Sekaleng Biskuit Lebaran

1,926 kali dibaca

Lebaran bagi Darsem adalah titik di mana ia sungguh menyaksikan betapa di dunia yang ia pijak ini, harta benda adalah lebih besar dari tuhan yang dielu-elukan saat takbiran. Jangan gusar dulu, maksudku begini, semestinya ketika bibir mengelukan takbir, mengelukan keagungan tuhan, maka detik itulah kita mestinya merasa kecil. Yang terjadi kebanyakan, justru sebaliknya. Pseudo-takbir istilahnya. Membesarkan nama Tuhan tapi tak menyadari kekecilan diri. Membesarkan nama Tuhan tapi juga sekaligus merasa besar.

Di kampung ini, kampung Tajur namanya, Darsem tinggal bersama ibunya, Narsem. Dia dinamai Darsem sebab menurut Narsem, anak perempuan mesti dinamai dengan huruf akhir yang mingkem1. Sebab mingkem adalah filosofi dari perempuan jawa yang tegar, yang meski tersisihkan oleh dunia, disakiti sana-sini, maka ia mesti mingkem (diam). Menanggung segala dengan tegar, tanpa perlu berteriak-teriak marah, memprotes dan nangis-nangis. Berjuang menghadapi segalanya, tangan dan badan bekerja, namun bibir tetap mingkem. Tetap diam. Sebab bekerja, menurut Narsem adalah dengan tangan, bukan dengan mulut. Filosofi itu mendarah daging pada Darsem, yang belajar hidup tidak dengan buku dan pensil di sekolah-sekolah, namun dari ibunya yang tidak memiliki tradisi sekolah.

Advertisements

Darsem tinggal di kawasan pereng2, kecil, sempit, dan berdinding tabag3 bersama ibunya yang sudah lama menjanda. Bapaknya dulu bergabung dengan tentara kemerdekaan dan ikut perang melawan Jepang sampai mengorbankan kaki kirinya. Bertahun lalu, ketika bapaknya masih hidup, mereka pernah mengajukan pada pemerintah agar bisa mendapat dana tunjangan veteran. Yang tentu saja gagal mereka dapatkan sampai akhirnya bapaknya meninggal. Alur birokrasi terlalu ribet dan mereka terlalu malu harus berkali-kali meminta tetapi selalu pulang dengan tangan kosong dan tanpa kejelasan apa-apa. Memang dana tunjangan itu tidak banyak dan si bapak juga sebenarnya tidak ingin menagih imbalan negara untuk perjuangannya di masa menjelang kemerdekaan, tetapi hidup yang terlalu keras baginya dan rasa lapar yang tak tertanggungkan membuatnya terpaksa meminta. Meskipun pada akhirnya juga tak pernah ia dapatkan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan