu semakin berdetak tak beraturan. Rasanya ingin copot.

“Tenang dulu, bapak-bapak. Jangan main hakim sendiri.” Samar-samar suara petugas itu juga terdengar. Namun, tak dipedulikan oleh warga.

“Ini dia pencurinya! Ayo bakar saja.”

Rusmin dan Tegar tertangkap oleh salah satu warga. Keadaan semakin genting. Rusmin dan Tegar diseret keluar oleh beberapa orang. Mereka disiram bensin. Untung saja dua polisi tadi berhasil meredam amuk warga yang ikut menangkap Rusmin dan Tegar. Sehingga kedua perampok itu urung dibakar.

Tak perlu waktu lama Rusmin dan Tegar diborgol dan dimasukkan mobil polisi. Mereka berdua dibawa ke kantor polisi. Sifat lelaki Rusmin hilang. Matanya tak sanggup lagi menopang air yang mau keluar. Dia menangisi nasib sialnya malam itu. Percuma.

***
Tegar sudah bisa bebas beberapa hari lalu. Tinggal Rusmin yang masih mendekam di tahanan. Kali ini giliran dia yang disidang. Lelaki itu memasuki ruang sidang dengan dada bergemuruh. Tangannya bergetar. Hari inilah nasibnya ditentukan. Sesekali dia menoleh kepada orang-orang yang mengikuti sidangnya. Pandangannya menyisir ke semua penjuru. Dia melihat istri dan anaknya melambaikan tangan kepadanya. Senyum getir pun terlukis di bibir hitam milik Rusmin.
Hakim yang baru saja masuk ke ruang sidang berdeham. Aura wibawanya membuat Rusmin menciut. Tak ada sedikit pun senyuman yang disuguhkan kepada hadirin. Hanya mata elangnya yang mencolok di wajah yang mengenakan pakaian hakim itu. Tak lama kemudian, sidang dimulai. Ruang sidang mulai hening.

Persidangan Rusmin kali ini berlangsung sangat alot. Jaksa dan pengacara saling bertanding melalui argumen masing-masing. Sebab itu hakim pun lama sekali dalam mempertimbangkan kasus Rusmin ini.

Keringat dingin Rusmin mulai mengucur. Dia berusaha menerima nasibnya nanti. Di sisi lain dia tak sanggup melihat istri dan anaknya mengeluarkan air mata di ruangan itu. Tak ada yang bisa dia lakukan untuk mereka saat ini. Badan kurusnya kini melemah.

Tiba saatnya hakim membacakan putusan sidang pada hari itu. Begitu terkejut Rusmin saat hakim menyatakan bahwa dirinya divonis kurungan 15 tahun. Lelaki memakai pakaian yang bertuliskan “tahanan” itu menangis meronta-ronta. Ternyata dia belum siap menerima hasil sidang saat itu. Dua orang petugas pun ditugaskan memegangi Rusmin yang masih meronta. Dia dibawa paksa menuju ke penjara lagi. Istri dan anaknya pun tak kalah meronta-ronta terlihat sekilas oleh Rusmin.

Terngiang-ngiang suara anaknya saat meminta sebuah sepeda seperti teman-temannya di sekolah.

“Pak besok belikan sepeda, ya. Di sekolah aku sendiri yang enggak punya sepeda,” pinta anak lelaki di depan Rusmin saat melihat ada anak barusan lewat dari rumah mereka mengendarai sepeda.

“Iya. Kalau sudah ada uang nanti bapak belikan.”

Hatinya terenyuh. Beberapa minggu ini lelaki berkulit eksotis itu tidak mendapatkan pekerjaan sebagai tukang bangunan. Menjadi tukang bangunan adalah satu-satunya keahlian Rusmin. Kehidupan istri dan satu anaknya pun bergantung pada pekerjaan itu. Lelaki itu hanya bisa menunggu panggilan untuk bekerja. Jika tak ada yang membutuhkan tenaganya dia hanya menjadi lelaki lemah yang pengangguran. Untungnya dia masih punya sepetak tanah yang ditanami berbagai macam sayur dan buah-buahan untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.

“Mas aku ingin kalung. Sudah lama sekali rasanya aku tidak memakai kalung. Boleh, ya?” rengek istrinya.

“Boleh aja. Nanti kalau sudah ada uangnya, ya,” balas Rusmin seraya mengusap pelan kepala istrinya.

***
“Mas … Mas … bangun, Mas.” Siti menggoyang-goyangkan badan suaminya yang sedang mengigau ketakutan.

Beberapa saat setelah istrinya membangunkannya, Rusmin terlonjak dari tidurnya.

“Kenapa, Mas?”

Rusmin melihat kalung yang melingkar di leher istrinya. Kalung itu hasil dia mencuri. Syukurlah dia terbangun dari mimpi yang membuatnya ngos-ngosan. Keringat dingin memenuhi dahi lelaki itu.

“Dek, kalungmu dijual, ya?”

“Loh, kenapa? Baru saja kemarin Mas belikan ini untukku,” gerutunya.

Rusmin mengatur napas sejenak. Dia berusaha mengendalikan napasnya supaya suasana menjadi normal kembali. Dengan hati-hati dia memberitahukan bahwa kalung yang dipakai istrinya itu adalah hasil dari dia mencuri. Lelaki itu berusaha membuka aib di depan istrinya.

Siti yang belum tahu pun terkejut. Wanita itu menggeleng. Dia tak menyangka bahwa suaminya mampu melakukan hal yang terlarang itu.

“Aku barusan mimpi dipenjara seumur hidup. Aku takut, Dek.”

Pertahanannya untuk membendung air mata runtuh. Isakan Rusmin membuat iba istrinya. Kemudian, dia memeluk wanita di depannya itu. Wanita itu pun ikut terisak-isak. Suasana kamar mereka menjadi haru biru malam itu.

“Ya sudah, Mas. Aku rela kalung ini dijual untuk mengganti barang yang Mas curi. Aku harap setelah ini Mas Rusmin tidak mencuri lagi,” pinta Siti seraya sesekali isakan wanita itu muncul.

“Iya, Dek. Terima kasih untuk semuanya. Mas takut, Dek. Sangat takut.”

“Untung saja itu hanya mimpi. Allah masih sayang kita. Dia menegur Mas melalui mimpi. Ya, sudah, Mas mau aku ambilkan minum?” tawar Siti seraya mengusap peluh yang masih tersisa di dahi Rusmin.

Lelaki itu hanya mengangguk pelan. Kebetulan sekali kerongkongan Rusmin sudah kering dari tadi. Teriakan di mimpi tadi seolah nyata, sampai membuat kering kerontang bagian leher dalamnya.

Setelah mimpi buruk yang menimpa Rusmin itu, dia tidak berani lagi untuk mencuri. Kini dia berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah yang halal dan baik untuk anak dan istri tercintanya. Dia tak mau lagi termakan oleh rayuan Tegar yang mengajaknya untuk melakukan pencurian. Dari Tegarlah awal mula Rusmin menjadi maling.

Riau, 11 Oktober 2021.

Ilustrasi: abbaloveministries.org

Multi-Page

Tinggalkan Balasan