Sastra dan Pergolakan Batin

1,259 kali dibaca

Ajarkan anak-anakmu sastra, agar mereka berani melawan ketidakadilan; agar mereka berani menegakkan keberanian; agar jiwa-jiwa mereka hidup. Sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani. —Umar Ibn Khattab

Premis sastra dari Sahabat Umar ini benar-benar mengobarkan semangat membedah nilai-nilai sastra. Melahirkan kecenderungan untuk mengungkap hikmah di balik martabat sastra itu sendiri. Bagaimana sastra bisa melawan ketidakadilan, membangun jiwa-jiwa pembenari, dan meruahkan karakter seorang pemberani.

Advertisements

Memang, benar apa yang dikatakan oleh Fadhilah Mukhta, dosen INSTIKA Annuqayah Sumenep, Madura, Jawa Timur, dalam sebuah acara bedah buku puisi di PP Annuqayah belum lama ini, bahwa Islam lahir di tengah-tengah pergolakan sastra yang sangat kuat dan dominan.

Di Jazirah Arab, tempat Islam mengembangkan sayap-sayap keimanan dan keesaan Tuhan, pada saat itu persaingan kalimat-kalimat sastra menjadi puncak peradaban. Maka jika kemudian Al-Quran turun dengan nilai sastra yang begitu agung, rasanya bukan hanya sebuah kebetulan. Dan apalagi jika dianggap bahwa Al-Quran itu hanya karangan Muhammad. Yang terakhir ini memunculkan sikap logika yang tidak ilmiah dan cenderung mendeskriditkan eksistensi seorang Rasul.

Sastrawan dan ulama terkemuka Indonesia Buya Hamka juga pernah mengarakan, sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra. Sastra mampu membangkitkan pergolakan batin dari semula yang tidak bernilai menjadi bermanfaat. Jiwa yang kemaruk terhadap popularitas dan nilai kasat mata, harta, jabatan, tahta, dll, dengan membaca dan memahami nilai-nilai kesusastraan akan menumbuh-kembangkan batiniah seseorang ke arah yang lebih bermakna. Jiwa sastra yang tertanam dalam batin seseorang akan semakin menumbuhkan marwah pergolakan batin. Katarsis sastra di ruang-ruang perenungan menjadi semakin nyata dengan cara mengaji dan mengkaji rumusan hakikat sastra.

Kita mengenal para pemikir yang juga para sastrawan hebat dalam Islam, seperti Jalalluddin Rumi, Al Ghazali, Umar al Khayyam, Sayyid Qutb, atau Sir Muhammad Iqbal. Begitu juga kita tahu filsuf Eropa, Leo Tolstoy, Nietzsche, dan Soe Hok Gie di Indonesia, hingga generasi Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, dan Rendra yang karya-karyanya sangat responsif terhadap keadaan. Ada berbagai nilai luhur yang terlahir dari naskah sastra, yang di dalamnya dapat berupa puisi, cerpen, syair, nadhaman, pantun, dan naskah sastra lainnya. Muara keadaan ini berhilir pada sekat-sekat kejiawaan yang semakin meningkatkan kualitas batin yang semakin responsif terhadap lingkungan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan