Sulit untuk dimungkiri bahwa pemimpin agama dan pendakwah punya peran signifikan bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan pendidikan masyarakat Indonesia. Lintasan sejarah pun telah menunjukkan keragaman posisi mereka di masyarakat, dari mulai ahli ilmu metafakta, sufi sekaligus sastrawan, intelektual pemimpin pondok, hingga peran demagogi, pelayan industri media, dan entertainer.
Akan tetapi, keragaman peran tersebut sering dilihat dalam satu kesamaan sederhana yang sering memicu debat antar-golongan, oleh apa yang umumnya kita sebut sebagai ‘kharisma sakral’ atau ‘kharisma relijius’. Token inilah yang membedakan pemimpin agama dan pendakwah dengan pemimpin lain yang berbasis sosial, politik, maupun idola jagat entertainmen.
Istilah ‘pemimpin agama’ dan ‘pendakwah’ sering tumpang tindih dan disepadankan, walaupun mereka sebenarnya punya perbedaan sosiologis mendasar. Pemimpin agama dapat dikatakan sesederhana pemimpin kelompok. Statusnya bisa diperoleh melalui jalur organisasi ataupun jalur otoritas kepakaran, ataupun kombinasi keduanya.
Sementara itu, pengertian pendakwah lebih sempit. Ia fokus bergulat pada proses diseminasi agama, yang dalam konteks evolusi peradaban, dapat kita kenali perbedaan: dengan kelompok sosial mana ia akrab, kepada siapa ia menyebarkan agama, dan medium apa yang diandalkannya. Dalam konteks masyarakat modern, pendakwah sering merangkap sebagai pemimpin agama, khususnya ketika kedekatannya dengan industri media telah berhasil memungkinkan ia untuk membangun pesantren ataupun untuk ikut terlibat dalam pusaran politik.
Kharisma sakral pemimpin agama dan pendakwah menentukan loyalitas pendengar atau umatnya. Epos-epos dengan nuansa asketis dan ajaib telah mengakrabi masyarakat Indonesia sejak nyaris ribuan tahun lalu, terutama dalam kerangka pengaruh Hindu-Islam melalui relasi dan hierarki antarkelas dan kelompok sosial yang termuat dalam epos-epos teserbut. Di era modern, pengaruh itu terbawa secara tidak langsung, dan berevolusi dalam bentuk penerimaan apa adanya atas apa yang diucap dan diperintah oleh pemimpin agama dan pendakwah.
Dengan kata lain, walaupun kini ada sebagian orang yang kritis terhadap mereka, namun jumlah penerimaan dan kepatuhan total kepada pemuka agama dan pendakwah jauh lebih besar. Realitas pun akhirnya terbagi, antara apa yang diimajinasikan dan diyakini oleh para audiens, dan realitas sosiologis para pendakwah.
Keterbelahan itu menyisakan ruang kosong bernama politik dakwah, yakni sebuah keinginan dan hasrat afiliatif yang dipendam pendakwah dari mata audiens. Ideologi dan sekterianisme umumnya sangat menentukan ceruk kosong bernama politik dakwah. Tetapi, ihwal politik dakwah bukanlah hal umum yang diketahui oleh audiens.
Audiens datang dengan mengharap kebaikan, petunjuk, tuntunan, harapan kemudahan hidup dan keselamatan akhirat. Dalam konteks masyarakat muslim agraris, pengharapan-pengharapan itu menjadi salah satu basis penerimaan apa adanya terhadap kharisma religius pendakwah, terlepas bentuk politik dakwah apa yang dipendam oleh pendakwah.
Masyarakat kota pun tidak berbeda dengan kerabat mereka di kawasan agraris sana. Di sini masalahnya bukan soal materi, tingkat pendidikan, ataupun soal terpapar modernisme atau tidak satu komunitas dan lainnya, melainkan soal habit dan konstruksi.
Penerimaan begitu saja pada pendakwah oleh masyarakat rural agraris lebih disebabkan oleh kuatnya pengaruh jejak hierarki raja, agamawan, dan rakyat di masa lalu. Sementara penerimaan begitu saja oleh masyarakat kota lebih disebabkan oleh prospek pembangunan selama 50 tahun yang berorientasi masyarakat berbasis ekonomi, bukan berbasis kemandirian berpikir. Sehingga yang timbul adalah masyarakat religious-konsumeris, alih-alih religius-ilmiah.
Implikasi yang paling terasa dari kombinasi tersebut adalah, dimutlakkannya pendakwah sebagai pewakil tunggal suara langit. Kebenaran-kebenaran universal, ataupun kebijaksanaan di luar bahasa agama ataupun di luar bahasa kelompok kemudian sulit untuk dikenali lantaran telah terbentuk habit yang mengkultuskan pendakwah pada totalitas tertentu.
Dengan kata lain, pendakwah dilihat sebatas perannya pada penyampai suara langit. Melihat pendakwah dalam lensa sosiologi ataupun politik, adalah sesuatu yang tabu, kecuali segelintir ilmuan sosial atau ahli Islamic Studies di universitas, yang itupun sering jadi bulan-bulanan sejumlah pendakwah yang melekatkan mereka pada label liberal.
Salah satu manfaat dari melihat pendakwah lebih dari sekadar lensa agama adalah, lebih rendahnya peluang kita menjadi fanatis, baik itu fanatik NU, Muhammadiyah, maupun kelompok lain. Konservatisme tidak melulu tentang semangat formalisasi Islam, melainkan bisa juga berupa obsesi nasionalisme yang mendekati ultra-nasionalis.
Di samping itu, manfaat lainnya adalah, teropong sosiologi dan politik pada pendakwah bisa mencegah kita dalam proses komodifikasi agama dalam rantai hubungan mesra antara pendakwah kharismatik dan industri media. Lensa sosiologi dan politik memungkinkan kita untuk mengurai secara pelan dan rapi atas simbol, wacana, arah, orientasi, dan struktur yang dimainkan oleh pendakwah.
Tentu ada banyak faktor yang menentukan bagaimana kita menyikapi dan melihat pendakwah, seperti sinetron, televisi, media sosial, politik, tradisi keluarga, pengalaman pendidikan, lingkungan sekitar, dan lain-lain. Namun, adanya variasi pengaruh inilah yang secara tidak langsung juga menjelaskan mengapa pendakwah tidak bisa dilihat sebatas lewat lensa religi semata.