Santri itu Bergelar “Al-Kastolani”

1,730 kali dibaca

Sebut saja namanya AG. Ia terbilang santri yang rajin dalam segala hal. Rajin salat berjamaah. Rajin dan tertib mengikuti jadwal ngaji. AG ternyata juga rajin olah raga, terutama lari dan bermain tenis meja. Karena itu ia tergolong santri yang sehat dan bugar, bertubuh kekar. Kelebihan lainnya adalah ia supel, dan karena itu punya banyak teman dekat.

Salah satu rutinitas AG yang lain adalah berada di dapur umum pondok, atau di sekitar-sekitar dapur itulah. Jika santri-santri yang lain hanya sesekali memasak sendiri dan lebih sering makan di warung dekat pondok, tidak demikian dengan AG. Pagi, siang, atau malam AG selalu terlihat memasak sendiri untuk sarapan, makan siang, atau makan malam. Bahkan, sesekali saat hari masih sore AG sudah terlihat di dapur. Jika sudah begitu, biasanya menjelang tengah malam dia akan sibuk lagi di dapur.

Advertisements

Kebiasaan dan rutinitas AG di dapur itu lama-lama menjadi topik bahasan teman-teman santri. Kenapa AG rajin sekali memasak sendiri? Kenapa tidak pernah makan di warung bersama teman-teman santri lainnya? Seorang santri yang sesekali memasak bareng AG akhirnya membuka rahasia:

“Dia sekali masak untuk sekali makan. Makanya selalu masak sendiri dia,” seorang santri bercerita.

“Hah, yang benar? Satu kastol itu dia makan sendiri?” seorang santri bertanya keheranan.

Kastol yang dimaksud sebenarnya adalah panci kastrol, alat menanak nasi liwet yang terbuat dari aluminum tebal. Bentuknya bulat. Entah kenapa, di pondok ini panci kastrol disebut kastol saja. Adapun, kastol atau panci kastrol yang biasa dipakai AG memasak berukuran 16X12 sentimeter yang berkapasitas 2,5 liter air.

“Aku sering lihat sendiri,” lanjutnya.

“Iya,” santri yang lain menyahut. “Malah makannya ya di dapur itu juga. Begitu matang, langsung dimakan di situ. Tak pernah dibawa ke bilik dulu.”

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan