Tak Sebusuk Bau Kentutku

974 kali dibaca

“Kamu putra Pak Kariman, kan? Kampung pojok?” pertanyaan Pak Hamdan merenggut ketenanganku. Untuk apa aku dipanggilnya?

“Lho, kok nggak dijawab pertanyaanku?” Sorot mata Pak Hamdan bagai kilatan pedang yang menantang nyawa. Dan aku masih enggan menjawab pertanyaannya.

Advertisements

Walaupun sederhana, pertanyaan itu terasa menyanderaku. Identitas bapak akan menyeret keluargaku ke dalam permasalahan yang kualami. Kesalahanku akan terlimpah pula pada bapak, juga keluarga dan sanak familiku.

“Anak polah bapak kepradah, Le,” nasihat bapak suatu waktu.

Kesalahanku berarti akan pula menimpa bapak sebagai pihak yang harus menanggung risiko. Dan hal itu membuatku merasa sangat bersalah.

Kutelan ludah yang dilumuri rasa cemas. Bapak tidak boleh tahu aku berbuat kesalahan di pondok, aku bertekad dalam hati. Jangan sampai beban berat pundaknya kutambah dengan beban malu begini. Apalagi Pak Hamdan juga berasal dari desaku, aibku akan disebarkannya ke seluruh penjuru kampung tatkala ia pulang nanti.

“Iya, Pak,” sahutku dengan suara lirih. Kepalaku menunduk kembali setelah memberi jawaban pada pengurus keamanan pondok itu.

“Kau tahu kenapa kau dipanggil ke mari?”

Benar dugaanku, pertanyaan lelaki yang terkenal kejam itu pasti akan menghakimiku. Tubuhku mulai basah oleh keringat. Ruang sempit berbau rokok dan pengap ini semakin membuat pikiranku buntu untuk mencari jawaban.

“Tidak tahu,” sahutku ketus.

Kulirik dia. Terukir senyum sinis di sudut bibirnya. Menyebalkan memang orang ini. Apalagi kepulan-kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya, membuatnya tampak pongah sekali.

“Baiklah,” ucapan pendek Pak Hamdan diikuti oleh batuk kecil. Pengurus keamanan itu menghisap rokoknya kembali. Ruang keamanan sempit ini semakin terasa sempit. Tubuhku semakin gerah pula.

“Berapa uang kirimanmu tiap bulan?” Ia memberi pertanyaan berikutnya.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

One Reply to “Tak Sebusuk Bau Kentutku”

Tinggalkan Balasan