Pondok Al-Qodir, Berdakwah dengan “Jathilan”

3,415 kali dibaca

Pesantren Al-Qodir, begitulah nama yang disandangnya. Ia berada di tengah-tengah Desa Cangkringan, Sleman, kira-kira 33 km sebelah utara Yogyakarta. Lazimnya sebuah desa di Jawa, Cangkringan dimukimi masyarakat tradisional yang masih kuat merawat kesenian rakyat, salah satunya adalah Jathilan.

Berasal dari kata “jan” yang berarti “benar-benar” dan “thil-thilan” yang berarti “banyak gerak”, Jathilan disebut-sebut sebagai salah satu seni pertunjukan rakyat tertua yang hingga kini masih eksis dalam masyarakat Jawa. Jathilan sering juga disebut sebagai Jarang Kepang.

Advertisements

Di tengah masyarakat masih yang masih kuat merawat kesenian rakyat itulah Pondok Pesantren Al-Qodir berdiri dan menjadi bagian darinya (subkultur). Meskipun menyandang predikat sebagai pesantren salafiyah, Al-Qodir justru bergaul akrab dengan komunitas Jathilan dan membuka ruang ekspresi selebar-lebarnya bagi masyarakat setempat.

Al-Qodir didirikan dan diasuh oleh Kiai Masrur pada 1999. Nama pondok dinisbatkan pada nama kakeknya, Qodir. Sebelum mendirikan Pesantren Al-Qodir, Kiai Masrur mengaji selama dua tahun di Pesantren Jampes, Kediri kemudian melanjutkan ke Pesantren API Tegalrejo, Magelang di bawah asuhan Kiai Chudlori, sebuah pesantren yang dikenal memiliki antusiasme dan apresiasi tinggi terhadap kebudayaan khususnya kesenian rakyat.

Kiai Chudlori sendiri mendalami pengajian fikih dan tasawuf pada era 1940-an di Pesantren Darul Hikam Bendo, Pare, Kediri di bawah asuhan Kiai Chozin Muhadjir yang juga apresiatif terhadap kesenian sekitar yang plural. Kini, baik Pesantren Tegalrejo maupun Bendo masih aktif menyelenggarakan pesta seni rakyat. Tiap akhirussanah, misalnya, Pondok Tegalrejo mengundang berbagai komunitas kesenian sekitar dan daerah lain. Di Pondok Bendo, tiap khataman kitab Ihya Ulumuddin empat tahun sekali dilakukan hal yang sama.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan