Alasan Penting Menghormati Kitab Kuning

2,239 kali dibaca

Kitab kuning (turas) adalah ciri khusus pesantren. Ia tidak bisa digantikan dengan buku terjemahan walaupun memiliki isi yang sama. Ada semacam aura tertentu ketika kitab kuning dibacakan. Begitu pula ketika ada santri yang menguasai kitab kuning, otomatis dia akan dilabeli sebagai alim, betapapun kita tahu bahwa pengetahuan agama juga bisa diperoleh dari buku. Ini merupakan rasa penghormatan kepada eksistensi kitab kuning kuning sebagai karya tulis yang dihasilkan oleh sosok mulia. Jadi pantas jika karyanya sangat dihormati.

Di pesantren, kitab kuning ditempatkan nomor dua setelah Al-Qur’an. Bahkan ada ritual tersendiri sebelum membaca kitab kuning, yaitu membaca al-Fatihah khusus bagi si pengarang. Ritual demikian dipercaya akan mudah untuk memahami kitab kuning yang dibaca. Jika kitab kuning lebih dimuliakan daripada buku, rasanya tidak berlebihan. Para pengarang kitab kuning adalah ulama yang setidaknya memiliki tiga kriteria: kesucian, ketekunan, dan kecerdasan.

Advertisements

Kesucian ini mencakup kepribadian dan niat dalam menulis. Misalnya Imam Bukhari, setiap hendak menulis, beliau salat dua rakaat untuk minta petunjuk kepada Allah. Beliau memiliki kitab hadis yang berjumlah sekitar 7 ribu hadis. Jadi sebanyak itu pula beliau salat.

Ibnu Sina, pengarang al-Tib, buku kedokteran yang jadi rujukan Barat hingga abad ke-16, setiap kali menghadapi persoalan pasti salat. Ini merupakan anjuran Nabi bahwa idza hamma ahadukum bi amrin farka’ rokataini bigairil faridhoh. Lain lagi dengan al-Gazali. Beliau uzlah dua tahun di menara masjid Basrah demi menulis Ihya Ulumudin yang menjadi kitab kuning master piece sepanjang zaman. Ketika Imam Syafi’i mengadu kepada sang guru, Imam Waqi’, tentang lemahnya hafalannya, beliau mendiagnosa karena dosa, bukan karena kurang unsur DHA lantaran kurang minum susu.

Bahkan demi kesucian niat, para ulama sangat hati-hati menetapkan tujuan menulis kitab kuning. Pernah terbetik di hati Imam Ibnu Malik untuk mengarang kitab nahu yang lebih praktis ketimbang karya gurunya, Imam Ibnu Mu’thi. Akibatnya fatal. Ilmu Imam Ibnu Malik hilang. Dia sadar. Dia minta maaf kepada sang guru. Baru ilmunya kembali lagi yang bisa kita baca dalam seribu bait kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Pengarang kitab Jurmiyah, Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Dawud Ash-Shonhajie, karena khawatir niatnya tidak suci, melakukan proper test. Dia membawa karyanya ke sungai. Sebelum kitab itu dilempar, beliau membatin jika niatnya suci, kitab kuningnya tidak akan basah. Ternyata kitab itu tetap kering walaupun dibawa arus sungai. Sebab itu kitab diberi nama “Jur Miyah” yang memiliki arti berjalan di atas air.

Demi menjaga kesucian, para ulama biasanya perlu diminta terlebih dahulu, bahkan dipaksa oleh orang lain, biasanya oleh sahabat-sahabat atau murid-muridnya, untuk menulis kitab. Al-Gazali berkali-kali diminta oleh sahabat dan muridnya untuk menulis kitab Ayyuhal Walad. Awalnya al-Gazali merasa enggan. Namun sahabat dan muridnya mendesak dengan alasan kitab itu merupakan intisari sekaligus media sederhana untuk memahami kitab kuning Ihya yang dinilai kompleks.

Hal yang sama juga terjadi kepada Taqiyuddil Al Husni Abu Bakar Muhammad bin Husaini Al Husni Assyafi’i ketika harus menulis kitab Kifayatul Akhyar.

Begitu hati-hatinya para ulama menjaga kesucian hingga tidak terpikirkan untuk mendapatkan popularitas, upah, hadiah atau royalti dari apa yang mereka tulis. Padahal pada waktu itu, karena berharganya pengetahuan, nilai sebuah karya ditimbang dengan emas. Jadi sangat mahal.

Selain kesucian, ketekunan mereka sangat mengagumkan. Imam Al-Gazali membaca logika karya Aristoteles sebanyak enam belas kali. Ibnu Rusyd, begitu tekunnya, senantiasa membaca kecuali dalam dua waktu: waktu malam ketika ayahnya meninggal dan waktu malam pengantin. Sebagai dokter, beliau tidak minta upah. Yang diminta hanya kesempatan untuk bisa membaca buku yang ada di ruangan pasiennya.

Imam Syafi’i hanya untuk tahu Bahasa Arab, belajar kepada suku Arab asli selama lima belas tahun. Imam al-Suyuti harus menyepi ke hutan agar lebih konsentrasi. Dengan kecerdasan yang mereka miliki, lahirlah pengetahuan magnum opus. Al-Gazali bisa menguasai kurang lebih tujuh cabang pengetahuan dengan karya ratusan jilid. Ibnu Rusyd berhasil menjadi dokter umur 17 tahun dengan hak paten penemuan sekitar 70 obat penyakit. Imam al-Suyuti menulis sekitar 600 kitab kuning dengan beragam tema, sementara kitab Imam al-Safi’e adalah Nasirul Hadits, pioner usul fikih sekaligus imam mazhab yang diikuti ratusan juta orang hingga sekarang.

Dengan alasan itu, wajar jika kitab kuning begitu dihormati di pesantren.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan