Wirid ala Natuna

2,700 kali dibaca

Suara syahdu itu menembus dinding-dinding kayu yang tak rapat, menerobos kegelapan dan kesunyian malam sebuah desa pinggiran kota Ranai, Pulau Natuna, Kepulauan Riau. Rumah panggung sederhana yang terpencil di lereng bukit “Laksamana” itu bagaikan dupa mengepulkan asap atau gemericik tasbih untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Setiap malam, saat orang-orang bergegas ke peraduan, rumah itu menggemakan alun syair mengiringi istighfar dan berbagai permohonan ampunan, keselamatan, belas-kasih, tambah rizki, hingga umur panjang.

Dengan sendu, Syafii Abdurrahman, sang pemilik rumah itu, mengalunkannya sembari benar-benar bersimpuh di hadapan Yang Maha Agung. Dalam usianya yang senja, ia tampak lebih berserah diri pada Sang Pengampun. Berkebun, berternak ayam, dan sesekali mengobati tetangga yang sakit merupakan pekerjaan sehari-hari yang kelihatan ia lakukan ala kadarnya untuk mengisi kesibukan sekaligus demi menepis ingatan masa lalunya yang pahit dan kelam. Ganti rugi enam hektare kebun kelapa miliknya yang tergusur untuk pelabuhan udara (bandara) Ranai di tahun 1963 yang belum ia terima, dua hektare kebun cengkehnya di Sedanau (pulau sebelah barat Natuna) yang dirampas (re-claiming) oleh seorang bangsawan di pulau itu, dan penggusuran rumahnya di tepi pantai Ranai di akhir 80-an pelan-pelan ia lupakan. “Hidup saya ini seperti dongeng, tak masuk akal kalau dipikir,” ujarnya di tahun 1995.

Advertisements

Tragis, memang, hidup Syafii. Tetapi, ia juga menyimpan kisah manis masa muda ketika ia disanjung-sanjung penggemarnya sebagai pemain terpopuler teater Mendu (kesenian rakyat Pulau Tujuh, termasuk di dalamnya Natuna) di era 1950-1960-an. Sebagai pemeran dewa Mendu (tokoh sentral dalam teater Mendu), ia yang memang tampan itu sangat digemari terutama oleh para perempuan muda waktu itu. “Di mana ia tampil, selalu dibanjiri penonton,” kata Bakar, teman pemain Mendu seangkatannya.

Bagi Syafii, masa lalu bukan saja tak akan kembali, tetapi justru, terutama, yang pahit seperti yang pernah dialaminya, tidak boleh berulang. Begitu pun yang manis, tak perlu dikenang. “Kita hidup menghadap ke depan, dan hanya sesekali menengok ke belakang,” tegasnya. “Dan, bagi orang semacam saya yang sudah uzur ini, yang terpenting adalah mempersiapkan diri untuk menghadap Sang Pencipta,” lanjutnya. Itulah sebabnya, mungkin, Syafii berkonsentrasi dengan lebih banyak melakukan wirid bersyair.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan