Foto: Gus Dur dan Mahatma Gandhi

Sudut Pandang Gus Dur tentang Islam

1,497 kali dibaca

Hakikat Islam adalah ketundukan dan kepatuhan hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa disertai dengan penyerahan diri secara totalitas tanpa reserve. Sikap ini, sebagai manifestasi dari hati nurani yang paling dalam tanpa adanya paksaan, agitasi maupun intimidasi, bahwa sebagai makhluk Tuhan akan senantiasa mengikuti segala hukum dan ketetapan-Nya.

Karena itu, memeluk agama Islam bagi Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berarti ber-Islam, dan bukan memutlakkan Islam sebagai satu-satunya nama agama. Karena, semua agama ditentukan oleh keikhlasan dan kesungguhan pemeluknya.

Advertisements

Dalam pengamatan KH Said Aqiel Siradj, tidak mustahil orang yang dalam pengakuannya secara formal sebagai pemeluk agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Konhuchu ataupun lainnya, namun hakikatnya dia itu ber-Islam. Allah tidak menuntut manusia untuk memeluk Islam secara formalitas, mengikrarkan syahadat tetapi hatinya justru bertolak belakang. Karenanya simbol-simbol seperti sorban, jubah, peci, kubah, bukanlah standar Islam, esensinya hanya sekadar syiar dan selebihnya rapuh bagaikan buih.

Bagi Gus Dur, Islam adalah agama kasih sayang, agama toleran, agama keadilan dan sekaligus agama kejujuran. Artinya, Islam adalah keyakinan yang egaliter, yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan zalim karena alasan agama, suku, ras, gender, status sosial atau pengelompokan-pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Gus Dur, Islam adalah keimanan yang mengakui bahwa dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara, bahkan status muslim dan nonmuslim pun setara.

Pandangan Gus Dur tentang Islam tersebut oleh Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, disejajarkan dengan prinsip dasar Eropa Kristen dan Yahudi di abad Pencerahan. Gus Dur menghayati Islam sebagai agama yang menuntut sikap toleran dan besar hati terhadap agama lain.

Dari pernyataan tersebut seakan-akan Gus Dur ingin menyatakan bahwa seluruh agama, sungguhpun secara formalitas peribadatan memiliki perbedaan, pada hakikatnya hanya ingin membentuk sosok al-insan al-kamil (manusia paripurna) yang memiliki akhlaq alkarimah (moralitas). Meski demikian, perbedaan eksoterik dalam realitas sehari-hari justru sering ditonjolkan dan dibesar-besarkan, sementara elemen esoterik agama, semisal penegakan supermasi hukum, sikap jujur, kebebasan berekspresi, dan lainnya, justru dimanipulasi dan dinafikan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan