Prisma Pemikiran Gus Dur (2): Kiai Banyak Kacamata

614 kali dibaca

Dalam tulisan sebelumnya, telah dibahas bagiamana pengaruh lingkaran pertemanan, selera, dan literatur memengaruhi bagaimana posisi Gus Dur sebagai kiai bisa berbeda dengan posisi umumnya kiai dalam memandang musik dan ekspansi situs keislaman. Hal itu hanya sekelumit sampel kecil dari seabrek tulisan-tulisan Gus Dur yang tercecer di banyak media, yang tentu dapat menjadi bahan analisis yang lebih luas lagi.

Selain menyoroti aspek kebahasaan seperti pilihan diksi, struktur kalimat, dan komposisi antara kata sifat, kata kerja, dan kata keterangan, analisis pemikiran seseorang juga dapat dilakukan dengan cara menelusuri tradisi intelektual, permainan paradigm, dan buku-buku yang dibacanya.

Advertisements

Ambillah contoh, fenomena Youtuber islami yang mendadak kaya berkat vlognya. Seorang simpatisan Islam akan mengatakan bahwa itu adalah berkah dari Allah karena ia berhasil berdakwah kepada orang banyak.

Seorang pengamat komunikasi dari tradisi Marxis akan mengatakan bahwa itu adalah hasil dari pertukaran antara data pribadi dan pasar atensi (perhatian) yang akan memicu bentuk ketimpangan ekonomi baru berdasarkan kepemilikan alat dan kemampuan digital.

Seorang sosiolog dari tradisi fungsionalis akan melihat bahwa kekayaan itu merupakan indikasi bahwa teknologi digital dapat menjadi “alat” pendongkrak kesejahteraan yang efektif dan mudah.

Tentu tiga cara pandang tersebut punya cara khas masing-masing dalam membahasakan pemikirannya, yang dapat kita kenali seketika bila kita berada pada posisi atau tradisi intelektual yang berbeda dengannya. Bila kita berada posisi yang sama, atau bila hanya memiliki satu kacamata, maka sikap kita biasanya cenderung afirmis.

Kelebihan Gus Dur adalah kemampuannya dalam bergonta-ganti kacamata, sehingga orang yang terpaku pada satu kacamata tertentu, kalau tidak nggerundel, maka manggut-manggut saja ketika mendengarnya. Hal ini tidak lain berakar dari keragaman petualangan intelektual Gus Dur: dari kitab kuning, mazhab kiri, sastra dunia, hingga terbitan-terbitan kecil seperti majalah.

Inilah yang menarik ketika membaca esai-esai Gus Dur: tulisannya pendek, tapi kita perlu menggali lebih dari sekadar informasi, namun juga menggali hingga ke “tulang” di balik tulisan-tulisan singkatnya. Karena, dalam proses membaca, hal berharga selain informasi baru adalah teknik permainan logika dan permainan cara pandang yang digunakan si penulisnya.

Di esai Kwitang! Kwitang! (1983), misalnya, ada dua tulang utama yang menjadi penopang. Pertama adalah etnografi. Gus Dur memulainya dengan uraian etnografis tentang bagaimana kondektur bus PPD lin 14A mengubah teriakan jurusannya untuk menggaet jamaah pengajian hari minggu Habib Ali Kwitang.

Tulang kedua adalah sosiologi klasik. Mula-mula, tulang sosiologi dibuka dengan kacamata Marxian soal materialisasi. Gus Dur menggarisbawahi bagaimana kegiatan yang tampaknya murni sakral, ternyata dapat memicu geliat ekonomi:

“Sesuatu yang begitu kudus dan syahdu kalau dilihat dari pengalaman pribadi sang ‘pemeluk teguh’ (kalau dipinjam istilah Chairil Anwar), ternyata dengan proses kualifikasi berubah menjadi sesuatu yang berdimensi sangat duniawi: keinginan para pemeluk teguh itu untuk mencari kedamaian tuntas dimanfaatkan demi keuntungan mereka yang bisa menawarkan jasa dan barang untuk kebutuhan para pemeluk teguh itu.”

Lalu disebutkanlah oleh Gus Dur beberapa jenis komoditasnya seperti peci, karpet haji, minyak wangi khas Arab, gambar Masjidil Haram, hingga obat kuat, kadal mesir, dan minyak kuda. Sebagai pamungkas atas telaahnya melalui kacamata Marxis, Gus Dur menulis:

“Dalam keadaan seperti itu, sebagai wilayah agama lalu berada di bawah pengayoman wilayah ekonomi, seperti terlihat dalam kasus bus kota PPD yang di hari minggu pagi menjadi ‘industri angkutan keagamaan’.”

Setelah kacamata Marxis, Gus Dur kemudian menggunakan kacamata Weber untuk mengungkap bagaimana institusionalisasi suatu hal (agama, kesamaan hobi, atau apa pun itu) juga memengaruhi logika tujuannya.

“Dalam keadaan demikian, agama semula berfungsi sebagai ajaran, lalu berubah fungsi menjadi institusi atau kelembagaan. Kepentingan lembaga keagamaan dengan mudah lalu disamakan dengan kepentingan ajaran agama itu sendiri.”

Apakah efek dari komodifikasi dan institusionalisasi agama? Pertanyaan ini dijawab Gus Dur dengan memakai kacamata sosiologi milik Durkheim tentang penyematan sakralitas pada simbol.

“Dari situ, bermulalah sebuah proses penduniawian kehidupan beragama dalam bentuknya yang paling kongkret: agama sama dengan acara-acara tertentu. Akibatnya, bukan ajaran agamanya yang disucikan, diagungkan, dan disyahdukan, tetapi upacara-upacara yang mendukungnya itulah yang diagungkan.”

Melalui tiga kacamata sosiologi klasik itu, Gus Dur mengungkap struktur dimensi keduniawian agama. Bagi sebagian kalangan yang bergelut atau menaruh minat pada wawasan sosial, hal itu lumrah saja. Tapi bisa sangat asing, atau bahkan tak bisa diterima, bagi sebagian kalangan lain yang terpaku pada wawasan transeden semata, karena analisa-analisa seperti itu dipandang sebagai produk dari pemikiran di luar Islam.

Akan tetapi, hanya karena berasal dari luar Islam, bukan berarti tak ada manfaat. Kacamata-kacamata yang demikian, sekalipun dicipta oleh orang non-beragama, dapat memberi nuansa yang lebih kaya bagi kita untuk memandang dimensi kehidupan dunia, yang kemudian memberi kita kemampuan untuk mengidentifikasi titik mana yang sekiranya bisa diretas untuk kemajuan hidup yang lebih baik.

Yang spesial dari Kwitang! Kwitang! adalah kemampuan Gus Dur dalam melihat hal remeh (teriakan kondektur dan rute bus) sebagai pucuk dari gunung es fenomena sosial yang lebih besar. Pada titik ini, seabrek “koleksi kacamata” ataupun teori tidak akan berguna apa-apa kalau tidak diimbangi oleh sensitivitas dalam melihat gejala dan sentivitas dalam menggunakan kacamata sesuai konteksnya.

Gus Dur sadar bahwa segala yang disorotinya pada bus PPD 14A beserta penumpangnya adalah bagian tak terpisah dari kehidupan modern. Ia juga sadar kalau kacamata-kacamata seperti Marx, Weber, ataupun Durkheim merupakan produk asli masyarakat era awal modern yang dipicu oleh kekuatan industri dan ekonomi abad ke-19, yang tentu tidak sepenuhnya berlaku di kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Gus Dur membuat pengeculian sebelum di bagian akhir Kwitang! Kwitang!:

“Syukurlah ternyata kecenderungan seperti itu tidak mutlak ada di mana-mana. Penghayatan masyarakat ternyata juga berbeda dari satu ke lain tempat, dari satu ke lain lapisan masyarakat, dan dari satu ke lain waktu.”

Apakah Gus Dur hanya menggunakan pendekatan sosial-antropologis dalam melihat berbagai isu sosial? Tidak. Esai Tuhan Akrab Dengan Mereka (1983), misalnya, Gus Dur menggunakan analisis wacana yang digabungkan dengan wawasan sastra untuk membedah imajinasi anak-anak tentang kehidupan, Tuhan, dan bentuk mentalitas mereka.

Di esai Sang Romo, Rumah dan Bambu (1976), Gus Dur menggunakan pendekatan Science, Technology and Society (STS)―sebuah disiplin yang umumnya populer di negara-negara maju tentang pengkajian desain dan dampak teknologi di masyarakat―untuk menyoroti desain rumah bambu yang terjangkau bagi orang miskin, tidak merusak lingkungan, namun tetap aman dan kuat.

Tentu, esai-esai lain punya beragam warna sudut pandang, pendekatan, tradisi intelektual, dan posisi ataupun kombinasi daripadanya yang menarik bila dijelajahi lebih jauh. Pengungkapan “tulang-tulang” di balik esai-esai Gus Dur dapat memberikan kita wawasan yang lebih luas tentang cara kreatif menempatkan sudut pandang, pendekatan, ataupun tradisi intelektual yang lebih dari sekadar informasi permukaan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan