Tamu Tengah Malam: Tradisi Silaturrahmi Santri

4,517 kali dibaca

Waktu sudah menunjukkan hampir jam 00.00 dini hari. Telepon istri saya berdering. Ternyata dari Gus Muwafiq. “Gimana dik, jadi ke rumah?” demikian istri saya bertanya kepada Gus Muwafiq yang ada di ujung telepon.

Sore itu kami memang bermaksud silaturrahmi ke rumahnya, karena kebetulan kami sedang berada di Yogyakarta. Tapi, dia bilang lagi sibuk. Nanti dikabari setelah selesai acara. Kami memahami kesibukannya, sehingga menunggu saja kabar darinya.

Advertisements

Sampai akhirnya dia menelepon istri dan bilang, “Biar aku saja yang sowan ke tempat sampean Mpok (demikian dia biasa panggil istri saya), supaya bisa ngobrol lebih santai. Kalau di rumahku kita tak bisa pisuh-an karena banyak tamu.”

Semula, saya mengira ini pernyataan basa-basi yunior kepada senior. Mengingat kesibukannya yang luar biasa, mau menolak tidak enak, maka dia bilang saja mau datang ke rumah. Saya sendiri sudah merasa terhormat dengan jawaban seperti itu.

Kami sudah melupakan janji yang kami anggap basa-basi tersebut. Tapi menjenlang jam 00.00 dini hari, setelah ada telepon masuk, istri mengarahkan jalan menuju rumah, tiba-tiba masuk mobil putih di halaman rumah tempat kami menginap (rumah kakak di dekat Pesantren Pandanaran di Jalan Kaliurang). Kami terkejut setelah tahu penumpang yang turun dari mobil tersebut: Gus Muwafiq bersama istrinya. Ya, dia hanya datang bersama istrinya. Berdua saja.

Akhirnya jadilah kami benar-benar ngobrol santai berempat sampai dini hari. Dari soal mengenang nostalgia saat jadi aktifis jalanan, hasil sowan ke para masayikh dan habaib, sampai membahas situasi masyarakat yang mulai kehilangan ruang bahagia kerena direbut oleh para makelar agama.

Dalam perbincangan yang sangat santai dan penuh canda itu, kami saling mengungkapkan pengalaman masing-masing sambil mengungkap masa lalu waktu kami dikejar-kejar aparat karena demonstrasi melawan Orde Baru.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan