Defisit Toleransi

1,040 kali dibaca

Dua kejadian beriringan tentang kejahatan toleransi di Indonesia. Pertama, kasus cuitan sara (penodaan agama) Ferdinand Hutahaean. Kedua, kasus tendang sesajen di Gunung Semeru. Meskipun secara konteks keduanya berseberangan dalam kacamata politik agama, namun sama-sama mencitrakan tentang defisit toleransi di negara paling religius di dunia ini.

Berdasarkan data Pew Research Center lewat surveinya, “The Global God Divide” (2020), Indonesia menjadi negara paling religius di dunia (98%), unggul dari negara seperti Filipina, Nigeria, Kenya, dan Tunisia yang 91-93% tentang peran agama dalam kehidupannya. Namun, tingkat religiusitas masyarakat Indonesia masih jauh dari moral kemanusiaan paling fundamental, yakni toleransi.

Advertisements

Menganalisis kasus Ferdinand, pernyataan “Allahmu lemah” merupakan narasi yang dibangun untuk melawan fanatisme beragama yang disertai motif politik. Mencoba meminjam gaya retorika Gus Dur dalam kampanye “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, Ferdinand terlalu gegabah menggunakan diksi yang justru melebarkan jarak toleransi di Indonesia. Gus Dur yang menjelaskan tentang kekuasaan Tuhan sehingga tidak perlu dibela, Ferdinand malah tegas merendahkan Tuhan/agama yang lain.

Kegagalan menginterpretasikan gagasan Gus Dur yang pada akhirnya memancing amarah umat Islam dengan tuduhan penistaan agama. Apalagi situasi politik agama masih belum begitu adem pascapilkada Jakarta tahun 2017 silam. Kemudian semakin memanas dalam periode pemilihan presiden tahun 2019. Ferdinand kembali bermain korek api di atas tumpukan jerami yang sudah membakar moralitas agama masyarakat Indonesia.

Selanjutnya adalah aksi anarkisme moral penendang sesajen Gunung Semeru. Munculnya ideologi kelompok Islam fundamentalis dan konservatif transnasional memicu gelombang konflik di Indonesia. Klaim kebenaran agama dibenturkan dengan ritus budaya masyarakat selama puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Baginya, Islam tidak hanya berkaitan dengan persoalan penandaan simbolik, tapi juga berkaitan dengan dominasi dan legitimasi.

Citra Islam yang damai dan penuh kasih sayang diubah sekelompok orang menjadi agama yang intoleran, anarki, dan radikal. Indonesia memang negara paling religius, namun untuk takaran toleransi masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya.

Agama dan Budaya

Indonesia merupakan negara dengan enam agama resmi dan banyak kepercayaan lokal. Populasi agama terbesar di Indonesia adalah muslim dengan jumlah lebih dari 229 juta manusia, atau setara dengan 13% populasi muslim dunia. Keragaman dan ketimpangan jumlah penganut agama ini yang seringkali menjadi penyebab konflik agama di Indonesia.

Sampai saat ini, Indonesia masih menjadi parameter kerukunan umat beragama dunia. Dalam seminar 4 pilar kebangsaan, Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE mengatakan bahwa Islam Indonesia dikenal sebagai the smiling dan colorful Islam, Islam yang penuh warna dan kedamaian. Islam Indonesia sangat tidak kental dengan Arab tetapi bukan berarti tidak lebih Islami dari negara Arab. Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa masyarakat muslim Indonesia lebih taat menjalankan syariat Islam, seperti puasa, salat Jumat, dan haji dibandingkan beberapa negara di Timur Tengah.

Toleransi antarumat beragama di tengah pluralisme masyarakat yang sangat kompleks di Indonesia mendapat pengakuan dari berbagai negara dunia. Berbeda dengan praktik di negara-negara lain, masyarakat muslim Indonesia tidak mengedepankan basis agama Islam sebagai identitas politik. Mereka justru banyak berperan di partai-partai politik yang berbasis nasional. Politik domestik masih mengedepakankan prinsip pancasila untuk mengakomodir aspirasi seluruh bangsa termasuk dari kelompok-kelompok nonmuslim.

Meskipun demikian, konflik agama seputar sara masih kerap terjadi dengan motif tertentu. Agama di Indonesia masih menjadi alasan utama penciptaan konflik atas dasar ketidaksukaan terhadap perbedaan. Motif dominasi ideologi disertai doktrin terhadap fanatisme kelompok membuat isu toleransi sulit untuk dicapai. Apalagi keterbukaan informasi yang memudahkan ajaran agama tertentu bebas berekspresi di negara demokrasi seperti Indonesia.

Belum ada solusi taktis menangani problem intoleran di Indonesia. Berbagai pihak masih lempar tanggungjawab. Sedangkan kebijakan memberantas radikalisme hanya sebatas slogan kampanye politik belaka. Padahal ada beberapa pihak yang seharusnya bisa mengontrol masifnya sebaran ajaran radikalisme dan intoleranisme di Indonesia. BNPT, Densus 88, BPIP, Polri, hingga TNI punya peran mencegah berkembangnya ajaran radikalisme yang merusak citra Indonesia sebagai negara yang bermoral dan religius.

Banyaknya kasus intoleran tidak berbanding lurus dengan tindakan hukum di Indonesia. Banyak pelaku intoleran masih bebas berekspresi di ruang-ruang publik. Menunggu penegak hukum beraksi hanya akan menambah virus intoleransi. Sehingga narasi-narasi heroik perihal semangat kemanusiaan untuk mengutuk perbuatan diskriminatif harus selalu dikampanyekan mulai saat ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan