Pemahaman Kebangsaan dalam Islam: Distingsi Ranah Privat dan Publik dalam Penerapan Ajaran Ketuhanan

2,654 kali dibaca

Banyak orang yang memahami bahwa hubungan bangsa dengan agama kadang merupakan hal yang pelik. Ditambah lagi kondisi masyarakat yang begitu heterogen baik suku, etnis, ras, dan agama. Tercatat, hingga 2010 ada 1.331 kelompok suku di Indonesia disertai dengan 652 bahasa daerah yang berbeda . Hal itu semakin menyadarkan kita bahwa wacana kebangsaan merupakan hal fundamental yang harus senantiasa diperhatikan untuk memberi benang merah di tengah pluralitas keadaan bangsa.

Representasi ruwetnya memikirkan perkara ini sudah dapat kita jumpai sejak zaman proses lahirnya negara Indonesia, di mana tujuh kata pada poin pertama Jakarta Charter (Piagam Jakarta) menimbulkan kontroversi, yang pada akhirnya dinafikan oleh butir baru Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Kisah sejarah ini memperlihatkan bahwa perseteruan antara paham keaagamaan dan kebangsaan sudah terjadi semenjak sedia kala, dan telah difinalkan pada saat itu juga.

Advertisements

Kiranya kita semua sepaham, bahwa pencoretan kalimat “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” bukan tanpa alasan. Sikap yang merespons ancaman lepasnya Indonesia Timur ini secara gamblang bertujuan untuk tidak memberi ruang pada anasir disintegrasi bangsa. Sepertinya, founding father kita mengisyaraktkan dengan tegas bahwa kemerdekaan Indonesia ditebus dengan ongkos mahal, sehingga pengorbanan besar seluruh lapisan masyarakat dari Sabang sampai Merauke harus dicerna dan dimaknai secara lebih dewasa. Sampai di situ, seharusnya perseteruan paham antara kelompok agamis dan nasionalis menemukan jalan tengah untuk saling mengisi dan mendukung. Namun, konflik wacana antara keagamaan dan kebangsaan ini memang hal yang asik untuk diperdebatkan. Munculnya slogan seperti NKRI Bersyariah dan kekhilafahan akhir-akhir ini seakan menandakan bahwa kedua urusan tersebut belum juga menemukan titik terang.

Privat vs Publik

Meminjam cara berpikir KH Hasyim Muzadi yang memandang permasalahan ini secara serius, beliau memaparkan bahwa permasalahan yang acapkali muncul dalam konsep berbangsa ini tidak lain karena kesalahan cara berpikir beragama yang kemudian dibawa ke ranah publik kehidupan bernegara. Agama sebagai sistem ajaran yang dipahami serta dipakai untuk menangani negara, merupakan agama ranah privat yang tidak memiliki korelasi positif dengan konsep bernegara. Sementara, ajaran agama yang seharusnya dipakai untuk menangani negara ialah bentuk ajaran ketuhanan sebagai basis moral dan etika bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernergara. Agama di ranah privat ini akan sangat bergantung pada simbol-simbol keagamaan, baik itu bentuk, atribut, ornamen, bahkan idiom.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan