Perempuan yang Menegosiasi Takdir

1,075 kali dibaca

Takdir seringkali diasosiasikan dengan ketetapan yang tak bisa diubah. Barangkali, buku yang berjudul Perempuan yang Memesan Takdir yang ditulis seorang ibu muda dengan putri cantik yang lahir dari rahimnya, W. Sanavero, ini memberikan dampak reflektif atas perjalanan hidup dulu, sekarang, dan akan datang.

Seorang perempuan, tentunya juga laki-laki, bisa berdialog dengan dirinya sendiri. Tentu, dialog dengan diri sendiri melibatkan Tuhan. Bahkan, menurut perspektif sufisme, Tuhan berdialog dengan dirinya sendiri. Bukankah Tuhan lebih dekat daripada urat nadi leher kita sendiri? Siapa yang lebih mendengar selain daripada Tuhan? Tidak ada.

Advertisements

Fenomena dalam perjalanan hidup; kebaikan-keburukan, kecewa-putus asa, bahagia-derita merupakan keniscayaan peristiwa. Siapa yang tidak menjumpai peristiwa-peristiwa semacam itu? Tidak ada. Meminjam bahasa Emha Ainun Nadjib, penulis epilog buku ini, pernah menulis pada buku lain, Surat kepada Kanjeng Nabi, “Kesempurnaan bukanlah tanpa cacat, melainkan perpaduan antara kecacatan dan ketidakcacatan.”

Pengalaman kecewa dan bahagia itulah kesempurnaan hidup. Dalam merespons dan mengelola kekecewaan itu, seseorang membutuhkan kreativitas. Barangkali, W Sanavero melalui buku ini melakukan kreativitas itu.

Seperti tulisannya dalam bab pertama, “Perempuan dan Kata-kata”. Menceritakan kekecewaan dan patah hati yang dialami seorang perempuan. Tak disebutkan siapa nama tokohnya. Bisa jadi dirinya sendiri, atau orang lain, juga mungkin sosok imajinatif. Suka-suka penulisnya. Ia menuliskan semua pengalamannya, melahirkan kata-kata. Diksinya apik dan pas; menggambarkan yang dialami, pun tak kalah penting memberi nyawa pikiran pembaca melayangkan imajinasinya. Ini pengalaman saya membaca bab pertama.

Kelihaiannya semakin menyembul pada bab berjudul “Cerita Bersajak”. Saat membacanya saya teliti di mana letak kesajakannya, entah pada bacaan ke berapa saya baru sadar, ternyata tiap akhir kalimat dari setiap sub judul –ada tiga sub judul, kalimat terakhir paragraf akhir berbunyi “Kau, perkenalkan, ini wajahku, wajah perempuan yang…” dengan akhir kata berbeda-beda. Di sini juga, saya tersadar bahwa saya tidak punya apa-apa, bahkan napas sekalipun, persisnya tiba di kalimat ini; “Sejak itu aku meminjam napasmu, atau kau yang meminjamkannya untukku. Ah, persetan dengan semua itu, aku ingin tenggelam dalam napasmu.” Kesadaran transenden muncul, napasku pinjaman Tuhan.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan