Anugerah Ramadan

1,023 kali dibaca

Semua karyawan sebuah toko di Jalan Mayjen Sungkono Surabaya dikumpulkan untuk menerima pesangon. Toko yang telah berdiri puluhan tahun itu memutuskan tutup karena tidak mampu bersaing dengan toko-toko daring yang menawarkan harga lebih murah. Di tengah-tengah antrean, Erna melemparkan pertanyaan kepada Yono, suaminya.

“Bagaimana nasib kita, Pa?”

Advertisements

“Kita hanya bawahan, bisanya hanya menurut sama bos.”

“Aku paham, masa kita setelah ini nganngur di rumah. Lama-lama pesangon kita bisa habis.”

“Coba kamu jualan online kaya Bu Yeti, siapa tahu bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sementara untuk menunggu panggilan kerja, aku akan menjadi ojol.”

Usai menerima pesangon, mereka mengeksekusi rencana. Tapi apa daya, rencana mereka tidak sesuai harapannya. Pesanan ojek daring Yono sepi karena masa pandemi. Toko daring Erna kalah bersaing dengan distributor besar. Akibatnya pesangon mereka semakin menipis.

“Sepertinya Mama harus menitipkan Tofa di kampung agar kita bisa bertahan hidup.” Saran Yono kepada Erna.

“Apa tidak ada jalan lain, Pa?”

“Aku rasa semua jalan sudah aku jalani. Aku sudah bekerja di bengkel Pak To, malamnya jadi ojol. Mama juga bekerja sambilan sebagai ART. Tetapi setelah kuhitung-hitung masih besar pasak daripada tiang. Coba titipkan Tofa di rumah ibu Mama di kampung. Dengan begitu, kita bisa leluasa bekerja lembur atau serabutan tanpa kepikiran kondisi Tofa di rumah.”

“Tapi, Pa…”

“Mama harus melakukan sekarang, nanti jika mendekati lebaran dilarang pulang kampung. Uang kita sudah tidak cukup untuk memenuhi bulan ini jika kita masih seperti ini.”

Dengan perasaan terpaksa, Erna menuruti saran suaminya. Ia menyadari, menitipkan Tofa yang berusia sepuluh tahun kepada ibunya adalah pilihan terbaik kali ini.

Sebelum azan subuh, Erna dan Tofa berangkat ke Terminal Bungurasih. Erna berniat menitipkan Tofa kepada Solik, neneknya, yang berada di Sumbermiri, Lengkong.

*

Sebagai pedagang pasar, Solik terbiasa bangun sebelum fajar menyingsing. Selepas sahur, ia selalu menyempatkan salat di sepertiga malam untuk bermunajat kepada Allah. Selepas itu, ia membaca Waqiah selagi menunggu salat subuh. Jika itu semua selesai barulah ia bersiap berdagang di Pasar Sawahan. Tetapi hari ini berbeda dengan biasanya, raut  wajah Solik terlihat terburu-buru.

“Ini semua sepuluh ribu saja.” Tawar Solik kepada Rini, pelangganannya.

“Tujuh ribu ya? Lagian saya tidak butuh kacang dan kangkung sebanyak ini. Paling semua ini nanti aku bagikan ke tetangga saya.” Rini menawar.

“Baiklah.”

Rini merogoh dompetnya sambil berkata, “Mau ke mana sih Nek terburu-buru? Ini kan masih jam 6.30. Biasanya kamu tutupnya jam 9.00.”

“Nanti anak dan cucuku datang. Aku harus ada di rumah. Belum lagi aku harus belanja untuk berbuka nanti. Mumpung jam segini, semua lauk dan sayur masih ada di pasar.”

“Waktu berbuka kan masih lama. Mengapa buru-buru?”

“Aku sudah lama tak bertemu jadi tak sabar ketemu mereka.”

Solik sangat bahagia atas kunjungan anak dan cucunya. Sudah tiga tahun ini mereka tidak ketemu. Usai bercakap dengan Rini, Solik langsung berbelanja menu masakan dan jajanan pasar.

Dengan terburu-buru Solik berbelanja daging sapi, ayam, tahu, tempe, dan berbagai rempah untuk masakan bumbu bali, menu kesukaan Erna. Sesampainya di rumah, ia langsung mencuci beras kemudian memasukkannya ke sebuah penanak nasi. Kemudian ia merebus daging. Sambil menununggu daging empuk, ia meracik bumbu. Usai memasak, ia membersihkan kamar yang akan ditinggali anak dan cucunya. Kamar itu terlihat sederhana dengan dinding tembok yang mulai mengelupas. Tidak ada plafon di rumah itu. Jika memandang ke atas, terlihat genting yang disangga kayu reng yang terbuat dari bambu. Di kamar itu ada sebuah ranjang sederhana dari besi yang di atasnya ada kasur, bantal, dan guling dari kapuk.

Setelah semua sisi rumah bersih dan masakan sudah tersaji di meja makan, Solik sengaja menunggu mereka sambil merebahkan punggung tuanya pada sebuah lincak  yang berada di teras rumah. Detik begulir menjadi menit, menit berputar menjadi jam, di dalam rasa harap ia menunggu dengan tak sabar.

Dari kejauhan terdengar suara becak mesin yang mendekat ke rumahnya. Ia bergegas berdiri menuju jalan depan rumahnya, dengan senyum bahagia Solik menyambut anak dan cucu mendatanginya.

“Aku sudah lama menunggumu, Nak. Mengapa lama sekali?” tanya Solik dengan senyum ramahnya.

“Busnya lama ngetem karena mencari penumpang, Nek,” jawan Erna.

“Ini tadi aku sudah masak Bumbu Bali, kalian puasa tidak? Jika tidak ayo makan dulu.”

“Aku puasa, Nek. Tofa puasa setengah hari. Kamu mau makan sekarang atau nanti, Fa?”

“Aku ingin sosis bakar seperti yang di terminal, Ma,” pinta Tofa.

“Nenek sudah memasak sebanyak ini nggak baik mengecewakannya. Lagian di terminal sudah beli lima belas ribu,” timpal Erna.

“Aku nggak mau makan kalau nggak ada itu.”

“Makan dulu seadanya, nanti sore aku ajak ke Sawahan semoga saja ada penjual di sana.”

Jajan pasar yang dibeli Solik tidak disentuh oleh Tofa. Solik tetap khusnuzon, mungkin ia tak terbiasa makan jajan seperti itu sehingga tidak suka. Hati Solik berdoa, “Ya Allah sang pemilik hati cucuku, jadikan hatinya lebut.”

Sumbermiri jauh dari pusat keramaian. Desa ini terletak di ujung perbatasan antara Nganjuk, Bojonegoro, dan Lamongan. Jarak dari pusat keramaian satu-satunya, Pasar Sawahan, kira-kira 5 Km. Itu pun harus melewati jalan aspal yang rusak. Karena perjalanan ke Pasar Sawahan tidak nyaman, Erna berniat meminjam motor kepada Ismi, teman bermainnya waktu kecil. Ia bercerita kepada Ismi, bahwa ia butuh meminjam motor untuk mengantarkan Tofa membeli sosis bakar ke Pasar Sawahan.

Sepanjang perjalanan, Erna berpesan kepada anaknya, bahwa neneknya itu suka hidup dengan sederhana. Daripada membeli motor, neneknya lebih suka membeli kebun untuk menanam sayur. Neneknya juga tidak suka makanan cepat saji, seperti sosis, mie instan, roti, dan sebagainya. Maka dari itu, Tofa harus belajar hidup sederhana seperi nenek. Besok, Mama akan kembali ke Surabaya untuk mencari pekerjaan. Tofa harus tinggal bersama nenek sampai Mama dan Papa mendapatkan pekerjaan kembali.

Sebernarnya Tofa keberatan tinggal bersama nenek, tapi Erna mengatakan bahwa Papa dan Mama sedang hidup prihatin di sana. Keadaannya akan jauh lebih buruk dari kehidupan dengan neneknya di sini.

*

Belum genap seminggu, Tofa sudah bosan dengan menu makanan yang di buat neneknya. Karena ia terbiasa dengan menu cepat saji yang dibumbui MSG, masakan tradisional neneknya terasa hambar. Siang itu ia memutuskan untuk tidak makan. Karena kawatir, Solik bertanya.

“Kamu ingin makan apa, Nak? Nanti nenek masakan,” rayu Solik.

“Aku ingin makan kentucky. Aku sudah bosan makan tidak enak terus.”

“Apa itu kentucky? Aku baru dengar.”

Karena neneknya tidak tahu, Tofa mengambil gawainya. Ia lalu menunjukkan gambar ayam goreng yang dibalut dengan tepung. Solik mengira Tofa minta ayam goreng. Solik memutuskan untuk pergi ke tukang potong ayam yang berada di dekat Pasar Sawahan. Ia mengeluarkan sepeda tuanya. Belum lama mengayuh hujan gerimis mulai menapaki tanah.

Sesampainya di rumah, Solik langsung memotong ayam kemudian menggorengnya. Sambil menunggu matang, disempatkannya mandi untuk membersihkan dari sisa-sisa gerimis yang membasahi badannya. Setelah matang, ternyata ayam goreng yang dibuat Solik tidak sesuai dengan harapan Tofa.

“Bukan seperti ini, kentucky itu ada tepung gorengnya yang gurih, terus makannya pakai saos.”

Solik hanya terdiam mendengar omelan cucunya, dia hanya berdoa dalam hati ‘semoga Allah membaikan hati Tofa’. Selasai mengungkapkan rasa kesalnya, Tofa pergi meninggalkan Solik. Ia berjalan menunju sebuah bukit di belakang rumah. Ia bertemu anak seumurannya yang sedang membantu ibunya memanen jagung. Tofa sebenarnya tersenyum melihatnya, lalu ia mengeluarkan gawainya. Hati kecilnya ingin mengajak anak itu untuk bermain.

Karena melihat Tofa memiliki gawai, anak itu tertarik ingin bermain. Ia berlari mendekatinya.

“Bermain apa kamu?”

“Bermain FF, kamu punya akun FF?” tanya Tofa.

“Aku nggak punya gawai.”

Tofa terkejut, mengapa masih ada anak yang tidak punya gawai di masa sekarang ini. Tofa pun akhirnya berkenalan dengan anak itu. Ia bernama Agus. Sejak saat itu mereka berteman akrab.

*

Seusai salat subuh, Solik mengumpulkam hasil kebunnya untuk dijual di pasar. Ia berniat mengajak cucunya ke pasar untuk menghibur cucunya.

“Nak, mau ikut nenek ke pasar? Siapa tahu di sana ada makanan atau mainan kesukaanmu.”

Tofa menjawab dengan anggukan.  Ketika hendak berangkat, Solik memberikan selembar uang dua puluh ribu.

“Ini uang sakumu hari ini, belikan apa saja yang kamu mau. Jika ada makanan yang kamu kehendaki untuk buka nanti sore, bilang saja. Nanti aku antar ke sana.”

Tofa mengangguk kemudian ia naik ke atas rengkek bambu. Ketika semua sudah siap, Solik mengayuh sepedanya menuju Pasar Sawahan.

Sesampainya di pasar, Tofa mengelilingi pasar. Tak disangka ia bertemu dengan Agus. Terlihat Agus yang sedang membantu ibunya berjualan kelapa. Orang tuanya sedang mengupas kelapa, sedangkan Agus bagian memecahkan kemudian menggiling kelapa-kelapa itu hingga menjadi parutan. Dengan semangat, Tofa pun mendekati temannya.

“Kamu tidak membantu nenekmu?” tanya Agus.

“Tidak, nenek tidak pernah meminta bantuanku.”

“Wah, enak ya jadi cucu kesanyangan. Coba aku sehari saja jadi kamu pasti bahagia. Ha-ha-ha….”

Mendengar perkataan teman akrabnya, Tofa terkejut.

“Kebiasaan anak sini itu membantu orang tuanya. Kalau ada anak dibiarkan bermain, berarti dia anak kesayangan.”

Setelah mendengar ucapan Agus, Tofa melemparkan pandangan di sekelingnya. Ia baru sadar, banyak anak yang sedang membantu orang tuanya. Sementara itu, nenek terlihat sedang duduk sendiri melayani pembeli.

“Nanti ajari aku main FF ya? Kalau sudah selesai perkerjaanku ini,” sambung Agus.

“Ya, nanti saja setelah pulang dari pasar.”

Dengan rasa bersalah, Tofa mendekati neneknya. Tofa baru menyadari, betapa sabarnya neneknya menghadapi sikapnya selama ini. Rasa penyesalan mulai memenuhi hatinya. Dengan rasa canggung, ia membantu neneknya memasukkan belanjaan pembeli.

“Eh, nenek bisa sendiri. Biarkan nenek saja yang melakukan.”

“Tidak mengapa Nek, aku sudah puas jalan-jalan ini tadi,” sahut Tofa.

“Nanti kamu capek, Nak. Biarkan Nenek yang melayani.”

Setelah pembeli pergi, Tofa merebut tangan kanan neneknya kemudian mengecupnya. Air matanya menetes tak tertahankan.

“Maafkan sikapku selama ini yang selalu menyakitimu, Nek.”

“Sikap yang mana, Nak? Aku tidak merasa kamu sakiti. Aku sudah bahagia kamu menemaniku di sini. Sudah lama aku dalam kesendirian. Dalam sujudku, aku selalu berdoa semoga Allah mengirimkan teman dalam masa rentaku ini. Kamu anugerah yang Allah kirimkan di Ramadan ini. Alhamdulillah, kubahagia karena Allah berkenan mengabulkan doaku. Aku tak ingin menyia-nyiakan amanah titipan-Nya.”

Mendengar perkataan itu, Tofa sangat menyesal tidak memahami kasih sayang yang diberikan neneknya kepadanya. Ia juga merasa kecewa telah berperilaku buruk kepada neneknya selama ini. Semenjak saat itu, ia berjanji akan membahagiakan neneknya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan