Secarik Kertas Pembawa Resah

933 kali dibaca

Hampir lima tahun sudah aku menjalani kehidupan sebagai seorang dosen. Setelah lulus kuliah di Aussie aku langsung direkrut sebagai tenaga pengajar di kampus tempat aku kuliah zaman S1 dulu. Jenjang karier akademisku memang terbilang mulus. Dari awal semester aku selalu mendapat predikat cumlaude. Sepertinya kecerdasan orang tuaku mengalir padaku. Kedua orang tuaku juga merupakan dosen di kampus tempat aku mengajar.

Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu di kampus, menyebarkan ilmu yang dengan susah payah aku cari di waktu dulu. Aku, walupun telah tumbuh menjadi seorang yang sukses, tapi tak akan lupa wejangan guru ngajiku dulu. “Carilah ilmu sampai dapat, tebarkan ilmu keseluruh umat”.

Advertisements

Dulu waktu kecil ibuku mendatangkan seorang guru ngaji untuk mengajariku ilmu-ilmu agama di rumah. Namun semenjak aku masuk SMA, aku sudah tak pernah lagi mengaji. Bagiku dalam urusan ilmu agama cukup sekadar bisa baca tulis al-Quran. Walaupun sebenarnya kini dan sejak dulu aku tak pernah bisa dengan lancar dalam menulis Arab. Jika saja aku dulu bersemangat dalam mempelajari ilmu yang bersumber di Timur Tengah itu, mungkin kini aku sudah dapat menyaingi ustadz-ustadz yang ada di kampungku, sehingga mereka tidak semena-mena menasihatiku untuk rajin bersedekah, rendah hati, suka menolong, dan entah apalagi yang sering mereka katakan.

Mahasiswaku rata-rata adalah golongan menengah ke atas. Sebagai kampus elite, mahasiswa-mahasiswaku adalah orang-orang yang punya daya pikir cemerlang. Jarang aku menerangkan materi sampai terlalu detail. Aku hanya memmberi mereka umpan. Aku biarkan mereka menjelajahi referensi-referensi ilmiah dengan pengetahuan mereka sendiri. Untuk hal-hal yang tak dapat terjangkau dengan pikiran mereka, aku akan memberinya penjelasan.

Dari sekian mahasiswa yang kuasuh, ada satu yang agak berbeda dari yang lainnya. Aku menaruh perhatian yang lebih pada anak ini. Dari segi penampilan dia tergolong paling PD dengan pakaian yang kasual. Atau pakaian-pakaian yang bercorak tempo dulu. Dalam hal ini aku tak begitu mempemasalahkannya. Aku bukanlah penganut materialisme. Yang membuatku agak merasa jengkel adalah cara berpikirnya yang lamban. Ketika aku memberi pertanyaan pada anak didikku yang satu ini, aku harus bersabar jika tak mandapat jawaban apa pun, atau harus bersabar berlama-lama menunggu hanya untuk mendengarkan satu dua kata yang keluar dari bibir merah kehitam-hitamannya. Itu pun jarang yang benar.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan