Bermedsos dengan Bijak dan Gembira

1,011 kali dibaca

Dalam beberapa tahun terakhir ini, harus diakui bahwa zaman mengalami sebuah revolusi yang sangat signifikan. Media sosial merupakan salah satu bukti nyata dari perubahan zaman ini.

Seperti yang kita tahu bahwa di media sosial kita bisa menjumpai apa saja dan siapa saja, kebenaran dan kesalahan apa saja. Di berbagai media sosial seperti Facebook, Intagram, hingga Twiter kita bisa menjumpai pengguna-pengguna dari berbagai kalangan. Dari anak-anak hingga orang yang umurnya kisaran 50 tahun akan mudah dijumpai di medsos tersebut. Hal demikian tentu makin menguatkan dari substansi perkembangan media sosial itu sendiri.

Advertisements

Dari berbagai kalangan yang aktif bermedia sosial, tentu tidak semua paham tentang bagaimana seharusnya bermedsos (media sosial) yang baik. Apalagi ditambah dengan orang-orang yang sekalipun masih muda, namun minim pengetahuan mengenai dunia permedsosan itu sendiri.

Salah satu contoh misal, di Facebook saya sering menjumpai pengguna yang sedikit-sedikit mengekspose masalah keluarganya. Ada pula yang menyinggung tetangganya lewat status Facebooknya.

Dua contoh yang saya tuliskan itu merupakan secuil gambaran orang-orang berekspresi di media sosial, yang seharusnya hal-hal yang diungkapkan itu sebaiknya menjadi konsumsi pribadi karena masih tergolong sangat privasi.

Sangat privasi yang saya maksud dalam paragraf sebelumnya, yaitu misal pertengkaran sepasang suami istri. Si suami menuliskan status di medsosnya dengan isi statusnya sepenuhnya menyinggung istrinya. Karena media sosial mereka saling mengikuti, alhasil si istri mengetahui tindakan tersebut. Merasa tersinggung setelah membaca status suaminya, kemudian si istri terebut juga membalaskan dengan status yang kurang lebih juga menyinggung suaminya. Dalam konflik seperti ini, seharusnya selesai dalam ranah keluarga. Artinya biar orang-orang tidak tahu menahu mengenai yang terjadi pada keluarga tersebut.

Di Media Indonesia pada 24 Agustus 2020, Khoiruddin Bashori, seroang Derektur Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Sukma, Jakarta, menulis dengan berjudul “Etika Bermedia Sosial”. Menurutnya, saat ini media sosial telah menjadi gaya hidup dari setiap orang. Ia juga menyebutkan dalam tulisannya bahwa tidak adanya seorang editor yang bertanggung jawab di medsos menyebabkan kecepatan penyebaran informasi benar-benar real time.

Hal ini kemudian yang menyebabkan berita atau informasi menyebar luas, sedang kebenaran dari berita dan informasi tersebut belum jelas. Dari situlah hoaks kemudian bermunculan di media sosial dan membuat orang-orang yang secara pengetahuan belum luas akan mudah terpengaruh atas berita atau informasi yang salah.

Di tahun 2019 saja sebuah laporan mengungkapkan realita para pengguna media sosial bahwa anak usia 8-11 tahun meluangkan waktu untuk jejaring sosial dengan rata-rata 13,5 jam per minggu dan 18% pada usia tersebut aktif terlibat di media sisoal (Chaffey: 2019).

Data tersebut tentu sangat memprihatinkan, karena di usia itu mereka seharusnya aktif dalam memulai pendidikan yang baik dan efektif. Jika kasus seperti di laporan tersebut apakah anak-anak yang seusia itu akan menerima pola pendidikan yang baik dan efektif? Orang paling ideal untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya orang tua. Guru sebagai pendidik hanya menjalankan tugasnya mendidik dalam beberapa jam saja, selebihnya pantauan dari orang tua sangat menentukan terkait anak itu sendiri.

Selanjutnya, maraknya orang-orang tua di media sosial seakan menemukan sebuah ruang tongkrongan baru untuk mereka. Media sosial kini bisa dikatakan memiliki fungsi ke banyak hal, misal banyak orang yang berjualan di media sosial, berbagai hal yang tergolong keperluan manusia hingga hewan pun tersedia banyak di sana.

Dengan fenomena itu, kini media sosial juga masuk akal kalau disebut lapak kedua setelah pasar. Namun, di sisi lain orang-orang tua adalah yang paling banyak terpengaruh pada berita-berita hoaks. Faktor utamanya karena minimnya edukasi dan pengetahuan pada mereka, sehingga mereka tidak tahu bahwa apa-apa yang kita temukan di media sosial harus melewati filter dulu. Oleh karena minimnya pengetahuan, maka mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dikonsumsi dari media sosial dan mana yang tidak baik.

Bagaimana Seharusnya Bermedia Sosial?

Jika melihat data pengguna media sosial, nihil rasanya untuk menghindari kenyataan terkait maraknya perkembangan media sosial itu sendiri saat ini. Maka langkah yang perlu diambil untuk ke depannya adalah bermedia sosial dengan bijak dan gembira. Bijak dan gembira dalam artian mengedukasi orang-orang yang secara pengetahuan masih minim akan kegunaan media sosial itu sendiri.

Bagaimana bentuk edukasinya? Yaitu dengan menyebar atau berbagi konten-konten positif di media sosial itu sendiri, dalam hal ini orang pertama yang harus memulai adalah diri kita sendiri. Saya mempunyai keyakinan yang kuat, bahwa dengan perlahan jika langkah itu betul-betul dilakukan setiap hari akan menimbulkan dampak yang positif juga terhadap permedsosan saat ini.

Kalkulasinya begini, jika setiap hari tiap orang yang paham betul mengenai cara kerja media sosial itu membuat konten edukasi di medsosnya, maka perubahan itu akan semakin nyata kita rasakan, karena media sosial adalah sebuah ruang yang luas, semua orang bisa menjangkaunya.

Artinya, tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang yang membutuhkan edukasi mengenai cara bermedia sosial yang tepat akan menemukan konten kita yang berupa status Facebook atau di Instagram dan lainnya. Endingnya, jika semua orang paham mengenai kegunaan dan tata cara bermedsos, maka dalam suatu waktu, yang entah itu kapan, akan terwujud untuk semua orang bermedsos dengan bijak dan gembira. Demikian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan