Bagaimana Islam Memandang Pengemis?

1,320 kali dibaca

Seorang pensiunan polisi, Agus Dartono, kepergok sedang menjadi pengemis atau peminta-minta dengan cara menjadi “manusia silver”. Kejadian ini viral di media sosial dan memantik keprihatinan bagaimana bisa seorang pensiunan abdi negara bisa menjadi pengemis.

Agus Dartono (61) merupakan warga Sendang Mulyo, Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah. Agus sebelumnya bertugas menjadi polisi selama 19 tahun, sejak 1997 hingga 2016. Terakhir, ia berdinas di Poslantas Tembalang berpangkat Aipda. Kondisi Agus yang memprihatinkan mendapat perhatian yang serius dari Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Ahmad Luthfi, yang kemudian memberikan bantuan kepada Agus yang terkena razia Satpol PP saat menjalankan aksinya sebagai manusia silver pada Jumat, 24 September 2021.

Advertisements

Pengemis sebagai Profesi

Pengemis, atau peminta-minta, rupanya memperoleh perhatian khusus dari Al-Quran. Ada beberapa ayat di dalam Al-Quran yang menerangkan keberadaan pengemis atau peminta-minta. Keberadaan kaum peminta-minta ini sudah menjadi gejala sosial sejak di zaman Nabi.

Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Rumah Fikih Indonesia (RFI) Ustaz Ahmad Sarwat, terdapat perbedaan antara pengemis di masa Nabi dengan peminta-minta di era saat ini. “Zaman Nabi ada peminta-minta, tapi bukan pengemis yang mangkal di pinggir jalan,” kata Ahmad Sarwat, kepada Republika.co.id, Kamis (10/10/2021).

Al-Quran menyebutkan keberadaan peminta-minta di antaranya pada QS Al-Baqarah: 177. Ayat ini menjelaskan bahwa harta benda dapat diberikan (disedekahkan) kepada peminta-minta. “… dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta,…”

Ayat ini menegaskan bahwa keberadaan pengemis mendapat perhatian khusus dalam Islam. Sehingga Al-Quran pun memberikan kaidah hukum bahwa harta benda dari para aghniya’ (orang berharta, kaya) dapat diberikan sebagai sedekah kepada orang yang meminta-minta (pengemis).

Di dalam ayat lainnya disebutkan bahwa orang yang meminta-minta tidak boleh disakiti baik secara fisik atau nonfisik. “Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya).” (QS. Ad-Dhuha: 10). Tentu saja hal tersebut terkait dengan pengemis dengan kondisi sebenarnya. Bukan pengemis saat ini yang sudah dijadikan sebagai profesi dan dikoordinasi atau diorganisasi oleh orang yang hakikatnya tidak miskin. Maka sudah terjadi pergeseran hukum, sehingga diperlukan pendekatan humanis atau pendekatan khusus bagi orang-orang menjadikan pengemis sebagai profesi.

Ada saatnya menjadi pengemis adalah sebuah pilihan. Sebab, setiap manusia diberi kemampuan untuk terhindar dari menjadi peminat-minta. Maka menjadikan pengemis menjadi profesi adalah suatu kesalahan. Karena hakikat menjadi pengemis hanya bagi mereka yang benar-benar tidak mampu untuk bekerja dan tidak memiliki harta benda untuk biaya kehidupan. Di samping itu, pengemis yang sebenarnya adalah mereka yang tidak mampu untuk bekerja dan menghasilkan harta benda untuk biaya kehidupan.

Pengemis Menurut Islam

Rasulullah bersabda, “Bahwasanya salah seorang di antara kalian mengambil talinya, lalu dia datang dengan membawa seikat kayu bakar, lalu dia menjualnya sehingga Allah memberinya kecukupan dengan itu adalah lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada orang lain, baik mereka mau memberinya maupun tidak.” (HR Bukhari).

Hadis ini menjelaskan bahwa seorang pekerja dengan cara yang paling sederhana sekalipun (pemulung, misalnya) jauh lebih bermartabat dan mulia daripada menjadi pengemis.

Di dalam Islam, pengemis diperlakukan sebagai manusia umumnya. Yaitu, bahwa dengan kondisi diri mereka sendiri, baik secara fisik atau lainnya, pengemis harus dihormati secara humanis. Sebuah nilai kemanusiaan bahwa setiap orang punya hak untuk hidup bahagia. Namun kondisi diri yang tidak memungkinkan untuk lebih sempurna, maka mereka terpaksa melakukan tindakan meminta-minta.

Ada hadis yang sangat populer di antara kita adalah, “Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (menerima).” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjelaskan bahwa sebaik-baik kita adalah yang bekerja untuk memenuhi kehidupan. Akan tetapi pengemis juga harus dihormati sebagai nilai kemanusiaan bahwa kita harus saling menghargai apa pun kondisi yang mengiringi kita.

Perhatian Pemerintah

Realitas pengemis di Indonesia harus menjadi perhatian pemerintah sesuai dengan amanat UUD 1945, yang dalam pasal 34 disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara.” Hal ini menjadi sangat jelas bahwa seharusnya tidak ada pengemis di Indonesia. Sebab orang-orang miskin dan telantar menjadi tanggung jawab negara.

Kementerian/Dinas Sosial adalah yang paling bertanggung jawab dalam hal pemberantasan pengemis. Bisa sangat niscaya bahwa pemerintah, melalui Kementerian/Dinas Sosial telah berupaya untuk memberantas para peminat-minta.

Karena eksistensi pengemis yang sangat masif, dan dikelola dengan sangat baik oleh orang yang tidak bertanggung jawab, maka keadaan problematika pengemis masih belum tuntas hingga saat ini. “Alhaqqu bila nizhamin yaghlibuhul bathil binizdamin,” (kebenaran yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi).

Sebagai sebuah upaya, menjadi tidak bernilai jika kemudian kita apatis apalagi berputus asa atas sebuah upaya yang belum berhasil. Apa pun yang terjadi, ikhtiar untuk memberantas kemiskinan, mengupayakan untuk menghilangkan kaum peminat-minta, harus terus digalakkan. Sebab masalah ini adalah kewajiban kita bersama, dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan mengangkat derajat pengemis ke derajat bukan pengemis. Dan ini tidak mudah, tetapi perlu diingat bahwa ketidakmudahan bukan alasan untuk apatis dan antipati terhadap realitas keadaan.

Memberi lebih baik daripada menerima. Sebuah adagium yang telah ada sejak awal Islam. Realitasnya hingga detik ini masih ada orang yang meminta-minta. Sebab hidup itu sendiri sebuah pilihan. Menjadi pengemis juga sebuah pilihan. Maka memilih menjadi pengemis itu yang harus kita sadarkan, agar mereka menjadi paham bahwa meminta-minta itu bernilai rendah dari aspek kemanusiaan. Tidak mudah memang, tetapi jika terus kita ikhtiarkan, dan insyaallah akan dicapai kesuksesan. Wallau A’lam!

Multi-Page

2 Replies to “Bagaimana Islam Memandang Pengemis?”

Tinggalkan Balasan