Rumah Impian

1,941 kali dibaca

Di sini mula berkisah, Pak Giman yang fakir bersanding istri yang shabir, jauh dari mimpi besar yang senantiasa bergulir. Cobaan, bagi mereka yang tinggi iman tentu sangat besar, ibarat semakin pohon menjulang semakin kencang pula angin menerpa. Terlebih, dalam kehidupan rumah tangga. Cobaan istri penuntut, untuk suami yang sabar bersambut. Suami fakir, tentu juga menjadi cobaan istri yang legawa nrima wujud penerimaan takdir. Pun, kefakiran suami dilengkapi dengan kesabaran istri, menjadi sebuah anugerah tiada kira, bagi Pak Giman.

Pak Giman hanya buruh tani. Menggarap tanah orang lain. Menanam benih, merawat tanaman, memupuk-mengairi, hingga memanen bukan untuk dirinya sendiri, namun hasil melimpah untuk juragan, sang pemilik tanah. Pak Giman telah bekerja keras berpuluh tahun. Menanami hingga memanen bak tanah milik pribadi. Meski ia sadar, bahwa nyata penikmat terbesar bukan untuknya, tapi sang pemilik modal.

Advertisements

Tanah garapan, hanya membisu. Bisunya seolah melayangkan opini, tentang ketakrelaan dikuasai, ketidakikhlasan nasib Pak Giman yang termonopoli. Opini tanah tentang keinginannya berdebat dengan sang juragan. Bahwa, tanaman tak bisa tumbuh berkembang, jika tak ada yang mengerjakan. Bahwa, Pak Giman lebih berperan hingga bulir-bulir panenan sampai di tangan. Tanah, tidak kuasa berpihak. Jika mampu, ia akan berkubu. Menjadi wadah sahaya yang siap terhunjamkan akar-akar, kemudian meninggi bersama buluh batang dan dedaunan, buah penggarapnya Pak Giman. Tanah bukan penguasa, tapi untuk dikuasai.

Setiap pagi, sehabis subuh, Pak Giman pergi untuk berlumur lumpur dan air keruh. Terik siang, tak peduli punggung dibanjiri peluh. Petang menjelang, Pak Giman kembali pulang dengan lelah yang sudah diasingkan. Semua, demi anak-istri, demi menanak nasi, demi biaya anak pamit tunaikan kewajiban belajar sebagai tuntutan negeri.

Keluarga Pak Giman tinggal di rumah sederhana. Batu bata hanya seperdelapan tingginya, selebihnya bambu gedek dan papan tripleks seadanya. Plesternya cukup hanya di ruang tamu saja, selebihnya adalah tanah yang menjadi saksi kecukupan seorang buruh tani. Di pintu depan, sangat jelas bekas piloks dari pihak desa, “Penerima Program Keluarga Harapan (PKH)”. Istri dan dua anaknya paham benar dengan kondisi bapaknya. Nasib yang mengimpit, tidak lekas membuat bersyukur menjadi sulit. Dua orang anaknya, Imam dan Siti begitu terangguk tanpa tertunduk, begitu Pak Giman menasihati, tentang penerimaan takdir dan syukur nikmat yang kabir.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan