Alain Badiou: Kembali ke Filsafat, Kebenaran, dan Subjek

5,730 kali dibaca

Alain Badiou memberi darah segar pada filsafat, menghidupkan, dan menggairahkannya. Dengan menggunakan matematika, ia membuka jalan bagi kembalinya filsafat, juga kebenaran dan subjek. Ia menyuburkan lagi hasrat filsafat dengan menafsir ulang pemikiran para filsuf Yunani kuno. Dengan analisis implikasi logis dari pemikiran Herakleitos, Parmenides, Plato, dan Aristoteles, ia mendefinisikan ulang “Ada” (being) dan ontologi. Dengan menarik implikasi dari logika Aristotelian, ia merumuskan ulang kebenaran. Dengan melampaui konsep kebenaran dari Heidegger dan ego semu dari Lacan, ia menemukan subjek dalam wataknya yang baru. Semua itu dirunutnya dengan matematika dan hasrat untuk memecah kebekuan filsafat akibat “pembunuhan-pembunuhan” yang dilakukan poststrukturalisme.

Badiou kini dikenal sebagai filsuf Prancis paling orisinal, terutama setelah karya-karyanya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Lelaki kelahiran Rabbat, Maroko, tahun 1937 ini dikenal juga sebagai filsuf sayap-kiri Prancis terkemuka. Ia terlibat dalam gerakan mahasiswa Prancis pada Mei 1968, mengorganisasi kelompok komunis dan Maoist seperti UCFML. Di tahun 1969 ia menjadi pengajar di University of Paris VIII (Vincennes-Saint Denis) yang merupakan pendukung pemikiran counter-cultural. Di sana ia terlibat aktif dalam berbagai perdebatan sengit dengan Louis Althusser, Gilles Deleuze, dan Jean-François Lyotard yang menurutnya merupakan para penganjur filsafat kiri yang ia anggap sebagai penyimpangan tak sehat dari jalur-utama Marxisme.

Badiou secara formal dididik sebagai matematikawan di École Normale Supérieure (19561961) yang belakangan jadi tempatnya bekerja sebagai Kepala Departemen Filsafat. Sejak muda ia terlibat intensif dalam persoalan politik dan merupakan anggota pendiri dari United Socialist Party (PSU), sebuah organisasi turunan dari Partai Komunis Prancis yang aktif memperjuangkan dekolonisasi Algeria. Dalam dekade 1960-an, minat Badiou meluas. Ia menulis novel di tahun 1964 dan mulai belajar filsafat yang akhirnya menjadi fokus utamanya. Di tahun 1967, ia bergabung dalam kelompok studi yang dikelola oleh Louis Althuser dan tumbuh di bawah pengaruh pemikiran Jacques Lacan. Sebelumnya ia sempat menjadi murid Jean Paul Sartre dan belajar filsafat eksistensialis dari tokoh yang mempopulerkan eksistensialisme itu. Dari sana, modal filsafat ia dapat dan terus digarapnya hingga saat ini.

Advertisements

Filsafat Badiou terus berkembang, melampaui berbagai pemikiran yang sempat mempengaruhinya. Berangkat dari filsafat tradisi hermeneutik Gadamerian dan Hedegerian, filsafat analitik, juga pemikiran postmodenisme, ia mengembangkan pemikiran orisinal yang dituangkannya dalam buku Etre et l’Evenemen (Being and Event) di tahun 1988. Dalam karya monumental itu, ia merumuskan kembali filsafat yang mencakup ontologi (kajian tentang “ada”), kebenaran, dan subjek. Dari pernyataan-pernyataannya di buku itu, ia juga menurunkan berbagai pemikiran tentang politik, etika, dan estetika yang dituangkannya masing-masing dalam karya tersendiri.

Tujuan Badiou dalam berfilsafat menurut Peter Hallward (2003) dalam buku Badiou: A Subject to Truth adalah:

…salvage reason from positivism, the subject from deconstruction, being from Heidegger, the infinite from theology, the event from Deleuze, revolution from Stalin, a critique of the state from Foucault, … and the affirmation of love from American popular culture. He asserts a philosophy of the subject without recourse to phenomenology, a philosophy of truth without recourse to adequation, a philosophy of the event without recourse to historicism.”

Bagi Badiou, imperatif paling fundamental yang mendasari antagonisme penyelamatan itu adalah filsafat harus menyediakan tempat yang aman untuk pikiran dan memampukan kita untuk terus berpikir. Agar dapat melakukan perjalanan kembali kepada kebenaran dan menggairahkan pemikiran filosofis mengatasi kepasifan yang dewasa ini melanda bidang filsafat, Badiou menegaskan bahwa filsafat harus menegakkan dirinya di luar representasi atau bahasa sambil menolak setiap Lian (The Other) yang mistik, menolak yang transenden. Persoalan ontologis ini menuntut rekonsiliasi ontologi dengan doktrin baru tentang subjek.

Being and Event, karya utama Badiou, memaparkan proyeknya menegaskan jalan bagi filsafat untuk memahami kemajemukan murni. Ia memanfaatkan perkembangan dalam matematika dengan langkah-langkah aksiomatik dalam memahami ketakterbatasan. Buat Badiou, teori himpunan transfinit dari Cantor membangunkannya dari “tidur nyenyak Sartrean” dan menyediakan apa yang ia sebut “kejadian” kebenaran (‘event’ of truth), membuka dan membongkar kemacetan ontologi modern.

Dalam pelukan kebenaran, Badiou mencermati kemanjuran aksioma yang ditegakkan teori himpunan dan menggunakannya untuk merumuskan kembali ontologi. Rumusan itu tertuang dalam Being and Event. Di sana kita temukan paparan argumentasi bahwa konsepsi matematik secara memadai dapat digunakan untuk pencaritahuan ontologis melampaui konsepsi metafisik dan etis. Bagi Badiou, ontologi adalah matematika. Lebih jauh lagi, matematika sebagai “presentasi murni” (atau presentasi dari presentasi dan dengan demikian juga presentasi dari yang tiada (nothing)), meleluasakan kita untuk memikirkan “kemajemukan inkonsisten” (inconsistent multiplicity), memikirkan kumpulan murni tanpa meminta bantuan dari “Yang Satu” (the One). Dengan penegasan ini, Badiou menemukan jalan untuk menyelamatkan subjek dan filsafat dari kepasifan dan perbudakan oleh Lian di satu sisi, dan kekerasan yang menyeluruh dari imperialisme cogito dan “Ada” (Being) di sisi lain.

Menurut Hallward (2003), pemikiran Badiou dalam Being and Event dapat dibaca sebagai artikulasi dari filsafat inovatif yang mencakup tiga topik umum: (1) “ada”, dalam ranah ontologi (sebagai matematika) sebagai inspirasi untuk memikirkan kemajemukan murni dan infinitas kebenaran; (2)  kebenaran, ranah filsafat yang menemu-kenali “kejadian” (event) tercapainya kebenaran dan memungkinkan tampilnya subjek; serta (3) subjek, ranah etika yang menjelaskan keyakinan dari tampilnya subjek yang diraih oleh kejadian kebenaran, serta keterikatan pada apa yang disebut “prosedur-kebenaran” (‘truth-procedures’).

Alain Badiou

Empat Dimensi Hasrat Filsafat

Dengan paparan rumusan baru dari “ada”, kebenaran, dan subjek dalam Being and Event, Badiou mengembalikan filsafat kepada hasratnya seperti yang ditampilkan oleh para pelopornya di masa Yunani Kuno. Tetapi, wajah filsafat tidak lagi sama dengan sebelumnya, melainkan wajah yang baru, wajah filsafat yang dibutuhkan dunia saat ini.

Bagi Badiou (2003), filsafat adalah semacam pemberontakan logis. Filsafat melontarkan pikiran melawan ketidak-adilan, melawan keadaan dunia dan kehidupan yang rusak. Lontaran pikiran itu menggunakan logika baru, logika yang mengatasi cara pikir lama yang menjadi sumber ketidak-adilan. Lebih jauh lagi, pikiran-pikiran yang dilontarkan filsafat juga hendak mencakup yang universal. Berbasis pada komitmen yang dipegang dalam situasi yang mengandung kemungkinan lain, filsafat juga merupakan pertaruhan atau risiko.

Dari pemahaman terhadap filsafat tersebut, dapat dipahami empat dimensi dari hasrat filsafat: (1) pemberontakan (revolt); (2) logika; (3) univesalitas; dan (4) risiko. Tidak ada filsafat yang tidak mengandung kekecewaan terhadap dunia yang sedang dihadapi. Setiap filsafat merupakan pikiran yang menyatakan kekecewaan atau ketidakpuasan terhadap pemikiran sebelumnya. Filsafat selalu mengandung pikiran berkonfrontasi dengan dunia yang dihadapinya. Dengan kata lain, filsafat selalu merupakan pemberontakan terhadap dunia yang sedang dihadapi. Hasrat berfilsafat selalu mencakup logika. Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Logika yang digunakan dalam filsafat merupakan logika baru untuk zamannya.

Lalu, hasrat filsafat juga mencakup universalitas. Artinya, filsafat menganggap semua manusia sebagai makhluk yang berpikir dan mampu memahami pemikiran yang dikandung filsafat. Dengan demikian, pemikiran filsafat yang diajukan untuk menanggapi dunia, meski menggunakan logika baru, semestinya dapat dipahami sebagai pemikiran universal. Terakhir, filsafat mengambil risiko. Pemikiran filsafat selalu merupakan keputusan yang mendukung sudut pandang baru.

Hasrat filsafat yang sudah diungkapkan sejak zaman Yunani Kuno, terutama sangat jelas tampak pada pemikiran Parmenides, kini perwujudannya menghadapi tantangan. Menurut Badiou (2003), dunia kontemporer tempat kita hidup sekarang memberi tekanan intensif yang menghambat empat dimensi hasrat filsafat. Pada dimensi pemberontakan, dunia kini tidak menempatkan pikiran sebagai pemberontakan dengan dua alasan. Pertama, saat ini dunia sudah mencanangkan diri sebagai wilayah bebas; dunia menampilkan dirinya sebagai “dunia bebas”. Semua yang berbentuk dan berbau penindasan terus-menerus direduksi. Kedua, dunia yang kita tempati kini menstandarisasi dan mengkomersilkan nilai kebebasan. Dunia menyajikan kebebasan dalam bentuk keseragaman moneter, dan dengan keberhasilan penyajian itu, dunia tidak memerlukan lagi pemberontakan sebab kebebasan dijamin di dalamnya. Tetapi, dunia tidak menjamin kita untuk bebas menggunakan kebebasan sebab penggunaannya sudah dikodekan dalam kenyataan, diarahkan dan disalurkan pada gemerlap  objek dagangan. Kebebasan tidak lagi berfungsi sebagai keleluasaan kita beraktivitas, melainkan sebagai komoditi atau efek dari konsumsi komoditi. Itu sebabnya dunia kontemporer kita menekan secara intensif gagasan berpikir sebagai upaya bebas dari subordinasi atau pemberontakan.

Tekanan kuat juga ditujukan oleh dunia kontemporer terhadap dimensi logika dari hasrat filsafat. Hal ini terjadi karena dunia kini tersaji sebagai rezim komunikasi tak-logis yang mengakar dalam kehidupan warganya. Komunikasi memancarkan sebuah semesta yang terbuat dari berbagai citra, catatan, pernyataan, dan komentar yang tak berhubungan satu sama lain. Prinsip inkoheren diterima sebagai dasar bagi praktik komunikasi dalam keseharian kita. Komunikasi yang berlangsung membatalkan semua relasi dan prinsip. Berbagai relasi antarunsur komunikasi berpencar sendiri-sendiri dan mengabur dalam keserba-bolehan dan kesemena-menaan makna. Komunikasi dewasa ini menampilkan dunia kepada kita sebagai rintangan yang menghambat terbentuknya ingatan. Setiap citra dan catatan baru menutupi, menghapus, dan menggempur yang terdahulu sehingga ingatan tak bisa dimantapkan dan apa yang sudah dipersepsi terlupakan. Logika tak bisa ditegakkan sebab unsur-unsurnya selalu kabur dan tak dapat diolah. Komunikasi dalam dunia kontemporer memberi tekanan berat bagi kesetiaan pikiran kepada logika dan mengarahkan kita kepada jenis diseminasi imajiner yang tak berjejak pada kenyataan.

Dimensi universal dari hasrat filsafat pun tidak lagi cocok bagi dunia sekarang, sebab dunia secara esensial terspesialisasi dan terpecah-pecah. Keterpecahan itu merupakan respons terhadap tuntutan pemilahan tak terhitung dari konfigurasi teknis benda-benda, juga pemilahan peranti produksi, distribusi pendapatan, keragaman fungsi, dan keterampilan. Persyaratan dari spesialisasi dan keterpecahan ini menyulitkan kita untuk mempersepsi apa yang bisa jadi merupakan irisan atau universal. Dengan demikian, apa yang mungkin valid bagi semua pikiran, yang universal, menjadi sulit untuk dipahami dan dicapai.

Akhirnya, dimensi risiko dari hasrat filsafat juga tak sesuai dengan dunia kontemporer, sebab di dalamnya tak ada lagi orang yang mau merisikokan dirinya untuk mengambil kesempatan dari keadaan yang belum pasti. Hidup orang-orang kini diabdikan kepada perhitungan keamanan. Orang-orang terobsesi oleh keamanan hidup di dunia. Tak ada yang berani bertaruh untuk kemungkinan yang lebih baik, sebab dunia sendiri dipersepsikan sebagai wilayah yang mengandung risiko tak terhitung banyaknya. Persepsi ini mencekam orang-orang dan mendorong mereka untuk menghindari risiko. Mereka meniscayakan perhitungan realistik, mendambakan keamanan dalam hidupnya.

Lalu bagaimana filsafat menghadapi tekanan-tekanan itu? Apakah itu artinya filsafat berakhir? Bagaimana dengan pemikiran-pemikiran yang terkandung filsafat kontemporer? Apakah filsafat kontemporer tidak cukup memadai digunakan untuk mengatasi tekanan-tekanan itu?

Merujuk Badiou (2003), secara selayang pandang ada tiga orientasi utama dalam filsafat kontemporer, yaitu (1) orientasi hermeneutik yang secara historis dilacak jejak awalnya pada romantisme Jerman dengan Heidegger dan Gadamer sebagai tokoh utamanya; (2) orientasi analitik yang berasal dari Lingkaran Wina tetapi berkembang pesat mendominasi filsafat akademik Inggris dan Amerika, dengan tokoh utamanya Wittgenstein dan Carnap; dan terakhir, (3) orientasi postmodern yang pada faktanya mengambil pemikiran dasar dari dua orientasi terdahulu, dengan tokoh utamanya pemikir Prancis Jacques Derrida dan Jean-François Lyotard.

Orientasi hermeneutik memperlakukan filsafat sebagai upaya untuk memahami makna dari “Ada” (Being). Orientasi ini menjadikan makna “Ada-di-dunia” (Being-in-the-world) sebagai kajian filsafat dan konsep sentralnya adalah penafsiran (interpretation). Menurut orientasi ini, filsafat harus dapat menyediakan metode penafsiran yang dapat memperjelas kekaburan makna dan menampilkan makna otentik, makna yang akan memperjelas takdir kita sebagai suatu keberadaan di dunia. Filsafat hermeneutik memandang ada sesuatu yang tersembunyi dan tertutup di dunia. Tujuan penafsiran adalah menyibak selubung yang menutupi sesuatu itu dan membukanya sehingga maknanya menjadi jelas.

Orientasi analitik berpegang pada pendapat bahwa tujuan filsafat adalah memberikan demarkasi yang ketat bagi ucapan yang bermakna dan ucapan yang tidak bermakna. Filsafat, dalam pandangan orientasi ini, harus mampu membedakan apa yang dapat dikatakan dan apa yang tidak mungkin atau tidak sahih untuk dikatakan. Instrumen esensial dari filsafat analitik adalah analisis logis dan gramatikal dari ucapan, dan lebih jauh lagi, dari keseluruhan bahasa. Konsep sentranya adalah “aturan”. Tugas filsafat, menurut filsafat analitik, adalah menemukan aturan yang memastikan sebuah kesepakatan tentang makna. Bagi orientasi analitik, filsafat merupakan alat untuk terapi dan kritik, obat yang menyembuhkan manusia dari ilusi dan penyimpangan bahasa yang membelah kita dengan mengisolasi apa yang tidak memiliki makna, dan dengan mengembalikan aturan yang jelas bagi semua orang.

Terakhir, orientasi postmodern berpegang pada asumsi bahwa tujuan filsafat adalah untuk dekonstruksi berbagai fakta yang diterima oleh modernisme, khususnya pemikiran-pemikiran hasil konstruksi para pemikir abad ke-19. Ide-ide seperti subjek sejarah, kemajuan, revolusi, kemanusiaan, dan sains ideal dinyatakan mati dan tidak lagi bisa jadi pegangan bagi manusia dalam menjalani hidupnya. Secara umum, filsafat postmodern mendekonstruksi ide totalitas. Konsekuensinya, orientasi ini mengaktifkan apa yang disebut praktik-praktik campuran, de-totalisasi, atau pikiran tak-murni.

Badiou (2003) melihat adanya dua kesamaan fitur dari ketiga orientasi tersebut. Pertama, fitur negatif. Ketiga orientasi itu berpegang pada pendapat yang menyatakan bahwa kita berada di akhir metafisika, bahwa filsafat tidak lagi berada dalam posisi mempertahankan locus classicus atau proposisi-proposisi metafisik. Dalam arti lain, ketiga orientasi itu memandang bahwa filsafat sedang berada di situasi berakhirnya filsafat. Sebagai contoh: Heidegger menegaskan berakhirnya metafisika; Carnap mengumumkan berakhirnya kemungkinan metafisika sebab baginya metafisika mengandung tidak lebih dari ucapan yang tak-beraturan dan tanpa makna; dan Jean-François Lyotard menyatakan bahwa narasi-narasi besar telah berakhir yang berarti berakhirnya konfigurasi besar dari subjek dan sejarah yang sebelumnya diasosiasikan dengan metafisika modern. Dengan menegaskan berakhirnya metafisika, ketiga orientasi ini sekaligus juga mengakhiri ideal kebenaran yang pernah dimantapkan oleh filsafat klasik. Untuk mengganti ide kebenaran, menurut mereka, kita harus menggantinya dengan ide pluralitas makna.

Kedua, fitur positif. Ketiga orientasi tersebut menempatkan bahasa sebagai topik sentral dalam filsafat. Filsafat-filsafat yang tercakup dalam ketiga orientasi itu secara prinsipil telah menjadi meditasi tentang bahasa, tentang kapasitas, aturan-aturan, dan otoritasnya.

Dua fitur tersebut membentuk dua aksioma yang menjadi dasar bagi pemikiran filosofis ketiga orientasi itu, yaitu: (1) aksioma negatif: metafisika kebenaran merupakan hal yang tidak mungkin; dan (2) aksioma positif: bahasa adalah situs krusial bagi pikiran sebab bahasa adalah tempat pertanyaan tentang makna berlangsung.

Bagi Badiou, kedua aksioma tersebut mewakili bahaya nyata bagi pemikiran secara umum dan bagi filsafat khususnya. Kedua aksioma itu mengimplikasi ketidakmampuan filsafat untuk mempertahankan empat dimensi hasratnya. Jika filsafat secara esensial merupakan meditasi tentang bahasa, makan filsafat tidak akan berhasil menyingkirkan rintangan spesialisasi dan keterpecahan yang merupakan oposisi dari universalitas. Menerima semesta bahasa sebagai horison mutlak dari pemikiran filosofis pada praktiknya adalah menerima keterpecahan dan ilusi komunikasi. Itu sama saja dengan menyatakan bahwa kebenaran dari dunia kita terletak pada bahasa-bahasa yang digunakan berbagai komunitas, dan itu artinya ada banyak kebenaran, juga ada banyak aktivitas atau jenis pengetahuan. Jelas ini bertentangan dengan hasrat filsafat.

Pengabaian kategori kebenaran menjadikan filsafat tidak mampu mengatasi rintangan berupa subordinasi dunia oleh perdagangan uang dan informasi. Itu artinya filsafat tidak dapat mempertahankan dan mewujudkan hasrat pemberontakan, tidak dapat mengajukan interupsi kepada dunia. Jika ingin mempertahankan hasratnya, filsafat harus mengajukan sebuah prinsip interupsi, harus mampu menawarkan kepada pikiran sesuatu yang dapat menginterupsi rejim sirkulasi tak berujung. Filsafat harus mengkaji kemungkinan adanya titik interupsi karena pikiran setidaknya mesti mampu mengekstrak dirinya dari sirkulasi itu dan menjadikan dirinya sebagai sesuatu yang bukan objek dari sirkulasi.

Absennya prinsip kebenaran juga bisa menutup kemungkinan filsafat mempertahankan dimensi risiko. Kesempatan filsafat untuk menang dalam menghadapi berbagai risiko terletak pada prinsip kebenaran. Dengan hilangnya prinsip kebenaran, harapan akan kemenangan pupus dan orang akan menolak untuk mengambil risiko atau melakukan pertaruhan eksistensial karena tidak ada kemungkinan menang. Mereka lebih memilih perhitungan realistik yang membawa kepada keamanan hidup.

Dalam rangka mempertahankan hasrat filsafat, Badiou (2003) menegaskan bahwa dibutuhkan gaya filosofis lain, gaya filosofis selain penafsiran, analisis gramar logis, atau polyvalence dan permainan bahasa. Untuk itu, ia mengemukakan dua gagasan yang mendukung terbentuknya gaya filosofis baru. Pertama, gagasan bahwa bahasa bukan horison absolut dari pikiran. Ia merujuk Plato dalam Cratylus yang menyatakan, “Kita, para filsuf, tidak menjadikan kata sebagai titik berangkat, melainkan benda-benda.” Dalam rangka membangkitkan lagi filsafat, Badiou pun berangkat dari benda-benda, bukan dari kata-kata. Ia menegaskan bahwa bahasa selalu menjadi bagian dari materi historis kebenaran dan filsafat, bukan sebaliknya. Bahasa bukan prinsip esensial dari organisasi pikiran. Filsafat memancarkan pemikirannya yang ditujukan kepada setiap orang. Filsafat tidak menjadi hak khusus bahasa tertentu, tidak terkemas rapat dalam ideal formal murni bahasa ilmiah. Unsur alamiah filsafat memang bahasa tetapi dalam unsur alamiah itu, filsafat menegaskan sebuah maksud universal.

Gagasan kedua menyatakan bahwa peran singular dan tak dapat direduksi dari filsafat adalah menegakkan titik yang pasti dalam diskursus, titik untuk interupsi, titik diskontinuitas, sebuah titik tak-bersyarat. Dunia kita ditandai dengan kecepatannya. Berbagai perubahan terjadi dalam waktu sangat cepat, perkembangan teknologi terjadi sangat cepat, juga komunikasi, transmisi informasi, dan hubungan antara manusia. Kecepatan itu menghadapkan kita kepada bahaya inkoherensi. Filsafat harus mengajukan proses retardasi, mengajukan perlambatan untuk dapat melakukan interupsi kepada dunia. Hanya pikiran yang perlahan dan memberontak secara konsekuen yang dapat menegakkan titik pasti dalam upaya mempertahankan hasrat dari filsafat. Seyogyanya, filsafat tidak lagi mengejar dunia. Filsafat harus berhenti untuk berusaha bergerak secepat dunia, sebab jika mengejar dunia maka filsafat tidak lagi bisa memelihara hasratnya, tidak bisa mempertahankan dimensi pemberontakan, logika, universalitas, dan risiko.

Dunia membutuhkan filsafat. Begitu hasil pencermatan Badiou (2003). Alasannya ada empat. Pertama, ilmu humaniora saat ini terjebak dalam makna sirkuler dan polyvalence, dan oleh karena itu tidak memiliki kemungkinan menggantikan filsafat. Ilmu humaniora bergerak mengikuti sirkulasi dunia kontemporer dan dengan begitu tak bisa melakukan interupsi terhadap dunia.

Kedua, setiap orang di dunia sekarang harus menghadapi sendiri masalah-masalahnya. Orang tidak bisa sembunyi di balik konfigurasi kolektif, daya di luar manusia, atau totalitas metafisika apapun. Diperlukan prinsip tak-bersyarat (unconditional principle) untuk mengelola keputusan dan keberpihakan terhadap sesuatu. Dengan kata lain, orang-orang membutuhkan etika. Tetapi, kembali kepada etika berarti juga kembali kepada prinsip tak-bersyarat yang memungkinkan orang untuk membedakan itu benar dan itu salah. Artinya, kita membutuhkan kategori kebenaran. Filsafat dapat membantu menegakkan kategori kebenaran itu tetapi dalam arti yang baru, bukan arti kebenaran metafisik.

Ketiga, kebutuhan akan filsafat terkait dengan fakta bahwa banyak orang berpegang pada gairah (passion) archaic, seperti gairah kultural, religius, kebangsaan, dan rasial. Gairah-gairah itu bisa menyerang yang lain dan saling berbenturan satu sama lain. Berhadapan dengan gairah-gairah itu, filsafat dibutuhkan untuk menghasilkan nalar yang mengatasi bentuk-bentuk arkhaisme irasional. Kita perlu menegakkan filsafat rasional untuk menghindarkan dunia dari benturan besar yang destruktif.

Alasan keempat adalah dunia tempat kita hidup adalah dunia yang rentan, tanpa perlindungan, tanpa dasar. Dunia kita saat ini tidak stabil dan kita mesti menerima secara global tema-tema ekonomi liberal dan demokrasi representatif. Dunia kita tidak berjalan dalam perkembangan linear melainkan dalam seri-seri krisis dramatik dan kejadian-kejadian paradoksal. Untuk menghadapinya, kita butuh filsafat yang terbuka terhadap singularitas dari apa yang terjadi, filsafat yang memberi gizi cukup bagi kita untuk bisa menghadapi hal-hal yang mengejutkan dan tak terduga. Secara fundamental, kita tidak butuh filsafat tentang struktur benda-benda, yang kita butuhkan adalah filsafat kejadian (philosophy of the event), filsafat yang membekali kita dengan kemampuan menghadapi berbagai kejadian yang mungkin tampil di dunia.

Menanggapi kebutuhan akan filsafat, Badiou merumuskan filsafatnya. Ia menegakkan kembali filsafat, memberi ruang pada kebenaran, dan membangkitkan lagi subjek. Pertama ia merumuskan ontologinya, lalu ia menggagas kategori kebenaran baru, dan mendefinisikan ulang subjek. Ia menemukan bahwa ontologi dalam arti being qua being adalah matematika. Dari ontologinya, ia merumuskan kebenaran dengan dasar aksioma matematika dan juga subjek. Tentang subjek pertanyaan yang khusus ia ajukan adalah “jika matematika adalah ontologi, bagaimana subjek menjadi mungkin?”

Bagus Takwin

Ontologi

Ontologi yang dirumuskan Badiou bisa diklaim original tetapi bukan berarti lepas sama sekali dari ontologi terdahulu. Badiou mengambil pengertian ontologi dari Aristoteles, yaitu “Being qua being” (Ada sebagai ada; ada sejauh adanya). Namun pengertian dari ontolologi ini tidak dipahami seperti Aristoteles memahaminya bahwa segala sesuatu ada dengan sendirinya terhampar di alam ini, dipersatukan oleh cosmos sebagai totalitas, dan keberadaan segala sesuatu nyata dan berdiri sendiri serta tidak dipengaruhi oleh subyek atau dengan kata lain “ada” adalah substansi. Badiou menolak pandangan ini, terutama menolak adanya totalitas yang menyatukan segala yang ada. Ia memahami ontologi dalam pengertian being qua being melalui implikasinya. Kalau ontologi adalah “ada” sebagai “ada”, lalu apa itu “ada”?

Pertanyaan tentang pengertian “ada” membawa Badiou kembali ke pemikiran filsuf Yunani Kuno, khususnya Parmenides, yang kemudian dibantahnya. Singkatnya, Parmenides menegaskan bahwa “ada” adalah satu dan melinggkupi segalanya. Dalam percakapan Plato dengan Theodoros dalam Theaet, pemikiran Parmenides tentang “ada” dibahas. “Yang ada, ada,” tegas Parmenides. Lalu dengan jalan kebenaran atau penalaran menggunakan rasio, Parmenides menyimpulkan bahwa sejauh yang dapat dipikirkan, hanya “ada” yang terpahami. Di luar “ada”, tidak dapat dipahami dan karena jalan kebenaran adalah cara memahami kenyataan sejati, maka yang tak terpikirkan, yang tak ada, bukan kenyataan, bukan “ada”. Implikasi dari pernyataan itu adalah (1) Yang tak ada, tak ada. Lalu oleh karena hanya “yang ada, ada”, maka (2) yang ada meliputi segalanya, mengisi semua tempat; dan oleh karena itu (3) yang ada tak terbagi, atau satu. Dengan demikian hanya ada “yang ada”, artinya (4) yang ada tetap, dan oleh karena tetap, tak berubah, maka (5) yang ada sempurna. Pemikiran Parmenides ini pun dikemukakan dan digunakan oleh Aristoteles dalam Physics, bahwa “Prinsip pertama pasti satu, tak tergerakkan…” Ini diperkuat lagi oleh Aristoteles dalam Metaphisics, “Tiada yang berbeda dari ‘ada’, dan ini sejalan dengan Parmenides bahwa segala sesuatu adalah satu, yaitu ‘ada’; yang ada adalah niscaya.”

Badiou tidak setuju dengan Parmenides. Ia juga mempertimbangkan pendapat lain yang mengatakan bahwa “ada” adalah banyak, lebih dari satu,  atau merupakan pluralitas. Kita temukan pandangan tentang yang ada sebagai “yang banyak” dalam pemikiran Herakleitos dan para filsuf pluralis seperti Empedokles dan Anaxagoras. Sejauh yang nampak, “ada” mempresentasikan diri dalam keragaman. Kita tak bisa mengabaikan presentasi “ada” yang beragam itu. Mengatakan bahwa “ada” adalah satu berarti menolak presentasi “ada” sebagai keragaman. Tetapi, menerima pandangan bahwa “ada” beragam juga tidak memadai karena dalam keragamannya, “ada” selalu dipahami sebagai satu atau dihitung sebagai satu. Betapapun beragam objek yang ada di sekitar kita, selalu saja dapat dipahami sebagai kumpulan, sebagai kesatuan.

Menurut Badiou, baik pandangan ada sebagai yang satu maupun sebagai yang banyak sama-sama dapat dipahami. Lalu, jika begitu, apa itu “ada”? Badiou menegaskan bahwa “ada” merupakan keragaman dan kesatuan sekaligus. “Ada” adalah banyak sekaligus satu, bukan yang satu, bukan yang banyak. Dalam presentasinya, “ada” adalah beragam, tetapi yang beragam itu selalu dihitung sebagai satu. Presentasi ada sebagai keberagaman tak dapat ditolak. Presentasi itu adalah rejim yang tak dapat kita bantah. Namun, dalam pemahaman terhadap yang beragam itu, kita menghintungnya sebagai satu; “ada” dihitung sebagai satu. Ada operasi yang berlaku bagi “ada” sehingga ia dihitung sebagai satu.

Bagaimana memahami “ada” sebagai yang banyak sekaligus satu? Untuk menjelaskan ini, Badiou menggunakan konsep ‘situasi’ dari Wittgenstein yang ia definisikan sebagai kemajemukan yang terpresentasi (presented multiplicity). Istilah situasi merujuk baik kepada substansi dan/atau relasi, dan dengan demikian dapat mencakup keduanya. Situasi mencakup semua yang mengalir, properti, aspek, keterkaitan kejadian, fenomena kolektif yang berbeda, tubuh atau materi, keanehan, dan hal-hal virtual yang mungkin dikaji oleh seseorang dalam ontologi. Konsep situasi juga digunakan untuk mengakomodasi apa pun lepas dari modalitasnya, apakah niscaya, tidak-niscaya, mungkin, aktual, atau virtual. Situasi juga bisa merujuk kepada ide yang tiba-tiba muncul, seperti pasar tradisional, supermarket, lapangan sepak-bola, karya seni, mimpi, sasana tinju, muatan truk, kereta api, ramalan cuaca, permainan catur, atau serangkaian gelombang laut. Situasi bisa merujuk kepada apa pun.

Dengan konsep situasi, kita bisa dengan jelas membedakan ontologi Badiou dari ontologi Aristoteles. Jika Aristoteles mengklaim ‘ada subtansi’, maka Badiou mengklaim, ‘ada situasi’, atau dengan kata lain Badiou mengklaim “ada kemajemukan yang majemuk’ (multiple multiplicities). Dengan demikian, bagi Badiou, “ada” adalah situasi, atau “ada” adalah kemajemukan yang majemuk.

Pengertian “ada” adalah situasi atau kemajemukan yang majemuk, dapat dipahami bahwa “ada” merupakan inkonsistensi, tepatnya kemajemukan inskonsisten sebab itu dapat merujuk apa saja tanpa batasan yang jelas. Dengan pengertian itu, maka bagi Badiou, ontologi sebagai being qua being bukan lagi hanya urusan filsafat, melainkan juga urusan matematika karena hanya dengan matematikalah pemahaman tentang “ada” sebagai kemajemukan inkonsisten dapat dipahami. Matematika merupakan satu-satunya diskursus yang tepat untuk membahas kemajemukan inkonsisten; lebih tepat lagi, teori himpunan yang merupakan teori paling mapan dalam matematika dan mendasari teori-teori matematika yang lain. Dengan demikian, bagi Badiou, matematika adalah ontologi.

Dalam Being and Event (terjemahan Bahasa Inggris, 2005), Badiou mengemukakan dua doktrin untuk mendukung adopsi teori himpunan menjadi ontologi, yaitu (1) doktrin kemajemukan inkonsisten; dan (2) doktrin tentang void (kekosongan). Dua doktrin ini digunakan oleh Badiou untuk mengisi celah antara teori himpunan dan konsepnya tentang kemajemukan situasi. Doktrin (1) menjelaskan bahwa pertama, jika “ada” dari situasi adalah kemajemukan inkonsisten, maka kemajemukan atau kumpulan yang tercakup dalam situasi juga terdiri dari kumpulan, atau dengan kata lain merupakan kemajemukan yang majemuk, atau kumpulan dari kumpulan. Pernyataan ini dikemukakan Badiou untuk menyesuaikan ontologi dengan teori himpunan yang mengatakan bahwa semua himpunan merupakan himpunan dari himpunan; setiap himpunan memiliki himpunan bagian.

Kedua ontologi tidak dapat menampilkan kemajemukannya sebagai milik semesta, sebagai sesuatu yang mencakup semua kemajemukan atau semua kumpulan. Jika tidak demikian, maka itu akan menghasilkan paradoks. Pernyataan “ada kumpulan yang terdiri semua kumpulan yang ada di dunia” adalah paradoks, sebab tidak bisa menjelaskan apakah kumpulan itu termasuk dalam semua kumpulan yang dicakupnya atau tidak. Jika ya, maka berarti kumpulan itu adalah sebuah bagian dan ada kumpulan lain yang lebih besar darinya. Jika tidak, maka itu bukan kumpulan yang mencakup semua kumpulan. Syarat ini dikemukakan untuk menyesuaikan ontologi dengan aksioma dalam teori himpunan bahwa tidak ada himpunan yang mencakup semua himpunan. Pernyataan ‘ada himpunan yang menghimpun semua himpunan’ dikenal sebagai Paradoks Russell yang ditemukan oleh Bertrand Russell.

Ketiga, ontologi tidak dapat menentukan konsep tunggal dari kemajemukan karena akan mempersatukan kemajemukannya, dan dengan demikian mempersatukan “ada” seperti yang dilakukan Aristoteles. Ini dikemukakan Badiou untuk menyesuaikan ontologi dengan aksioma teori himpunan yang menyatakan bahwa himpunan tidak bisa didefinisikan secara esensial, tidak bisa diungkapkan karateristik substansinya.

Doktrin (2), tentang kekosongan, ditegakkan Badiou untuk menjembatani celah antara ketak-terbatasan himpunan menurut teori himpunan dan situasi non-ontologis partikular. Seperti doktrin pertama, doktrin tentang kekosongan ini juga merupakan dokrin tentang karakteristik dari situasi. Badiou menjelaskan bahwa dalam setiap situasi, terdapat yang ‘tiada’ (nothing). Tiada dalam terminologi Badiou adalah nama untuk yang tak terpresentasikan dalam presentasi. Menurutnya, apa pun yang dikenali sebagai ‘sesuatu’ atau sebagai hal yang ada, dalam sebuah situasi ‘dihitung-satu’ dalam situasi itu. Implikasinya, apa yang tak tak ada atau tak terpresentasikan dalam situasi tidak dihitung. Tetapi, yang tak ada itu bukan sama sekali tak ada, melainkan itu merujuk kepada yang tak tertampilkan, tak dihitung. Pada praktiknya, yang tak ada itu adalah kondisi niscaya untuk keberadaan situasi atau presentasi karena itu ikut membentuk situasi meski tak terpresentasikan. Untuk bisa menghitung-satu yang majemuk, perlu ada yang menambal atau menjahit satuan-satuan dari kemajemukan, dan penambal itu adalah yang tak ada atau tak terpresentasikan. Oleh karena peran yang tak ada itu sebagai penambal; Badiou memilih menyebutnya sebagai kekosongan (void) ketimbang yang ‘tiada’ (nothing). Disesuaikan dengan teori himpunan, kekosongan dalam ontologi itu analog dengan himpunan kosong yang lambang matematikanya Ø atau { }.

Dengan dasar dua doktrin itu, Badiou menyusun prinsip-prinsip ontologinya. Secara ringkas, prinsip-prinsip ontologi dari Badiou adalah sebagai berikut.

Pertama, tak ada himpunan dari semua himpunan; tiada “ada” dari semua “ada”. “Ada”, di dalam dan pada dirinya sendiri, adalah non-existent (bukan-keberadaan). Dengan asumsi bahwa matematika merupakan ekspresi dari the Real (mengambil konsep dari Lacan), Badiou menyatakan bahwa teori himpunan merupakan antitesis dari pemikiran Kant tentang rasio murni. Premis pertama yang menjadi prinsip utama ontologi  Badiou berbunyi ““being qua being” adalah ‘kemajemukan murni’”.

Kedua, mengikuti premis pertama, setiap penyelidikan ontologis bersifat lokal, dalam arti dibatasi pada pemahaman ada” dalam wujud partikular, bukan keseluruhan.

Ketiga, semua “ada” adalah ‘being-there’ (ada-di-sana) dan Badiou menempatkan situs lokal dari penemuan “ada” adalah ‘situasi’.

Keempat, situasi membingkai penampakan khusus dari “ada”, dengan esensi penampakan yang didefinisikan sebagai ‘ada-di-sana’ dari “ada”.

Kelima, mengikuti pernyataan keempat, penampakan adalah penentuan intrinksik dari “ada”. Lebih jauh lagi, penampakan yang secara niscaya melibatkan determinasi diferensial (misalnya, setiap penampakan mengambil makna, nilai, signifikansi, dan juga berhubungan dan/atau kontras dengan  penampakan lain), selalu sudah merujuk secara implisit kepada yang tidak-mungkin, kepada totalitas ‘ada’ yang ‘bukan-keberadaan’ sebagai himpunan terbesar dari semua hubungan yang mungkin antara ‘ada-sebagai-penampakan’. Dengan adanya rujukan ini berarti pemahaman terhadap penampakan memperhitungkan juga ‘ilusi keseluruhan’ yang transendental, ‘hantu’ kelengkapan ontologis yang bersemayam di rasio manusia sebagai ide regulatif. Ini berarti juga bahwa logika dan kategori-kategori yang mendasarinya, sebagai ungkapan relasi yang muncul di antara penampakan, terjadi dari perwujudan penampakan dan bukan mendahului penampakan.

Dalam pemaparan argumen ini, Badiou juga memberi catatan bahwa premis kunci yang mengawali di sini adalah sebuah hasil internal dari rasio itu sendiri (matematis-formal), bukan sesuatu yang merujuk kepada kenyataan noumenal bawaan yang tak dapat diakses atau kepada pernyataan dogmatik yang mengasumsikan adanya wilayah transendental yang melampaui daya rasio. Hasil internal rasio itu dalam matematika disebut aksioma. Ini bertentangan dengan Kant dan para filsuf rasionalisme yang membayangkan adanya satu penyebab utama sebagai realitas noumenal yang tak teraba oleh manusia.

Kebenaran dan Subjek

Dengan rumusan ontologinya, filsafat Badiou merupakan filsafat yang baru secara radikal. Filsafatnya membuka kemungkinan dan inovasi, sekaligus revolusi, bagi terjadinya ‘kejadian’ kebenaran yang memutus atau merombak situasi terberi (status quo). Menggaungkan pernyataan Lacan, gurunya, Badiou menegaskan bahwa kebenaran ‘menghantam sebuah lubang’ dalam situasi, dan ‘kejadian-kebenaran’ yang memecahkan situasi ini menggugah dan memunculkan subjek yang merupakan pembawa kebenaran.

Apa itu kebenaran?

Menurut Badiou dalam Being and Event (2005), kebenaran merupakan proses militan yang dimulai dari waktu dan tempat khusus dalam sebuah situasi, lalu setahap demi setahap mencapai transformasi situasi itu yang sejalan dengan bentuk-bentuk baru dari prinsip-prinsip egalitarian. Hanya komitmen murni, terpisah dari mediasi psikologis, sosial atau objektif mana pun, yang dapat menjadi kendaraan yang mencukupi untuk sebuah kebenaran, tetapi secara resiprokal, hanya sebuah kebenaran universal yang memadai dan berkualitas yang berharga untuk dikejar komitmen macam itu. Hanya kebenaran yang dapat menggugah dan memunculkan subjek dengan komitmen yang sungguh-sungguh.

Badiou mengajukan konsep kebenaran baru yang berbeda dari konsep-konsep terdahulu. Konsep baru ini tidak membuang konsep-konsep terdahulu yang dikemukakan para filsuf sebelum Badiou, melainkan melampaui itu semua. Ia berangkat dari konsep kebenaran yang dikemukakan Heidegger, lalu dilampauinya dengan menggunakan konsep kebenaran ala filsafat analitik, kemudian dengan dasar ontologinya konsep-konsep itu disintesis dan ditransformasi menjadi konsep kebenaran yang original.

Secara ringkas, konsep kebenaran dari Badiou dapat kita temukan dalam eseinya Philosophy and Truth yang dimuat dalam buku Infinite Thought (2003), juga dalam wawancaranya di European Graduate School Faculty (Agustus, 2002). “Truth is first of all something new,” begitu premis pertama Badiou tentang kebenaran. Kebenaran adalah sesuatu yang baru; sesuatu yang baru diungkap, baru dikenali, baru ditemukan. Apa yang disebarkan, apa yang diulang adalah pengetahuan, bukan kebenaran. Membedakan pengetahuan dari kebenaran, bagi Badiou, adalah hal yang esensial. Jauh-jauh hari, pembedaan itu sudah dilakukan Kant yang membedakan rasio (Vernunft) dari pengertian (Verstand), juga dilakukan Heidegger yang membedakan kebenaran sebagai penyingkapan (aletheia) dari pengertian sebagai kognisi, sains atau techne. Aletheia secara memadai selalu merupakan awal, yang pertama. Techne selalu keberlanjutan, penerapan, sebuah pengulangan. Itu alasan mengapa Heidegger menyatakan bahwa penyair kebenaran adalah selalu merupakan penyair yang memberikan pagi kepada dunia; yang memberikan kebaruan pada umat manusia. Dalam ungkapan  Heidegger, “The poet always speaks as if the being was expressed for the first time.”

Badiou mengambil implikasi dari pernyataan Heidegger tentang kebenaran, “Jika semua kebenaran adalah sesuatu yang baru, apa masalah filosofis esensial yang memadai dalam kaitannya dengan kebenaran?” Jawabannya adalah masalah kemunculan dan kemenjadiannya. Kebenaran harus disajikan kepada pikiran bukan sebagai putusan (judgment) atau proposisi, melainkan sebagai proses nyata. Skema yang ada dalam pikiran mewakili proses terjadinya kebenaran. Apa yang dipikirkan atau dikatakan bukanlah kebenaran, melainkan representasi kebenaran, skema dari proses terjadinya kebenaran. Agar proses kebenaran mulai, sesuatu harus terjadi.  Pengetahuan hanyalah memberi kita pengulangan, hanya menunjukkan apa yang sudah ada.

Agar kebenaran mengafirmasi kebenaran, harus ada sebuah tambahan lain, sebuah suplemen (tambahan yang berbeda dari apa yang ditambahi; pelengkap baru). Tambahan ini adalah kesetiaan kepada kemungkinan, kepada yang tak teramalkan, tak terkalkulasi, kepada apa yang mungkin melampaui itu semua. Badiou menyebut kemungkinan yang melampaui semua itu sebagai kejadian (event). Kebenaran muncul dalam kebaruannya sebab ada suplemen kejadian yang mengiterupsi pengulangan. Contohnya, munculnya tragedi teatrikal dengan Aeschylus, berubahnya fisika matematik bersama Galileo, petemuan cinta antara dua orang yang mengubah seluruh hidup, atau Revolusi Prancis 1972 dengan semboyan “kebebasan, kesetaraan, persaudaraan”. Sebuah kejadian terkait dengan gagasan yang tak-dapat-diputuskan, yang tak dapat dinilai dengan aturan yang ada. Badiou menyatakan, “Kejadian ini milik situasi.” Kita bisa menegakkan pengetahuan dan menentukan kalimat itu benar atau salah. Tetapi kita tak dapat menentukan kejadian, jika dapat kita putuskan benar atau salah, maka itu bukan kejadian, melainkan sesuatu yang dapat diduga dan dikalkulasi dalam situasi. Sebuah kejadian tak dapat diberi putusan benar atau salah. Kita tak bisa mengatakan secara pasti, “Di sini kebenaran mulai.” Kejadian kebenaran dimulai dengan pertaruhan, dimulai dari kejadian yang tak-dapat-diputuskan. Orang harus bertaruh terlebih dahulu untuk menghasilkan kebenaran.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebenaran dimulai dengan aksioma kebenaran, dengan sesuatu yang tak dapat dibuktikan benar atau salahnya dalam kenyataan. Kebenaran dimulai dengan keputusan untuk mengatakan bahwa kejadian sedang berlangsung. Fakta bahwa kejadian tak-dapat-diputuskan merupakan batas bagi tampilnya subjek dari kejadian. Subjek semacam itu dibentuk oleh kalimat dalam bentuk pertaruhan, “Ada yang sedang berlangsung yang tak dapat saya perhitungkan, tidak juga dapat didemonstrasikan, tetapi saya meyakininya dan setia padanya.”

Dalam pemahaman Badiou, subjek adalah “a relation between an event and the world.”  Subjek adalah apa yang sesungguhnya terjadi ketika orang memiliki kreasi, sebuah proses baru, kejadian dari sesuatu sebagai konsekuensi apa yang terjadi di dunia. Hubungan antara kejadian dan dunia dalam pengertian subjek itu bukanlah hubungan langsung sebab di satu sisi, sebuah kejadian menghilang, dan di sisi lain kita tak pernah punya hubungan dengan keseluruhan dunia. Hubungan itu adalah hubungan tak langsung antara sesuatu dalam kejadian dan sesuatu dalam dunia. Ia adalah hubungan antara ‘jejak’ dan ‘tubuh’. Tepatnya, hubungan baru antara ‘jejak’ dan ‘tubuh’. Jejak adalah apa yang bertahan di dunia ketika kejadian menghilang; sesuatu dari kejadian tetapi bukan kejadian itu sendiri; sebuah tanda, simptom. Sedangkan tubuh adalah bagian fisik dari orang. Hubungan baru antara jejak dan tubuh itu adalah subjek ketika dihasilkan ‘tubuh baru’ dari situ. ‘Tubuh baru’ adalah realitas dari subjek di dunia, pendukung subjek. Sebagai hubungan baru antara jejak dan tubuh, subjek adalah konstruksi di dalam sebuah dunia, konstruksi tubuh baru, sekaligus juridiksi baru yaitu komitmen pada jejak. Ketika hubungan itu berlanjut, ia menjadi proses hubungan antara jejak dan tubuh yang disebut Badiou sebagai subjek baru.

Subjek dimulai dengan tindakan memastikan kejadian yang tak-dapat-diputuskan dan oleh sebab itu ia mengambil risiko untuk memutuskannya. Keputusan ini memulai prosedur tak terbatas pembuktian kebenaran. Orang lalu melakukan pengkajian terhadap keputusannya dan itu merupakan konsekuensi dari aksioma yang memberi putusan terhadap kejadian. Pengkajian itu merupakan latihan kesetiaan (fidelity). Tak ada aturan yang bisa menjelaskan penyebabnya karena aksioma adalah pernyataan yang ditentukan secara arbriter di luar aturan pembentukan pengetahuan apapun. Aksioma diformulasi dalam sebuah pilihan murni, komitmen pada kemungkinan, butir demi butir.

Pilihan murni menurut Badiou adalah pilihan tanpa konsep. Pilihan ini berhadapan dengan ‘dua istilah yang tak terpahamkan’ (two indiscernible terms), ‘ini atau itu’. Dua istilah tak terpahamkan jika tidak ada formasi bahasa yang memungkinkan pembedaan terhadap keduanya. Namun jika tak ada formasi bahasa yang dapat memahami dua istilah dari situasi, maka jelas bahwa pilihan untuk membuktikan secara tepat satu istilah dari istilah lainnya tidak memiliki dukungan objektif yang bisa mempertahankannya. Dengan demikian yang dilakukan adalah pilihan murni mutlak, bebas dari dugaan atau asumsi lain yang mendahuluinya, tanpa indikasi dari istilah-istilah yang diajukan, dan tanpa petunjuk yang dapat mengenalinya. Istilah yang satu tak dapat dipahami hubungannya secara objektif dengan istilah yang lain. Orang yang terlibat untuk menghasilkan subjek kebenaran seperti melempar dadu, tidak dapat memastikan secara objektif apa yang akan muncul. Dengan kata lain, kemunculan subjek kebenaran menuntut adanya yang-tak-dapat-dipahami (the indiscernible). Ada koneksi antara subjek di satu sisi dan yang-tak-dapat-dipahami di sisi lain. Yang-tak-dapat-dipahami mengorganisasi titik murni dari subjek dalam proses pembuktian kebenaran. Pembuktian itu bukan pada apa yang dinyatakan orang yang menjadi subjek, melainkan pada apa yang terjadi dalam kenyataannya. Yang perlu dimiliki subjek adalah kesetiaan kepada aksioma kebenaran yang dipilihnya, bahwa kejadian itu merupakan kejadian yang menghasilkan kebenaran.

Aksioma yang ditegakkan melalui pilihan murni itu adalah aksioma tentang sesuatu yang kongkret dan terjadi di sini, sesuatu yang finit, terbatas. Satu istilah yang menunjuk kepada kejadian, yang-tak-dapat-dipahami, memungkinkan istilah yang lain yang belum terjadi dan juga tak dapat dipahami. Tindakan ini adalah tindakan lokal dari kebenaran, menunjuk pada apa yang ada di sini. Tindakan semacam ini merupakan pilihan murni di antara yang-tak-dapat-dipahami. Badiou memberi contoh Sophocles sebagai subjek dari kebenaran artistik, pelopor tragedi Yunani. Kebenaran itu dimulai dengan kejadian Aeschylus, sebuah kreasi seni yang merupakan pilihan murni di hadapan yang-tak-dapat-dipahami. Meskipun karya ini finit, sebagai kebenaran artistik, tragedi terus berlanjut tak terbatas. Begitu juga kebenaran ilmiah yang dicapai Galileo.

Subjek yang terbatas dalam lokalitas tertentu menghadapi kejadian yang tak-dapat-diputuskan mengajukan aksioma berhadapan dengan yang-tak-dapat-dipahami, melanjutkan pembuktian untuk menghasilkan kebenaran. Itu terjadi sebagai pilihan murni. Lalu, sedikit demi sedikit, pilihan ini mulai menjadi kerangka yang menunjukkan bentuknya, menunjukkan batas yang memilahnya dari yang lain, membentuk himpunan bagian dari situasi. Jelas bahwa himpunan bagian ini infinit, tak terbatas, tetap tak berakhir. Jika pun kita mengandaikan itu berakhir, maka tak terhindarkan itu akan menjadi himpunan bagian tanpa predikat yang menyatukannya dengan himpunan induknya. Himpunan bagian itu tak dapat ditotalisasi, juga tak dapat dikonstruksi atau dinamai dengan bahasa dari situasi. Himpunan macam ini disebut himpunan bagian generik. Kita dapat mengatakan bahwa kebenaran, kalau pun kita mengandaikan identitas akhirnya, adalah generik.

Pada kenyataannya, sama sekali tidak mungkin jika suksesi pilihan murni menghasilkan sebuah himpunan bagian yang dapat disatukan di bawah predikasi tertentu. Jika konstruksi kebenaran dapat diulang dengan properti yang jelas, maka pemahaman tentang kebenaran akan menjadi sebuah pengelolaan yang secara rahasia diatur oleh hukum tertentu. ‘Yang-tak-dapat-dipahami’, tempat subjek menemukan tindakannya, akan menjadi kenyataan yang dapat dikenali oleh pemahaman superior. Tetapi tak ada hukum seperti itu dan tak ada tuhan kebenaran, tidak ada pemahaman superior. Oleh karena itu pola kebenaran tak dapat dicocokkan dalam ketidak-terbatasannya dengan konsep apapun. Dengan demikian istilah yang sudah dibuktikan atau yang akan dibuat merupakan himpunan bagian generik dari situasi. Singkatnya, sebuah kebenaran selalu bersifat generik.

Hukum kebenaran tak dapat dipahami secara jelas, bahkan menurut Badiou dapat dikatakan tak ada hukum. Tak ada hukum yang mengatur sains, politik, cinta atau seni yang oleh Badiou ditunjuk sebagai empat ranah tempat dihasilkannya kebenaran. Yang terjadi dalam kejadian kebenaran adalah kita dapat mengantisipasi ide kebenaran generik yang lengkap.  ‘Ada’ dari kebenaran adalah himpunan generik dari pengetahuan, praktek, seni dan sebagainya, tetapi kita tidak dapat memiliki formula khas untuk menghasilkan himpunan itu sebab ia bersifat generik. Tidak ada predikat untuk itu. Kita hanya dapat mengantisipasinya, bukan sebagai kenyataan, melainkan sebagai fiksi. ‘Ada’ generik dari kebenaran sebagai himpunan bagian generik tidak pernah terpresentasikan. Kita tak punya presentasi kebenaran yang lengkap sebab kebenaran tak-dapat-dilengkapi, tetapi kita dapat mengetahui secara formal bahwa kebenaran selalu mengambil tempat sebagai ketak-terbatasan generik.

Subjek dapat membuat hipotesis tentang situasi tempat kebenaran melengkapi totalisasi generiknya sebagai titik lokal tempat beradanya subjek. Selalu ada kemungkinan bagi subjek untuk mengantisipasi totalisasi ‘ada’ generik dari kebenaran. Hipotesis antisipasi itu, merujuk Badiou, disebut sebuah dorongan (forcing), fiksi yang berkekuatan untuk melengkapi kebenaran.[1]

Konstruksi kebenaran dibuat melalui pilihan dalam yang-tak-dapat-dipahami, dibuat secara lokal dalam keterbatasan, tetapi potensinya tergantung dari daya dorong hipotetis. Dalam sebuah ‘pilihan yang terbatas’ hanya ada konstruksi kebenaran, sedangkan dalam ‘antisipasi tak terbatas dari kebenaran lengkap’ ada kekuatan yang menggerakkan untuk terus menerus melengkapi kebenaran dan menjadikannya universal. Seberapa jauh dorongan hipotesis menggerakkan pelengkapan kebenaran? Badiou menyatakan, sampai pada satu titik nyata dalam situasi ‘yang-tak-dapat-dinamai’ (the unnameable), titik yang tak punya nama, kenyataan yang tak dapat diungkapkan dengan bahasa, sesuatu yang tak bisa dipaparkan atribut-atribut identitasnya. Dengan demikian, hipotesis itu akan terus menggerakkan karena yang-tak-dapat-dinamai tetap tak ternamai, tak dipahami identitasnya secara lengkap.

Memberi nama dan memaksakan identitas pada yang-tak-dapat-dinamai merupakan ‘yang jahat’ (evil). Akar dari yang jahat atau kedurjanaan adalah pemaksaan totalitas, pemaksaan memberi identitas yang final terhadap yang-tak-dapat-dinamai. Yang jahat adalah kehendak yang dipaksakan apapun bayarannya. Yang jahat mengambil bentuk dalam tiga wujud: (1) pengkhianatan, penyangkalan karena sulit untuk tetap setia; (2) khayalan, menyatakan ‘simulacrum’ sebagai kejadian yang sesungguhnya; dan (3) teror, mendorong sebuah kebenaran yang bersifat total. Contoh yang jahat menurut Badiou: memaksakan bahwa bangsa Aria adalah bangsa terunggul seperti yang dilakukan Hitler dengan Nazi dan pembersihan ras Yahudi dari muka bumi; dan Stalinisme yang memaksakan totalitas dan menebar teror yang mematikan banyak orang.

Mereka yang setia pada konstruksi kebenaran dan mendedikasikan tindakannya dengan dorongan hipotesis untuk melengkapi kebenaran adalah subjek kebenaran. Subjek pada prakteknya adalah orang yang dapat melakukan ‘break’ dengan status quo; orang yang dapat melampaui situasi untuk menghasilkan situasi baru; orang yang dapat melampaui dilema; orang yang dapat menciptakan daya tersendiri dalam mempengaruhi munculnya situasi baru.

“A subject is thus anyone carried by his or her fidelity to the consequences, as rigorous as they are haphazard, of an event, while a truth is nothing other than the cumulative collection of such post-evental consequences.” (European Graduate School, 4-1997)

Dari pengertian itu dapat ditarik implikasi bahwa subjek tidak selalu tampil pada seseorang. Orang menjadi subjek jika dan hanya jika melakukan ‘break’ dengan status-quo. Dengan demikian, subjek juga bersifat temporal. Orang tidak terus menerus jadi subjek. Seseorang menjadi subjek ketika ia menjalani kejadian kebenaran.

Dengan konsep kebenarannya, Badiou sekaligus mengajukan konsep subjek yang juga merupakan pemikiran etika. Dengan menjelaskan subjek, Badiou sekaligus memaparkan apa yang baik untuk dilakukan oleh setiap orang. Apa yang baik terkait erat dengan kebenaran dalam terminologi Badiou. Orang melakukan sesuatu yang baik semestinya juga melakukan proses penemuan kebenaran mengikuti prosedur kebenaran. Dengan konsep tentang subjek yang diturunkan dari kebenaran dan ontologinya, Badiou telah mengembalikan filsafat sebagai upaya atau proses pencarian kebenaran. Filsafat sebagai cinta kebenaran yang dicanangkan filsuf-filsuf Yunani Kuno ditegakkan kembali oleh Badiou.

***

Catatan tambahan tentang situasi dan himpunan generik

Situasi memiliki satuan (unity) sebagai hasil sebuah ‘operasi’ yang disebut count-for-one = struktur dari situasi; struktur yang menentukan apa yang termasuk atau tidak termasuk dalam situasi dengan menjumlah berbagai multiplisiti (kumpulan) sebagai unsur (element) dari situasi. Sebuah unsur adalah adalah unit dasar dari situasi. Sebuah struktur, dengan demikian, menghasilkan  kesatuan pada level setiap unsur dari situasi. Struktur juga menghasilkan kesatuan pada level keseluruhan situasi dengan menyatukan multiplisiti dari setiap unsur.

Definisi statis dari situasi adalah “a situation is a presented multiplicity” (situasi adalah multiplisiti yang tertampilkan).

Penjelasan tentang situasi sebagai being dalam ontologi Badiou menggunakan dasar teori himpunan dalam matematika. Multiplisiti adalah himpunan (set) dan unsur-unsurnya adalah himpunan bagian (subset). Buat Badiou, matematika adalah ontologi.

Jenis-jenis situasi

Dasar: aksioma dalam teori himpunan tentang power-set yang menyatakan bahwa “ada himpunan dari semua himpunan bagian dari sebuah himpunan asal (initial) yang bernama power-set.

Dalam pengertian metaontologikal, power-set adalah rangkaian situasi (the state of situations). Sebuah rangkaian (the state) adalah a second count-for-one; jika sebuah himpunan mengskematisasi sebuah presentasi maka power-set atau state schematizes the representation of presentation. The state terbuat dari seluruh pengelompokan kembali unsur-unsur situasi yang mungkin.

Badiou membedakan tiga jenis situasi: situasi natural, historikal dan netral. Apa yang membedakan ketiganya adalah jenis kumpulan (multiple): (i) normal multiples yaitu kumpulan yang dipresentasikan baik oleh situasi maupun diwakili oleh rangkaian situasinya (multiples ini counted-for-one dua kali); (ii) excrescent multiples yang hanya diwakili oleh rangkaian situasi (the state); dan (iii) singular multiples yang hanya terjadi pada level presentasi dan tidak terkena efek count-for-one kedua.

  1. Situasi natural didefinisikan sebagai situasi yang tidak memiliki singular multiples; situasi ini hanya memiliki normal multiples atau excrescent multiples; dan elemen normalnya juga memiliki elemen normal.
  2. Situasi netral didefinisikan sebagai situasi yang memiliki campuran singular, normal and excrescent multiples.
  3. Situasi historikal didefinisikan sebagai situasi yang memiliki sekurang-kurangnya satu ‘evental-site’; sebuah subtype dari singular multiple.

Dalam pengertian teori himpunan, singular multiple adalah bagian dari sebuah himpunan tetapi satu atau beberapa anggota himpunan bagiannya bukan himpunan bagian himpunan induk itu. Singular multiple adalah (1) bagian dari sebuah himpunan induk; (2) beberapa bagiannya tidak termasuk dalam (bukan milik dari) himpunan induk itu. Ada elemen asing yang tergabung dalam singular multiple dan itulah yang menghasilkan singularitas dalam multiple ini.

Sebuah evental-site adalah keragaman ekstrem dari singular multiple; tak ada evental-site yang menjadi bagian dari himpunan induk.

Situasi historikal adalah situasi yang menghasilkan sejarah. Sejarah adalah kumpulan atau pertambahan evental-site. Sejarah hanya dapat dihasilkan oleh subjek karena evental-site hanya dapat dihasilkan oleh subjek.

Himpunan Generik

Himpunan generik adalah himpunan bagian yang baru dan tidak/belum terjelaskan dengan bahasa yang ada; untuk menjelaskannya membutuhkan bahasa baru, simbol baru. Jika dikaitkan dengan the symbolic dari Lacan, maka dapat dipahami bahwa himpunan generik adalah bagian dari situasi yang melampaui the symbolic dan itu merupakan hasil dari subjek.

[1] Tentang method of forcing dapat ditemukan dalam perbendaharaan teori himpunan yang digunakan Badiou dalam menjelaskan konsepnya tentang kebenaran. Paul Cohen (1963) mengemukakannya pertama kali, lalu dilengkapi dengan model dari Gödel. Metode ini telah digunakan oleh banyak ahli matematika untuk menyelesaikan probelem-problem matematis dan membantu menghasilkan pernyataan-pernyataan matematis yang kuat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan