Selasa, 15 Juli 2025, selepas salat Maghrib berjamaah yang diikuti ribuan santri baru, Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan, Jombang, menyuguhkan momen yang penuh berkah dan makna. Hari itu, merupakan hari ketiga masa Pengenalan Lingkungan Pondok dan Sekolah/Madrasah (PLPS/M), yang menjadi awal perjalanan spiritual dan akademis bagi para santri baru mondok.
Imam salat Maghrib pada kesempatan tersebut adalah KH Zaimuddin Wijaya As’ad. Dalam kesempatan itu, Kiai Zuem, sapaan akrabnya, memberikan beberapa wejangan kepada para santri, khususnya santri baru.

Kiai Zuem mengawali wejangannya dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena para santri baru telah dengan ikhlas meninggalkan kenyamanan rumah dan memilih jalan ilmu serta perjuangan di pesantren.
Setelah itu, Kiai Zuem menjelaskan bahwa santri baru harus siap menghadapi tiga ujian ketika baru menjalani kehidupan di pesantren.
Ujian pertama yang dihadapi oleh para santri adalah rasa rindu kepada orang tua dan keluarga. Kiai Zuem menjelaskan, kehidupan di pesantren sangat berbeda dengan di rumah.
Di rumah, segala kebutuhan seperti makanan dan pakaian biasanya sudah dipersiapkan oleh orang tua. Namun, di pesantren, para santri diajarkan untuk menjadi mandiri. Mereka harus mengambil makanan dari katering, mengatur waktu makan, dan bahkan membeli kebutuhan sendiri.
Ujian yang kedua yang dihadapi santri baru biasanya berasal dari teman. Jika di rumah biasa mengobrol dengan teman-teman menggunakan bahasa yang sama, maka di pesantren hal itu berbeda. Kehidupan di pesantren mempertemukan santri dari berbagai daerah dengan bahasa, kebiasaan, dan budaya yang berbeda-beda. Ada santri yang berasal dari daerah Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur, yang masing-masing membawa keunikan dalam berkomunikasi.
Perbedaan ini, menurut Kiai Zuem, merupakan tantangan sekaligus ujian dalam membangun komunikasi yang efektif dan rasa saling memahami. Karena itu, para santri diajak untuk belajar menerima perbedaan dan menjaga rasa hormat terhadap teman-teman yang datang dari latar belakang yang berbeda.
Kiai Zuem menambahkan, salah satu cara untuk mengatasi perbedaan ini adalah dengan bersikap terbuka dan saling menghargai, serta menjadikan perbedaan sebagai kekuatan yang memperkaya pengalaman hidup di pesantren. Dengan begitu, para santri dapat membangun ikatan persaudaraan yang kuat, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda
Oleh karena itu, Kiai Zuem meminta kepada para santri yang lebih senior untuk senantiasa mendampingi santri baru. Peran pembimbingan ini sangat penting untuk membantu proses adaptasi para santri baru, agar mereka merasa diterima, nyaman, dan lebih cepat menyesuaikan diri dengan kehidupan pondok.
Kiai Zuem juga memberikan penekanan penting terkait perlunya menciptakan lingkungan pesantren yang aman, damai, dan bebas dari tindakan perundungan (bullying). Diingatkan bahwa tidak ada tempat bagi kekerasan, ejekan, maupun tindakan yang merendahkan sesama santri di pesantren.
Ujian ketiga yang kerap dialami para santri adalah persoalan barang pribadi yang sering tertukar. Dalam kehidupan pesantren, di mana dalam satu kamar dapat terdiri dari 10-20 orang, tentu kesamaan jenis barang seperti sandal, pakaian, alat mandi, dan perlengkapan lainnya sering menimbulkan kebingungan. Hal ini menuntut para santri untuk lebih teliti, bertanggung jawab atas barang milik sendiri, dan kejujuran apabila menemukan atau tidak sengaja mengambil barang milik orang lain.
Untuk menghindari hal tersebut, Kiai Zuem memberikan tips praktis yang sederhana namun sangat bermanfaat, yaitu dengan memberi nama pada setiap barang pribadi. Tidak hanya nama, santri juga disarankan menambahkan singkatan nama kota asal agar lebih mudah dikenali. Misal, namanya Fahri dari Lamongan, ditulis di sarungnya “Fahri LMG”. Jika ada dari Surabaya namanya Ahmad, ditulis “Ahmad SBY”.
Dengan cara tersebut, para santri dapat lebih mudah mengenali barang milik sendiri dan menghindari tertukar dengan teman lain. Selain itu, ini juga menjadi bentuk tanggung jawab atas kepemilikan pribadi dan melatih kemandirian sejak dini.
Sebelum menutup wejangannya, Kiai Zuem menegaskan bahwa tujuan utama nyantri adalah untuk menghilangkan kebodohan, menuntut ilmu demi kemuliaan dunia dan akhirat.
Wejangan tersebut disambut dengan khidmat dan semangat baru oleh para santri, khususnya yang baru pertama kali merasakan kehidupan pondok. Wejangan dari Kiai Zuem ini menjadi bekal awal yang sangat berharga dalam menapaki hari-hari penuh perjuangan dan pembelajaran di pesantren.