Tatkala mencari kebenaran, manusia sering kali terjebak oleh kepentingan dan kekuasaan. Kebenaran selalu diperebutkan oleh berbagai kelompok. Tak ayal jika hati dan pikiran seorang pencari kebenaran selalu terombang-ambing. Hal ini yang dialami imam Ghazali, ia menempuh semacam penderitaan saat mencoba menelusuri “hakikat kebenaran”.
Pada zamannya, Al-Ghazali menemukan bermacam golongan yang berlebihan dalam beragama. Berbagai aliran filsafat, ilmu kalam, tasawuf, hingga ajaran kebatinan menyertai beliau di tengah perjalanan hidupnya. Keadaan semakin diperparah, golongan tersebut merasa hasil pemikirannya paling benar, sehingga golongan yang tidak sejalan dengan pemikirannya dianggap keliru.

Namun, keadaan ini tidak membuat Al-Ghazali langsung menghakimi mereka. Dengan bekal ilmu yang ia miliki, ia mencoba masuk untuk mempelajari dan berdialog dengan beragam macam golongan tersebut. Walhasil, Al-Ghazali berhasil membedah buah pikiran mereka dengan metode yang dia miliki.
Hujjatul Islam—demikian julukan kaum muslim terhadap Al-Ghazali—hidup pada periodisasi kejayaan pendidikan Islam. Ia pernah menguraikan landasannya untuk memperoleh kebenaran. Menurutnya, kebenaran harus dicari, dan terus dicari dalam waktu yang tak terbatas. Kebenaran tidak hadir dalam tulisan, ucapan atau pendapat orang lain. Kebenaran bersifat pribadi (subjektif), sehingga harus didekati secara pribadi pula.
Landasan ini sudah ia lakukan sedari kecil, sampai-sampai ia harus melepaskan belenggu taqlid dan menggusur benteng keyakinan (akidah) yang ia terima sejak kecil. Pada dasarnya, taqlid dilakukan karena ketidakmampuan orang saat memperoleh dan memberikan hujjah. Sehingga, orang tersebut ikut dalam suatu golongan meskipun tanpa adanya proses validasi.
Kesadaran seperti ini juga timbul setelah ia sama sekali tidak melihat perubahan pada anak-anak orang Nasrani maupun Yahudi. Mereka akan selamanya tumbuh menjadi Nasrani maupun Yahudi, dan seterusnya. Sebagaimana yang disampaikan Nabi SAW: “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang telah menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.