Santri dan Bantal Gulingnya

Di sebuah dunia yang jauh dari kemewahan mal dan minimarket 24 jam, santri hidup dalam ritme yang tidak bisa dijelaskan dengan grafik ekonomi, tetapi lebih cocok dibaca dengan puisi.

Salah satu aspek yang paling tak diperhitungkan, tetapi menentukan kualitas tidur dan keberlangsungan eksistensial seorang santri, adalah guling. Ya, guling. Bukan kitab, bukan sandal jepit, bukan juga handphone. Tapi bantal panjang yang, kalau hilang, bisa bikin santri kehilangan arah.

Advertisements

Bantal guling pribadi di pesantren adalah kemewahan sunyi. Ia bukan barang wajib, tapi sangat dirindukan. Tidak ada dalam daftar perlengkapan wajib yang ditentukan saat masuk pondok, tetapi bagi santri, ia bisa jadi harta paling pribadi dalam dunia yang serba kolektif.

Saya pernah bertanya kepada dua puluh santri di satu kamar, “Siapa yang punya guling sendiri?” Tiga orang mengangkat tangan. Dua di antaranya tampak malu-malu, seolah mengaku punya harta simpanan yang tak etis dibanggakan. Selebihnya hanya tersenyum, sambil sesekali melirik tumpukan bantal yang lebih sering jadi benda publik daripada milik individu.

Mengapa guling penting? Karena, di pesantren, hampir semua hal adalah milik bersama: kamar mandi, tempat makan, seprei, bahkan kitab-kitab kuning. Di tengah kolektivitas semacam itu, guling menjadi semacam oase kepribadian. Ia jadi batas tipis antara santri sebagai anggota komunitas dan santri sebagai individu yang ingin merasa dimengerti, meski hanya oleh gulingnya sendiri.

Kalau Anda belum pernah mondok, bayangkanlah kamar berisi 25 orang dengan ukuran yang bahkan tidak cukup untuk 10 orang dewasa tidur telentang. Tambahkan cuaca lembap, waktu bangun pukul 03.30 pagi, dan lampu kamar yang kadang menyala sepanjang malam. Lalu bayangkan dirimu mencoba tidur dalam situasi itu, dengan bantal yang berpindah-pindah, dan suara dengkuran yang tak seragam. Dalam kondisi seperti itulah, kehadiran guling bisa jadi penyelamat jiwa.

Guling bukan sekadar alat tidur. Ia adalah pelarian, tempat bersandar saat lelah menghafal, tempat menggigit emosi saat rindu rumah, bahkan kadang jadi ‘pengganti’ orang tua yang tak sempat menjenguk tiap bulan. Seorang santri pernah berkata, “Kalau capek banget, kadang aku peluk guling dan bayangin itu Ibu.” Kalimat sederhana itu menyimpan begitu banyak luka sekaligus ketangguhan.

Dalam ekonomi pesantren, guling bukan barang murah. Ia bukan prioritas ketika uang kiriman datang. Uang 100 ribu sebulan harus cukup untuk makan tambahan, odol, pulsa, dan sesekali beli gorengan. Guling masuk kategori barang mewah. Maka tak heran kalau ada santri yang baru bisa membeli guling setelah satu tahun menabung. Dan saat itu terjadi, momen membawa guling ke kamar adalah parade kecil yang tak disiarkan siapa-siapa, tapi sangat berkesan.

Satu kisah yang masih saya ingat. Seorang santri membawa guling baru berwarna biru langit ke kamar. Di ujungnya, tertulis huruf timbul, Shafira Collection. Ia mengelusnya pelan, meletakkannya dengan hati-hati di sudut kasurnya, dan tidak mengizinkan siapa pun bersandar padanya selama seminggu pertama. Guling itu dipelihara seperti harta warisan. Ketika kemudian guling itu dipinjam temannya selama semalam, ia gelisah. Tapi esoknya, ia biarkan juga. Rupanya, rasa memiliki pun belajar berlapang dada di pesantren.

Penting juga dicatat bahwa guling pribadi di pesantren bukan sekadar benda, tapi simbol. Dalam teori sosiologi minor, benda-benda remeh ini bisa dibaca sebagai artikulasi eksistensi. Karena tidak semua orang bisa punya kamar sendiri, lemari sendiri, bahkan kadang sajadah pun harus berbagi, maka guling menjadi ruang simbolik terakhir bagi santri untuk berkata “Ini milikku.” Tanpa harus berteriak.

Lucunya, ada juga ‘santri sultan’ yang justru tidak memiliki guling. Mereka lebih suka tidur dengan bantal tebal dan selimut hotel. Tapi mereka juga, karena punya banyak uang, sering jadi target “penggadaian guling”. Guling bisa jadi barang yang dipinjamkan sebagai bentuk solidaritas atau bentuk kekuasaan kecil. Santri yang sedang sakit, santri baru, atau santri yang hatinya sedang galau, kadang diberi hak istimewa untuk meminjam guling seseorang semalam. Ini bentuk afeksi yang tidak tertulis dalam kitab fikih, tapi sangat bermakna dalam laku kehidupan sehari-hari.

Ada juga guling yang tak punya pemilik tetap. Guling musafir ini berpindah-pindah, kadang hilang di kamar sebelah, kadang ditemukan di langgar, kadang malah jadi bantal sujud karena mushaf sudah tak muat di rak. Guling-guling seperti ini menunjukkan bahwa di pesantren, kadang kepemilikan hanyalah ilusi. Yang penting bukan siapa pemiliknya, tapi siapa yang membutuhkannya malam ini.

Kita bisa tertawa, bisa menganggap ini remeh. Tapi sebenarnya, di sinilah ajaran sufistik kehidupan santri bermain: tidak ada yang sungguh-sungguh milikmu di dunia ini, bahkan guling pun bisa raib, bahkan niat tidur pun bisa batal karena ada teman sakit yang butuh ditemani. Pesantren mendidik bukan hanya melalui kitab, tapi melalui cara hidup yang menjadikan keikhlasan sebagai kelaziman.

Kini, ketika banyak pesantren telah bergeser ke arah modern, tiap santri punya ranjang susun, lemari pribadi, bahkan AC, guling pun ikut naik kasta. Tapi tetap saja guling terbaik bukan yang empuk atau bermerek mahal. Guling terbaik adalah yang menemani kita saat tubuh menggigil dan hati lelah. Yang bisa kita peluk tanpa syarat. Yang tidak bertanya apakah kita hafal Nazam Imrithi atau tidak.

Karena, di dunia yang sunyi seperti pesantren, kadang yang paling kita butuhkan bukanlah nasihat panjang, tapi kehangatan diam. Dan dalam banyak malam yang berat itu, gulinglah yang setia menemani.

Tingkat kepemilikan guling pribadi di pesantren memang rendah. Tapi justru karena itulah, ketika seorang santri memilikinya, ia belajar tentang arti mencintai, menjaga, dan merelakan. Dalam guling itu tersimpan pelajaran tentang manusia yang tak selalu punya, tapi selalu bersedia memberi.

Maka jangan remehkan benda sepele itu. Ia mungkin bukan bagian dari kurikulum, tapi bisa jadi bagian paling lembut dari pendidikan akhlak yang sebenar-benarnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan