Bom Bunuh Diri dan Pentingnya Moderasi Beragama

1,561 kali dibaca

Terjadi lagi, aksi terorisme berupa bom bunuh diri di Polsek Antana Anyar, Bandung, Jawa Barat pada Rabu (07/12/22). Aksi brutal tersebut memakan korban satu polisi di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Tidak hanya itu, polisi juga menemukan secarik kertas yang diduga melilik dari pelaku, yang bertuliskan “KUHP HUKUM SYIRIK/KAFIR. PERANGI PARA PENEGAK HUKUM SETAN” (Kompas.com).

Peristiwa tersebut tentu tidak lepas dari pola pikir atau pemahaman agama yang salah. Biasanya seringkali yang salah yakni dalam memahami makna jihad, yang selalu ditarik ke kesimpulan pada peperangan dan perlawanan fisik terhadap perbedaan agama, serta perlawanan ideologi negara kita (Pancasila).

Advertisements

Namun kalau dilihat dari motif pelaku, sepertinya ia memang tidak menginginkan negara yang berideologi Pancasila dan berlandaskan UUD 1945. Sebab, tulisan pada kertas yang ditemukan itu memberikan indikasi adanya ketidaksetujuan terhadap hukum positif (dibuat legislator/DPR) di negara kita.

Maka dari peristiwa tersebut, pihak yang mempunyai kewajiban (pemuka agama) perlu untuk memberikan pemahaman agama yang tidak ekstremis, agar tidak berimbas pada keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Serta agar tidak semakin banyaknya pemahaman agama yang salah seperti pelaku aksi bom bunuh diri tersebut.

Di samping itu, sebelumnya, Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) acapkali menggelorakan moderasi beragama untuk memberikan pemahaman beragama yang moderat. Moderat (washatiyah) di sini dipahami sebagai sikap, perilaku yang adil dan seimbang, yakni tidak ekstrem kanan (radikal) dan tidak ekstrem kiri (liberal).

Oleh karena itu Kemenag memberikan empat indikator dalam memberikan pemahaman moderasi beragama: 1) komitmen kebangsaan, 2) toleransi, 3) anti kekerasan, dan 4) penerimaan terhadap tradisi.

Adapun, berdasarkam hasil survei Indikator Politik Indonesia, menunjukkan, rata-rata anak muda mempersepsikan pemerintah perlu menyegerakan dalam menyelesaikan persoalan radikalisme di kalangan umat Islam. Sebanyak 12,9% menganggap sangat mendesak dan 36,5% anak muda menilai hal ini sebagai persoalan mendesak. Sedangkan yang menilai tidak mendesak sebanyak 22,4% menyatakan kurang mendesak dan 6,4% tidak mendesak sama sekali.

Dari peristiwa dan hasil survei tersebut, menunjukkan bahwa amatlah penting moderasi beragama untuk dihadirkan sebagai perantara menciptakan ruang aman dan damai, sehingga nantinya akan terciptalah Islam Rahmatal lil Alamin itu.

Oleh karenanya, Kemenag menggalakkan moderasi beragama sebagai wujud akselarasi perdamaian di tengah bangsa yang majemuk dan heterogenitas agama. Tanpa adanya pemahaman tersebut, agama seringkali justru dijadikan amunisi pembenaran dalam melakukan diskriminasi, serta aksi kekerasan.

Bukan Manifestasi Terorisme

Secara sadar tentu kita sangat tidak setuju apabila agama yang diyakini suatu yang suci dan sakral, lalu kemudian dianggap sebagai reproduksi terorisme dan antikemanusiaan.

Padahal, terorisme berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital, hal tersebut masuk dalam kategori teroris

Sebaliknya, dengan representasi dari agama, ia hadir di tengah umat manusia, pertama sebagai keyakinan bagi pemeluknya, dalam Islam disebut dengan Al Huda (petunjuk) untuk membedakan mana yang hak (Benar) dan batil (salah) di dalam menjalani ibadah mahdah (wajib) dan muamalah (sosial). Kedua, agama sebagai wujud dari rahmat atau yang sering kita kenal Islam rahmantal lil alamin (rahmat bagi alam semesta).

Tentu dari keduanya bukanlah sesuatu yang memiliki relasi, apalagi visi yang sama dengan membenarkan lahirnya terorisme dari agama. Sehingga amatlah mustahil apabila agama kemudian menjadi manifestasi dari lahirnya ekstremisme, terorisme, dan radikalisme.

Maka di sinilah diperlukan hadirnya moderasi agama sebagai salah satu pencapaian untuk menghilangkan stigma negatif terhadap agama, yang direpresentasikan sebagai akar dari lahirnya gerakan ekstrimisme.

Dengan demikian, agama nantinya akan kembali sebagai suatu yang fitrah (suci) secara lahiriah maupun batiniyah dalam menuntun umat beragama. Bukan lagi menjadi sebuah ketakutan, seperti munculnya Islamofobia. Sebab, Islamofobia muncul karena agama dicitrakan sebagai pendorong kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi, maka orang tak lagi memilih agama sebagai jalan spritual dalam mewujudkan perdamaian.

Sampai detik ini moderasi beragama amatlah penting dalam mengarahkan pikiran, sikap, dan perilaku yang berorientasikan i’tidal (keadilan) dan tawazun (keseimbangan) dalam menganut agama agar tidak menyalahpahami pemahaman dari agama yang sebenarnya.

Moderasi di Akar Rumput

Gagasan moderasi beragama tentu menjadi suatu yang amat menyegarkan dalam menjelaskan pemahaman beragama kita, terlebih lagi sejalan antara visi dan realisasi di lapangan. Walaupun ini bukanlah hitungan detik dan jari selesai begitu saja, pasti perlu waktu yang tidak cukup singkat.

Pada bagian ini, peran pemuka agama lintas iman berperan penting untuk memberikan dorongan serta dukungan berdasarkan kompetensi keilmuan di agamanya masing-masing. Sebab tanpa hal itu, ia hanya akan berhenti dalam gagasan dan semboyan belaka, dan belum memiliki kejelasan secara objektif kemana orientasi hendak dituju.

Sehingga peranan pendidikan di akar rumput dibutuhkan, kalau dalam Islam bisa ditanamkan dalam lembaga kajian keislaman (Islamic boarding school), yakni pesantren atau lembaga-lembaga yang menjadi pusat studi keislaman. Begitupula dengan agama lainya, maka perlu penanaman sejak dini seperti pentingnya toleransi, perdamaian dan kemanusiaan. Dari nilai-nilai agama tersebutlah nanti bisa mengantarkan kita pada jalan persatuan dan perdamaian.

Karena tanpa adanya pantikan di akar rumput tersebut, tentu bukanlah hal yang mudah untuk men-generalisasi pemahaman agama yang moderat dan tidak intoleran. Sebab, ihwal ini terlalu banyak dari kita menganut tafsir agama yang tidak sejalan dengan ajaran-ajaran agama yang sebenarnya, seperti makna jihad yang hanya dimaknai secara tekstual. Tentu pemahaman tersebut bisa berorientasi pada pemikiran yang kaku dan jumud dari makna jihad itu sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan