Retaknya Bingkai Hati

835 kali dibaca

Tak enak hatiku mendapati begini sikap suami. Dinginnya malam masih kalah dingin dengan sikapnya. Ketakutan-ketakutanku kala hendak menikah dengannya dulu terbukti sudah. Mungkin aku memang tak pantas untuknya. Dia terlalu baik untukku. Aku terlalu kotor untuknya.

Walau dia tak berkata apa-apa, namun aku dapat membaca gelagat sikapnya. Setelah malam pertama itu dia sepertinya curiga padaku. Apa yang telah kulakukan sebelum ini seperti dapat diendusnya. Sudah dua minggu dia menjadi suamiku, dan sudah begini rikuh rasanya bertatapan mata dengannya. Bagaimana waktu-waktu yang harus kulalui di masa yang akan datang?

Advertisements

Bukannya menghabiskan waktu bersamaku sebagai istrinya, dia justru setiap saat bersama Mas Malik, kakakku satu-satunya. Yang membuatku kesal, walau tak ada hal penting yang perlu dibicarakan, dia tetap berada di dekat Mas Malik. Menghindariku. Sebenarnya senang hatiku melihat keakraban mereka. Salah satu kebahagiaan suami-istri adalah dapat melihat pasangannya menjalin keakraban dengan sanak keluarga. Namun jika aku sebagai istrinya disisihkan?

Apakah aku sudah mencintainya?

Pertanyaan itu seketika membuat dadaku berdesir. Selama ini tak pernah ada dalam hatiku tersimpan namanya. Kalaupun ada, itu hanyalah perasaan ketertarikan melihat lawan jenis yang memiliki pelbagai kelebihan. Dan itu tidaklah selalu bisa dinamakan sebagai sebuah rasa cinta, menurutku.

Lalu kenapa aku jengkel merasa tak diperhatikannya? Perasaan cintakah yang menumbuhkannya? Bukankah rasa cinta selalu beririsan dengan benci? Aku menelan ludah. Meneguk gelisah.

Pikiranku kembali berputar-putar. Apakah rasa jengkel ini tumbuh karena hakku sebagai istrinya tak terpenuhi? Ataukah karena telah tumbuh rasa cinta di hatiku? Carut-marut hatiku. Kalang kabut hati ini menata perasaan. Kebahagiaan yang ingin kusemai di biduk rumah tangga rupanya tandus belaka.

Telah dingin kopi yang kuseduh beberapa saat yang lalu, dan dia tak kunjung pulang. Kutanyakan pada umi apa yang seharusnya aku lakukan, perempuan penuh kasih sayang itu memintaku tenang menunggunya di sini. Kulakukan apa yang dimintanya itu. Aku kembali ke kamar guna merapikan tempat tidur. Kusemprotkan pewangi ruangan. Kubuka jendela lebar-lebar. Lalu kuhamparkan sajadah dan segera aku melaksanakan salat dhuha. Kuhirup ketenangan dalam setiap gerakan salat dan setiap untaian doa yang kubaca.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan