Bila Pondok Putri Mati Lampu …

1,814 kali dibaca

Bagi santri putri, membayangkan lampu mati saat sendirian di kamar, apalagi di kamar mandi, sungguh sangat mengerikan. Mungkin hal ini berbeda dengan santri putra. Karena, santri putri sering termakan cerita-cerita misterius, mengerikan, dan hal-hal mistis seputar hantu yang bergentayangan di malam hari.

Cerita tentang gayung yang berjalan sendiri, tentang tangan penuh darah yang memunguti sabun dan sikat gigi, tentang sesosok gadis berambut panjang berwajah pucat di belakang toilet, tentang tangisan bocah di atas genteng saat tengah malam, tentang nenek-nenek yang mandi air kembang di kamar mandi pada malam Jumat, dan cerita-cerita lainnya yang cukup membuat bulu roma bergidik.

Advertisements

Hal itulah yang pernah penulis alami saat mondok dulu. Terutama pada 2002 saat black out (padam total) selama dua hari dua malam di sekitaran Jawa dan Bali. Hampir sama kejadiannya saat black out terjadi pada 1997.

Namun di sisi lain, beberapa santri, terutama yang malas dan nakal merasa senang karena beberapa pelanggaran pondok dapat “berjalan mulus”, dan terbebas dari pengawasan pengurus pondok. Seperti salat sendirian di belakang pintu kamar, alias tanpa berjemaah di musala. Membaca buku pelajaran meski terbalik, tidak akan kelihatan oleh pengurus pendidikan, mendengarkan radio secara sembunyi-sembunyi di pojok emperan dengan menggunakan head set, atau membaca novel-novel percintaan-romantis yang jelas-jelas di larang oleh pondok, bermain kartu remi dan domino, atau telat bangun subuh dan pura-pura membaca koran yang ada di depan kantor pesantren, cukup membuat mereka tersenyum lebar.

Seringnya padam lampu pada waktu itu membuat kami sudah terbiasa dengan sinar lilin, dan ternyata cukup menyenangkan saat ada kebijakan kelonggaran peraturan. Seperti bolehnya tidak salat berjemaah karena harus menimba air untuk berwudhu, mandi dan mencuci di sumur, yang cukup membuat tangan kami lecet-lecet. Kami pun tidak peduli dengan kabar di koran bahwa pemerintah dibuat kalang kabut dan menyatroni pihak PLN yang membuat negara dan beberapa perusahaan BUMN besar sekelas Pertamina serta perbankan rugi hingga miliaran rupiah.

Seperti biasa, pada jam 10 malam, keadaan pondok sudah agak sepi karena santri diwajibkan masuk kamar dan tidur. Kecuali ada keperluan mendesak seperti pergi ke toilet, pergi ke dapur memasak untuk teman yang sedang sakit, mengerjakan PR, atau mempersiapkan presentasi di kelas atau di kampus dan keperluan-keperluan urgen lainnya. Hal tersebut dilakukan tentu dengan syarat meminta izin terlebih dahulu kepada pengurus kamar. Santri yang keluar kamar tersebut tentu tidaklah sendirian. Ia akan menjgajak dua sampai tiga orang temannya untuk menemani.

Hingga suatu kejadian menghebohkan dan mengocok perut pun terjadi. Tepatnya malam Jumat, pukul 01.00 WIB. Seperti biasa santri beristirahat di dalam kamar masing-masing. Seolah terbiasa dalam keadaan lampu padam, kami mematikan lilin-lilin untuk berhemat. Pada saat yang sama, sanggar “Al-Zalzalah” sebuah teater kesenian pondok setiap malam Jumat mengadakan tadabbur alam, yakni berjalan dengan mata tertutup kain sambil berzikir dan berjalan mengitari pondok. Dan setelah mencapai jumlah zikir yang telah ditentukan, kami para anggota teater akan membuka tutup mata kami sendiri.

Di pojokan musala, beberapa santri yang melanggar, nekat mendengarkan radio, setelah tadi siang me-request lagu-lagu lewat telepon dari wartel kepada pihak stasiun radio, dan mengirim-ngirim salam dengan teman-temannya. Ck ck ck!

Pemandangan yang berbeda, saat para pengurus pondok sudah tertidur lelap, bahkan mungkin pengasuh pondok sudah bangun untuk salat malam, beberapa santri “nakal” pun berkerumun membaca novel-novel percintaan sambil cekikikan. Dan ada salah satu santri yang tidak kuat menahan tawa hingga tanpa sadar bahwa ia dalam bahaya pelanggaran, melepas tawanya yang membahana hingga membangunkan 600-an santri waktu itu. Bayangkan, jam satu malam! Saat bunyi sandal terasa seperti bunyi roda sepeda, atau bunyi air di kamar mandi seperti ombak di lautan, atau bunyi jangkrik yang terasa sangat nyaring mengusik telinga.

Suara tawa si santri tersebut bahkan mengagetkan si pendengar radio dan pemain kartu remi dan domino, hingga mereka pun menjerit histeris membayangkan hantu kuntilanak yang tertawa menghampiri mereka. Hal itu juga mengganggu konsentrasi para anggota teater Al-Zalzalah, yang kemudian juga berteriak-teriak minta tolong membayangkan tangan-tangan penuh darah meraba-raba wajah mereka. Dan hal itu pun mengentakkan ratusan santri putri lainnya yang mimpinya terusik, membayangkan gadis-gadis berambut panjang dengan wajah penuh luka-luka seperti di film-film horor sedang menarik-narik selimut mereka.

Penulis pun tak kalah histeris, hingga berlarian dari dalam kamar keluar, dan dari luar berlarian lagi ke dalam kamar, entah mau pergi kemana, hingga betis ini lebam karena terantuk tiang pintu.

Saat pengurus pondok beraksi, menyatroni kami, dengan menenteng lampu-lampu senter berseliweran mengarah ke wajah kami, lilin-lilin pun mulai dinyalakan. Dan lihatlah, beberapa kepala santri ada yang masuk tong sampah, ada yang masuk ke dalam lubang panci dan wajan, ada yang tergeletak di comberan. Dan saat melihat di cermin, wajah mereka serupa badut yang lucu dan menggemaskan. Kami pun tertawa terbahak-bahak, tak peduli dengan luka-luka di tubuh.

Namun sial, di luar sana, di areal pondok dekat kediaman sang kiai, pengasuh kami itu pun ternyata dhukah (sangat marah), padahal beliau jarang sekali memarahi kami. Saking marahnya beliau sampai memasuki kamar-kamar kami dan mengibas-ngibaskan tasbihnya ke arah kami. “Aduh, sungguh sakit!” rintih salah satu teman penulis yang pinggangnya terkena kibasan tasbih sang kiai. Entahlah, apakah dia saat ini sudah menjadi orang yang sukses karena barokah kibasan tasbih kiai. Atau menjadi ibu nyai yang sibuk mengurus santri-santri nakalnya.

Dan yang tak kalah menghebohkan yaitu, beberapa pengurus keamanan dan pengurus-pengurus santri putra pun masuk ke areal  putri demi mengamankan kami, di ikuti ratusan santri putra junior yang mungkin pura-pura kaget dan ikut masuk ke areal pondok putri. Di sisi lain, ratusan santri dari daerah-daerah lain di bawah yayasan pesantren tempat kami mondok juga tak ketinggalan menyatroni kami, betanya-tanya apakah gerangan yang terjadi. Konon katanya, menurut santri dhalem (khadim) pengasuh, kiai dan ibu nyai kami cukup di buat malu kepada para pengasuh di daerah lain karena kelakuan nakal kami tersebut. Astaghfirullah!

Setelah beberapa jam dalam pengamanan, keadaan pun mulai reda. Dan seperti biasa, para pengurus pun mulai mencari-cari sumber masalah. Dan santri nakal yang tawanya lepas tadi karena membaca novel bersama teman-temannya dibuat kelimpungan karena pengurus menjadikannya buronan saat ia bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain. Dan akhirnya, ditemukanlah novel yang tergeletak karena tanpa sengaja terlempar saat mereka berlarian. Dan akhirnya dipanggillah beberapa santri yang melanggar tersebut lalu diadili bak para pesakitan yang siap menerima hukuman.

Beberapa pengurus pun dibuat terbelalak melihat radio yang masih menyala tergeletak di tangga musala. Dan menemukan beberapa kartu remi dan domino di antara buku-buku pelajaran di emperan pondok. “Oh no!” ucap santri-santri tersebut saat ketahuan melanggar.

Keesokan harinya, saat berangkat ke sekolah, bahaya pun mengintai kami karena cemoohan dan bullying dari santri putra yang siap mengadang, seolah menelan kami mentah-mentah. “Emang softexnya hilang neng, kok tadi malam teriak-teriak?!” “Paling kelingkingnya digigit tikus itu, wkwkwk,”  ucap mereka pedas, membuat telinga kami memanas. “Santri putri bikin kaget seisi bumi, dosa neng!” sahut yang lain. “Makanya malam-malam tidur, jangan baca novel!” kata-kata tidak sopan menghujani kami yang semakin cepat melangkah tergesa-gesa menghindari mereka.

Belajar dari black out oleh pihak PLN di atas, bukan berarti segala yang rahasia dan tersembunyi tidak akan ketahuan. Lambat laut akan terbongkar. Kami akhirnya diberi petuah yang bernas dari Bu Nyai.

“Meskipun padam lampu memberi sedikit kelonggaran kepada kalian para santri dalam beberapa peraturan pondok, bukan berarti kalian melanggar dalam segala hal,” kata Bu Nyai waktu itu setelah salat berjemaah, di depan kami para santri yang tertunduk malu.

Multi-Page

One Reply to “Bila Pondok Putri Mati Lampu …”

Tinggalkan Balasan