Berpikir Komputasi*

4,002 kali dibaca

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menambahkan Computational Thinking dan Compassion dalam kompetensi kurikulum pendidikan yang sebelumnya hanya 4C, yakni Creativity, Critical Thinking, Collaboration, dan Comunication (Kemdikbud, 18/2/2020). Penambahan ini menuntut pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan industri digital yang makin menguat. Computational Thinking (CT) paling menarik karena dianggap dasar utama dalam memahami industri digital.

Tujuan CT adalah memecahkan masalah. Belum jelas apakah penambahan 4C menjadi 6C menyelesaikan masalah atau justru menambah masalah. Dalam bukunya berjudul Mindstorms: Childern, Computers and Powerfull Ideas, Seymour Papert fokus pada dua aspek Computation. Pertama, bagaimana menggunakan computation untuk membentuk pengetahuan baru. Kedua, bagaimana menggunakan komputer untuk meningkatkan pemikiran dan mengubah pola dalam mengakses pengetahuan.

Advertisements

Meski, telaah Computation diterangkan pertama kali oleh Papert (1980), namun Jeannette M Wing yang pertama kali menyempurnakannya menjadi Computational Thinking. Secara umum, kata computation maupun computational disederhanakan menjadi komputasi. Berbeda dengan Papert, Wing menegaskan setidaknya terdapat enam kesalahan dalam mendefinisikan Computational Thinking (CT).

Pertama, CT adalah konseptualisasi dan bukan pemograman. Kedua, dasar komputasi bukan keterampilan menghafal. Ketiga, CT adalah cara manusia—bukan komputer—berpikir. Keempat, CT hanya melengkapi dan menggabungkan pemikiran matematika dan teknik. Kelima, CT adalah gagasan bukan artefak (benda mati) atau bukan hanya software dan hardware belaka. Keenam, CT untuk semua orang, sebab CT bagian integral dalam kehidupan manusia (Wing, 2006:334-5).

User Experience vs Innovator

Kenyataannya, menghadapi industri digital banyak sekolah di Indonesia—bukannya mempelajari dan menggunakan CT—malah menafsirkannya dengan cara melakukan digitalisasi sekolah. Akibatnya, peserta didik hanya diperkenalkan dengan berbagai aplikasi dan game pembelajaran. Sehingga, tidak jarang sekolah terburu-buru mengubur lab komputer dan segera menggantinya dengan puluhan tablet terbaru. Bukannya memahami CT, para peserta didik justru dipaksa untuk menjadi pengguna software-software tersebut.

Sebagai contoh, kini banyak keluhan para orang tua bahwa anak di bawah lima tahun sudah bisa menggunakan gadget atau membuka Youtube. Meskipun, buruk dalam kacamata psikologi perkembangan anak, namun hal ini membuktikan bahwa tidak diperlukan pembelajaran khusus untuk menjadi user experience suatu produk digital.

Kenyataannya, tahun 2018 Kemdikbud pernah memulai program digitalisasi sekolah dengan menyuntikkan fasilitas digital (tablet & laptop) ke 6.004 sekolah dan 692.212 siswa dengan total anggaran Rp 2,85 triliun. Artinya, pemerintah memang menafsirkan perkembangan industri digital sebagai peningkatan fasilitas semata. Kemudian, baru-baru ini terkuak bahwa fitur pembayaran online Gopay dari perusahaan Gojek Grup, sudah dilengkapi dengan layanan pembayaran SPP sekolah. Bukannya memahami CT, peserta didik dan para orang tua yang hendak membayar biaya sekolah justru “dipaksa” untuk menggunakan fitur tersebut yang hanya menguntungkan penyedia layanan pembiayaan online semata.

Dua peristiwa di atas menunjukkan bagaimana pemerintah mengarahkan masa depan pendidikan. Pertama, sangat jelas di kemudian hari peserta didik akan kembali dijejali fasilitas digital. Kedua, regulasi pendidikan bukannya semakin efesien, justru semakin menambah pihak-pihak swasta untuk masuk mengatur pembiayaan pendidikan. Terutama, masuknya pasal Badan Hukum Pendidikan (BHP) dalam rencana Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Ketiga, menjerumuskan regulator pendidikan, masyarakat, dan peserta didik dalam suatu hubungan ekonomi semata. Keempat, guru terpaksa harus mengikuti banyak pelatihan digital–justru bukan untuk memahami substansi CT—namun untuk menguasai satu-per satu aplikasi digital yang dipersyaratkan pemerintah.

Alternatif atau Bencana Pengangguran

Selain itu, keterlambatan pemerintah menganalisis dampak industri dunia digital bisa mengarahkan masa depan pendidikan ke arah yang keliru. Profesor bidang bisnis sekolah Sara A Wong dalam forum pendidikan Asian Pasifik Economic Cooperation (APEC) menyebutnya sebagai delay analysis impact. Sebagai contoh, perkembangan digital seharusnya membantu negara kepulauan seperti Indonesia untuk mempermudah akses pengetahuan melalui jejaring Internet ke daerah terpencil.

Namun, dengan meluasnya jejaring Internet dan sosial media di negara-negara APEC sendiri, bukannya ‘kemerataan akses pendidikan’ yang muncul, justru Masive Open Online Course (MOOCS) atau kursus online seperti ruangguru.com. Walhasil pendidikan didorong ke ranah privat sehingga hanya bisa diakses lapisan ekonomi tertentu.

Sementara itu, dorongan pemerintah untuk memasukan coding ke dalam kurikulum adalah jawaban instan menafsirkan CT dalam dunia pendidikan. Padahal, untuk menciptakan generasi yang mampu bersaing tersebut, diperlukan mental inovator, bukan mental user experience. Para inovator ini diciptakan dari sistem pendidikan yang akan mengarahkan setiap peserta didik kepada cita-citanya masing-masing.

Sebagai contoh, India termasuk Negara yang menyumbangkan banyak ‘inovator’ bagi perusahaan teknologi digital. Sepuluh CEO industri teknologi digital terbesar di dunia dijabat oleh orang berkebangsaan India (Economictimes, 15/8/16). Berbeda dengan Indonesia yang mengoleksi 6C, India hanya menerapkan Design Thinking (DT) di beberapa sekolahnya sejak tahun 2009.

Wajar belakangan banyak perusahaan teknologi digital papan atas seperti Google, Apple, dan Microsoft menjadikan DT sebagai bagian kurikulum pelatihan internal perusahaannya (Business Review, 10/4/19). Mereka tercipta bukan dari standar nasional atau hasil PISA yang tidak dapat menerima keberagaman potensi dalam diri seorang anak.

Standarisasi yang menjadi cara pandang utama memahami kompetensi peserta didik adalah logika produksi. Padahal, pendidikan tidak bermaksud menghasilkan barang atau pekerja yang dihitung dari tenaga kerjanya saja. Seperti yang dikatakan Albert Enstein hampir seabad yang lalu, Perkembangan teknologi seringkali menyebabkan lebih banyak pengangguran daripada meringankan beban pekerjaan (Einstein, 1949).

Dorongan keras pemerintah dalam mendukung perkembangan teknologi jangan sampai malah menciptakan pasukan pengangguran dari bonus demografi yang diidam-idamkan. Kita bisa keliru, tapi tidak bisa menambah kekeliruan.

*Perwakilan Indonesia dalam The 15th APEC Future Education Forum 26-27 September 2019.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan