Autokritik terhadap Peradaban Islam Kini

204 kali dibaca

Mari kita mengurai ke hal paling mendasar yakni secara etimologis. Dalam bahasa Indonesia, kata “peradaban” memiliki akar kata dari bahasa Jawa yaitu “adab” (عاداب) yang berarti “norma-norma yang baik” atau “etika”. Istilah “peradaban” kemudian diadopsi dari bahasa Arab, “adab” yang memiliki arti yang serupa.

Dalam konteks bahasa Indonesia, “peradaban” mengacu pada tingkat perkembangan sosial, budaya, dan intelektual suatu masyarakat. Istilah ini mencakup aspek-aspek seperti adab berinteraksi, norma-norma sosial, kemajuan dalam seni, ilmu pengetahuan, sistem hukum, dan pembangunan sosial-ekonomi.[1]

Advertisements

Sedangkan, dalam bahasa Inggris, secara etimologis, kata “civilizatio” berasal dari bahasa Latin “civilis” yang berarti “warga negara” atau “hubungan antara warga negara”. Istilah ini kemudian berkembang menjadi “civilisatio” dalam bahasa Latin, yang berarti “proses membentuk masyarakat yang beradab” atau “pengembangan kehidupan sosial dan politik yang teratur”.[2]

Dalam Bahasa Arab, menurut penelitian Hamid Fahmi Zarkasyi,[3] tamaddun adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Muslim untuk peradaban. Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Târikh al-Tamaddun al-Islâmî (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Semenjak itu istilah tamaddun atau derivatifnya digunakan umat Islam untuk merujuk peradaban.

Di dunia Melayu digunakan pula istilah tamaddun. Di Iran, orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddun dan madaniyat. Namun di Turki istilahnya mengikuti akar kata madinah atau madana atau madaniyyah, lalu diubah dengan dialek Turki medeniyet dan medeniyeti.

Di anak benua Indo-Pakistan, tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib. Jika istilah tamaddun dapat digunakan untuk istilah peradaban Islam, maka di dalam Islam sebagai dîn terkandung makna tamaddun atau peradaban.

Perbedaan Peradaban dan Kebudayaan

Dalam sebuah kesempatan[4], Abdul Hadi WM menjelaskan bahwa kebudayaan dan peradaban adalah dua hal yang berbeda meskipun mempunyai hubungan yang erat.

Bagi dia, kebudayaan bersifat spiritual, elitis, dan nilai intelektual. Sedangkan peradaban bersifat material dan praktis. Kebudayaan memberi dasar spiritual terhadap peradaban, karena itu dikatakan bahwa peradaban itu adalah kebudayaan material.

Perbedaan antara kebudayaan dan peradaban seringkali menjadi subjek perdebatan di antara para ahli. Meskipun tidak ada definisi tunggal yang diterima secara universal, beberapa perbedaan umum antara kebudayaan dan peradaban:

Pertama, Ruang dan Skala: Kebudayaan umumnya merujuk pada keseluruhan cara hidup, nilai-nilai, norma, bahasa, dan praktik yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat.

Kebudayaan dapat berlaku untuk kelompok kecil, seperti suku atau komunitas, dan dapat berkembang dalam skala yang lebih kecil.

Di sisi lain, peradaban lebih berkaitan dengan pencapaian sosial, politik, ekonomi, dan teknologi yang kompleks dalam suatu masyarakat yang lebih besar. Peradaban sering dikaitkan dengan struktur negara, perkembangan kota, organisasi sosial yang kompleks, dan pencapaian budaya yang lebih maju.

Kedua, Tingkat Perkembangan: Kebudayaan dapat berkembang dan berubah sepanjang waktu, tetapi tidak secara otomatis mencapai tingkat peradaban yang tinggi.

Peradaban umumnya dianggap sebagai tingkatan yang lebih maju dalam evolusi sosial dan budaya. Peradaban cenderung memiliki sistem hukum yang terorganisir, institusi politik yang kompleks, perkembangan teknologi, dan pencapaian dalam seni, sastra, dan ilmu pengetahuan.

Ketiga, Kompleksitas dan Spesialisasi: Peradaban cenderung memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dalam organisasi sosial, ekonomi, dan politik. Masyarakat peradaban sering mengembangkan divisi kerja yang lebih rumit dan spesialisasi pekerjaan, di mana individu dan kelompok memiliki peran yang terdefinisi dengan jelas dalam masyarakat. Kebudayaan, di sisi lain, bisa lebih sederhana dan kurang terstruktur dalam hal spesialisasi pekerjaan.

Keempat, Pengaruh Global: Peradaban cenderung memiliki pengaruh yang lebih luas dan global dalam hubungannya dengan masyarakat lain. Peradaban sering memiliki interaksi dan pengaruh yang lebih luas dalam perdagangan, diplomasi, budaya populer, dan pertukaran intelektual dengan peradaban lain di dunia. Kebudayaan, dalam beberapa kasus, bisa lebih lokal dan terbatas dalam lingkup pengaruhnya.

Namun, perlu dicatat bahwa batasan antara kebudayaan dan peradaban tidak selalu jelas dan dapat bervariasi tergantung pada konteks dan perspektif yang digunakan. Terdapat pendekatan dan definisi yang berbeda-beda dalam memahami kedua istilah ini, dan beberapa ahli mungkin menggunakan istilah-istilah tersebut secara bergantian atau secara berbeda.

Sedikit Menelisik Peradaban Islam

Dalam konteks Bahasa Arab, secara etimologis, kata “peradaban” berasal dari bahasa Arab “tamaddun” (تمدن) yang memiliki akar kata “madinah” (مدينة) yang berarti “kota” atau “pusat perkembangan”. Dalam konteks Islam, peradaban Islam mengacu pada perkembangan budaya, sosial, politik, dan intelektual yang terjadi di dunia Muslim sebagai hasil dari pengaruh dan inspirasi agama Islam.

Istilah “peradaban Islam” menunjukkan bahwa peradaban ini didasarkan pada nilai-nilai, ajaran, dan prinsip-prinsip Islam. Peradaban Islam bukan hanya mengacu pada aspek agama semata, tetapi juga mencakup ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, sastra, perdagangan, sistem hukum, dan tata pemerintahan yang berkembang di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh umat Muslim.

Hal tersebut diamini oleh cendekiawan muslim seperti Nurcholish Madjid.[5] Dia mengungkapkan bahwa peradaban Islam adalah peradaban kaum Muslim, yaitu peradaban yang mengasumsikan adanya titik tolak penciptaannya oleh orang-orang yang mempunyai komitmen kepada nilai-nilai Islam ridlâNya. Tetapi peradaban itu sendiri juga mengasumsikan daya cipta manusia dan usahanya dalam lingkup hidup dengan sesamanya. Jadi benar-benar bersifat kemanusiaan.

Peradaban Islam memiliki sejarah yang panjang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti keberagaman budaya, interaksi dengan peradaban lain, dan kondisi sosial-politik di berbagai periode.

Dalam sejarahnya, peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Kekaisaran Utsmaniyah, dan periode keemasan di Andalusia (Spanyol Islam). Pada masa itu, terjadi perkembangan signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, matematika, astronomi, kedokteran, seni, dan arsitektur.

Peradaban Islam juga memberikan sumbangan penting dalam pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang filsafat, logika, teologi, dan studi hukum Islam (fiqh). Selain itu, seni arsitektur Islam yang khas dengan karya-karya monumental seperti Masjidil Haram di Mekkah dan Masjidil Nabawi di Madinah menjadi ikon peradaban Islam.

Namun, penting untuk diingat bahwa peradaban Islam juga mengalami tantangan dan perubahan seiring waktu, termasuk periode penurunan dan kemunduran. Peradaban Islam juga sangat beragam, dengan perbedaan budaya dan karakteristik di berbagai wilayah dunia Muslim.

Dengan kata lain, peradaban Islam merujuk pada perkembangan budaya, sosial, politik, dan intelektual yang terjadi di dunia Muslim, berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Istilah ini mencerminkan pengaruh agama Islam dalam membentuk identitas dan perkembangan masyarakat Muslim.

Autokritik Peradaban Islam Kini

Autokritik terhadap peradaban Islam adalah proses reflektif, kritis, dan introspektif di mana penganut Islam, cendekiawan, dan komunitas Muslim secara objektif mengevaluasi aspek-aspek budaya, sosial, politik, dan praktik dalam konteks peradaban Islam. Autokritik ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelemahan, ketidaksempurnaan, atau masalah yang ada dan berupaya untuk memperbaiki atau mereformasi aspek-aspek tersebut.

Autokritik terhadap peradaban Islam mungkin dapat mencakup berbagai aspek seperti di bawah ini:

Pertama, kesenjangan antara prinsip-prinsip Islam dan praktik masyarakat. Dalam autokritik, terdapat upaya untuk mengevaluasi sejauh mana praktik masyarakat atau lembaga-lembaga dalam peradaban Islam, mungkin di Indonesia bisa dikontekskan dengan ormas seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Apakah mereka sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang luhur. Hal ini bisa mencakup penilaian terhadap pemberdayaan ekonomi, keadilan sosial, hak asasi manusia, perlakuan terhadap perempuan, kebebasan beragama, atau isu-isu etis lainnya.

Kedua, interpretasi dan pemahaman yang “salah”. Autokritik juga dapat melibatkan evaluasi terhadap interpretasi dan pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama Islam yang mungkin telah terjadi dalam konteks peradaban Islam umumnya. Hal ini mencakup penelitian dan refleksi kritis terhadap pemahaman tradisional atau interpretasi yang tidak akurat atau terdistorsi terhadap Islam. implikasi yang konkret seperti perselisihan di antara mereka (aliran kalam maupun ormas) yang mendaku merasa paling “otoritatif” mewakili wajah umat Islam.

Ketiga, keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi: Autokritik juga bisa melibatkan pengakuan terhadap keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di sebagian komunitas Muslim.

Dalam konteks ini, mungkin ada upaya untuk merenungkan penyebab dan mencari cara untuk mempromosikan inovasi, pendidikan, dan pengembangan ilmiah dalam bingkai peradaban Islam.

Keempat, intoleransi atau ekstremisme. Autokritik juga dapat mencakup evaluasi terhadap masalah intoleransi, fanatisme, atau ekstremisme yang mungkin ada dalam sebagian komunitas Muslim. Ini dapat melibatkan refleksi kritis tentang pemahaman yang sempit atau ketidakmampuan untuk berdialog dengan kebudayaan, agama, atau pandangan dunia lainnya.

Autokritik terhadap peradaban Islam merupakan proses penting dalam upaya untuk mencapai pembaruan, transformasi, dan pengembangan positif dalam peradaban Muslim. Ini menunjukkan adanya kesadaran dan tanggung jawab untuk menghadapi tantangan, kesalahan, dan masalah dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil, beradab, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Perlu diketahui juga bahwa pandangan autokritik terhadap peradaban Islam mungkin dapat bervariasi di antara individu, kelompok, ataupun cendekiawan Muslim yang berbeda. Semisal, Syafiq Hasyim menggarisbawahi kemunduran  Islam berkaitan Iptek adalah karena umat Islam meninggalkan pesan-pesan yang diberikan dalam Al-Qur’an dan Sunah Nabi. Penyebab lainnya adalah karena umat Islam terlibat dalam konflik internal. Dengan kata lain, umat Islam dihalangi umat Islam yang lain. Mereka terlibat dalam pertentangan politik dan ideologi.[6]

Catatan:

[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kelima). Balai Pustaka.
[2] Online Etymology Dictionary. (2021). Civilization. Diakses dari https://www.etymonline.com/word/civilization
[3] Jurnal Unida Gontor, http://dx.doi.org/10.21111/tsaqafah.v11i1.251
[4] Pidato Kebudayaan 75 Tahun Abdul Hadi WM yang diselenggarakan oleh Pesantren Luhur Ciganjur pada 2021
[5] Islam Doktrin dan Peradaban, hal. n, Paramadina, cet IV 1995
[6] Tanya jawab seputar Islam CNN Indonesia 9 Mei 2020

Multi-Page

Tinggalkan Balasan