Tukang Sayur dan Impiannya

1,365 kali dibaca

Kurang apalagi, sudah bekerja dari pagi hingga malam, sarapan singkong rebus, makan cuma sekali sehari, sampai-sampai terlampau pelit pada diri sendiri, tapi masih miskin juga. Lagian, siapa yang ingin hidup miskin? Sudah miskin harta, miskin muka pula. Duh, nasib-nasib. Tetapi, memang benar kata orang bijak yang sering manggung di acara seminar-seminar; bahwa tidak guna ada meratapi nasib.

Mau bagaimana lagi, gelar sarjana yang aku dapat setahun lalu hanya menjadi pajangan semata. Makin kompleks ketika aku mendapat gelar itu saat Corona sedang merebak tinggi-tingginya. Akhirnya, menghidupi diri sendiri dengan berjualan sayur keliling adalah jalan terbaik daripada mati kelaparan.

Advertisements

Sudahlah, kelamaan mengeluh, sayuranku malah tidak ada yang beli. Aku gegas berkeliling kampung, usai merapikan barang dagangan di rombong sayur. Hari masih terlampau pagi, namun aku tak mau rezekiku dipatuk ayam. Dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung, aku jelajahi tiap sudutnya. Ya mau bagaimana lagi kalau tidak begitu, tidak akan habis sayuranku.

Menjadi tukang sayur membuatku selalu update berita di kampung. Tentulah karena ibu-ibu sering lupa mengerem bibirnya ketika sedang bergosip. Kadang si Mirna, janda kaya itu, selalu menjadi bulan-bulanan mereka. Ibu-ibu takut kalau si Mirna akan menggoda suami mereka. Sampai-sampai menuduhnya memelihara pesugihan. Padahal yang kutahu, Mirna adalah seorang operator online shop. Ia jarang ke luar rumah karena memang bekerja dari rumah. Ada pula yang sedang hangat-hangatnya, perihal harga minyak goreng yang setara emas. Sedangkan, aku hanya diam sembari melayani mereka dengan baik.

Sepuluh menit perjalanan, sudah ada kerumunan ibu-ibu di depan gang. Mereka sudah menjadi pelanggan tetap. Seperti biasa, mereka antusias menyambut kadatanganku. Seperti biasa, ibu-ibu tersebut langsung berebut memilih dan memilah sayuran yang masih segar.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan