Refleksi Santri di Hari Santri

1,603 kali dibaca

Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober, kini (2020) memasuki tahun yang kelima. Itu artinya HSN sudah lima tahun mendapat legalitas pemerintah sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan menegakkan kemerdekaan. Presiden Joko Widodo menetapkan HSN pada 22 Oktober 2015, yang semula diusulkan setiap tanggal 1 Muharram. Namun, dengan diskusi yang pelik tapi apik, akhirnya HSN ditetapkan pada 22 Oktober.

Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri didasarkan pada peristiwa resolusi jihad yang dicetuskan oleh Pahlawan Kemerdekaan dari kalangan ulama, KH Hasyim Asy’ari. Ulama besar sekaligus pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) ini memerintahkan para santri, ustadz, ulama, dan masyarakat muslim secara umum untuk mempertahankan kemerdekaan dari upaya penjajahan pasukan Sekutu. Kemerdekaan yang telah kita peroleh jangan sampai terlepas lagi, karena merebut kemerdekaan dan mempertahankannya merupakan harga mati. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup di bawah cengkeraman penjajah.

Advertisements

Salah satu komponen perebut kemerdekaan, sekaligus yang mempertahankannya adalah para santri, ulama, dan kaum muslim secara umum. Kita tidak menafikan dari komponen bangsa lainnya, seperti kaum nasionalis dan umat di luar Islam. Seluruh komponen bangsa bahu membahu dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Namun demikian, pun kita jangan sampai abai dengan kaum sarungan (santri, ustadz, dan ulama) yang juga ikut andil dalam kemerdekaan. Alhamdulillah, Hari Santri adalah salah satu bentuk kesadaran pemerintah bahwa eksistensi pesantren mempunyai peran signifikan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Makna Hari Santri

Sebagimana dijelaskan di atas, bahwa Hari Santri Nasional (HSN) didasarkan atas resolusi jihad, maka perjuangan (jihad) itu tidak berakhir pada saat proklamasi kemerdekaan. Tetapi masyarakat santri harus tetap berjuang dalam mengisi kemerdekaan ini dengan langkah positif. Membangun semangat patriotis adalah sebuah kewajiban. Sebab, makna Hari Santri harus sejalan dengan jiwa santri. Mandiri, pantang putus asa, berkomitmen, semangat, dan rendah hati. Jiwa kepesantrenan harus terus dijaga hingga batas waktu yang tidak berakhir. Selalu bersedia mengorbankan segalanya demi menjaga kemerdekaan dan berjuang demi pembangunan.

Sebagaimana yang diisyaratkan oleh WR Supratman dalam lagu Indonesia Raya; “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.” Ada keseimbangan membangun jiwa dan raga. Jiwa sebagai unsur batiniyah harus dibangun atas kesadaran hakiki yang berkeadilan. Di dalam pemerintahan, jiwa adalah perundangan-undangan yang harus berpihak kepada rakyat. Badan/raga sebagai unsur kasat mata, adalah berupa pembangunan tubuh kita sendiri dan juga pembangunan lainnya sebagai sarana dan prasarana pembangunan. Jika antara jiwa dan raga berada dalam bentuk keseimbangan performa, maka negara dan bangsa Indonesai berada pada kemakmuran dan keadilan. Bangsa Indonesia akan mengalamai kedamaian yang sesungguhnya.

Hari Santri harus dimaknai sebagai perwujudan untuk berkiprah dalam kemajuan bangsa. Membaur dan bekerja sama untuk kemajuan bangsa. Karena kemajuan dan kebahagiaan bangsa Indonesia merupakan kewajiban kita bersama. Kita tidak perlu mempersoalkan etnis, agama, dan budaya. Karena bangsa ini milik kita bersama. Maka menjadi kewajiban setiap warga negara untuk membangun kebersamaan dan bersama dalam membangun. Indonesia adalah milik semua golongan, tanpa memandang agama, etnis, dan asal-uisul daerah. Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara”. (Qs. Ali Imran: 103). Ayat ini sebagai indikasi bagi kita untuk bersatu dan tidak bercerai-berai. Mempertahankan negara dari rongrongan penjajah akan mudah kita hadapi, jika kita bersatu padu dan dalam kebersamaan yang saling menguatkan.

Bagi seorang santri, Hari Santri harus dimaknai untuk semakin memperteguh kesadaran diri memberikan yang terbaik bagi bangsa. Terutama identitas sebagai santri terkait etika dan kesopanan. Jangan sampai nilai-nilai kesantrian itu terkebiri oleh ulah santri yang bukan sepenuhnya santri. Sebagai seorang santri, umumnya di tengah masyarakat diharapkan sumbangsih keilmuan yang diperoleh dari pesantren. Setidaknya menjaga diri sendiri dari perbuatan maksiat (keburukan), itu berarti seorang santri telah teguh dalam berjuang. Apalagi kalau berkontribusi aktif sebagai pioner di tengah-tengah masyarakat.

Refleksi Sebagai Santri

Sebagai santri harus berpegang teguh pada identitas kesantriannya. Mereflkesikan kesantrian di tengah masyarakat dengan memberikan manfaat dan tidak berbuat permasalahan. Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya).” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289). Menjadi manfaat bagi orang lain tidak segampang yang kita pikirkan. Namun, tidak ada hal yang sangat sulit apabila kita berusaha dengan kesadaran untuk berbuat baik bagi sesama.

Menjaga nilai-nilai kesantrian harus dilakukan dengan ikhlas. Jika nilai kesantrian itu dilakukan dengan riya, pamer, pamrih, maka akhirnya akan terjerumus ke dalam kesesatan. Riya adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam. Hanya karena ingin pujian, agar dilihat orang lain (sum’ah), maka kemudian ia melakukan perbuatan baik atau ibadah. Maka perbuatan yang demikian disebut riya atau sum’ah.

Dalam hal riya, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgor.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik ashgor, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik ashgor adalah) riya. Allah Swt berkata pada mereka yang berbuat riya pada hari kiamat ketika manusia mendapat balasan atas amalan mereka: ‘Pergilah kalian pada orang yang kalian tujukan perbuatan riya di dunia. Lalu lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka?'” (HR. Ahmad).

Santri harus mampu memberikan refleksi positif atas kesantriannya. Selama di pesantren, santri telah diajarkan berbagai norma berkehidupan sosial. Agama mengajarkan, sebagai makhluk santri harus menunjukkan etika yang baik. Jangan sampai setelah terjun ke masyarakat menjadi “sampah masyarakat” atau bahkan menjadi problem maker di tengah kehidupan. Sebisa mungkin kita hindari perseteruan, permusuhan, dan pertikaian. Apa pun masalahnya harus diselesaikan secara baik-baik. Berdiskusi atau bermusyawarah. Kalau dalam bahasa al-Quran “Wa amruhu syuuro bainahum (dan setiap permasalahan mereka, hendaknya mereka bermusyawarah). Hanya dengan cara musyawarah, diskusi, dan urun rembuk, kita akan dapatkan jalan keluar (solusi).

Merefleksikan nilai-santri artinya kita harus mengimplementasikan pengetahuan yang kita peroleh dari pesantren. Menerapkan ilmu terapan maupun ilmu non-terapan agar dapat bermanfaat di tengah kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, kita telah berkontribusi positif sebagai santri. Karena refleksi yang kita bawa adalah dialektika kepesantrenan yang kebenarannya sudah absah. Doktrin atau ajaran pesantren telah menjadi dogma yang sejalan dengan al-Quran dan hadits Nabi.

Peran Santri di Hari Santri

Sebagai seorang santri harus punya peran di dalam pembangunan bangsa dan negara. Setidaknya, santri harus mempunyai peran yang baik bagi dirinya sendiri, keluarga, atau masyarakat sekitar. Peran masing-masing orang dapat berbeda-beda. Bahkan sesama santri pun bisa mempunyai peran yang tidak sama. Tidak ada yang bernilai lebih di antara peran yang kita miliki. Semua peran menempati fungsimya masing-masing. Hari santri adalah hari kebaikan untuk negeri tercinta, Indonesia.

Santri dapat menjadi birokrat dan teknokrat. Bisa juga menjadi ustadz atau lainnya. Banyak sekali peran yang bisa dijadikan ladang beramal. Tentu saja yang dimaksud adalah amal saleh, memberikan kemanfaatan, dan tidak memberikan mudharat bagi orang lain. Jangan sampai seorang santri menjadi pecundang setelah menjadi pejabat. Berbuat kebohongan setelah menjadi pebisnis. Menjadi khianat setelah diberi amanat. Jika ini yang terjadi, maka hilang sudah nilai-nilai kesantriannya, dan ilmu yang diperoleh di pesantren menjadi sia-sia dan tak berguna.

Santri dan pembangunan (mental dan spritual) adalah dua aspek; yang satu (santri) sebagai subjek, pelaku, atau pioner, sedangkan yang lainnya (pembangunan) adalah sebagai obyek, tujuan, atau puncak kesuksesan. Santri harus menjadi sentra pelaku kebaikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Menjadi penggerak dalam pendidikan, dan siap memberikan yang terbaik dalam hidup dan kahidupan.

Peran santri dalam pembangunan bangsa sangat vital dan signifikan. Harus memberikan kemanfaatan baik bagi diri sendiri, lingkungan, serta masyarakat secara keseluruhan. Sebab santri diharapkan banyak oleh masyarakat setelah kembali dari belajar di pesantren. Setelah ditempa oleh pengalaman pembelajaran di pondok, ilmu yang didapat harus diterap-manfaatkan dalam kehidupan. Dan masyarakat berharap bahwa peran santri berdampak positif dan memberikan faidah yang lebih besar. Harapan masyarakat terhadap santri luar biasa. Maka harapan ini jangan sampai terabaikan dan harus dijadikan pecut semangat dalam berbuat kebajikan.

Rasulullah SAW, bersabda, “Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka.” (HR. Ibnu Majah).

Wallahu A’lam bis Shawab!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan